Menimbang Kelayakan PMN Rp7 Triliun untuk BNI

Menimbang Kelayakan PMN Rp7 Triliun untuk BNI

Jakarta — PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) bakal mendapatkan Penyertaan Modal Kerja (PMN) senilai Rp7 triliun pada 2022. Kepastian tersebut didapatkan setelah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyepakati PMN Rp72,44 triliun untuk 12 BUMN pada 2022. PMN untuk BNI menjadi terbesar keempat setelah Hutama Karya, Holding Pariwisata dan PLN.

“PMN ini karena BNI ada pengembangan bisnis, saya rasa nanti Pak Wamen (Wakil Menteri) bisa menjelaskan hal ini,” ujar Menteri BUMN, Erick Thohir saat Raker dengan Komisi VI DPR, Kamis (8/7/2021).

Sementara itu, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo memaparkan CAR atau rasio kecukupan modal BNI saat ini tengah mengalami tekanan yang berada dalam posisi terendah yakni 16%.

Pertumbuhan aset dan pinjaman BNI dalam beberapa tahun terakhir tidak mendorong pembentukan laba atau return earning yang memadai. Kartika menilai perlunya penguatan modal di tier 1 terhadap BNI yang merupakan bank sistemik.

“Kami juga meyakini saat ini BNI dalam transformasi dan restrukturisasi, diharapkan satu sampai dua tahun ini berbagai masalah NPL bisa kita selesaikan dan diharapkan pada 2022 kita bisa melakukan pertumbuhan lebih optimal ke depan,” ujarnya.

Meski demikian, ada juga pihak-pihak yang menyatakan penyertaan modal ke BNI ini tidak perlu dilakukan karena situasi negara masih dalam masa pandemi. Apakah PMN untuk BNI layak diberikan?

Urgensi PMN bagi BNI

Untuk menjawab ini, kita perlu melihat data kesehatan perbankan. Berdasarkan data terakhir OJK pada Mei 2021, CAR rata-rata perbankan 24,27%. Angka ini naik dari 22,16% pada bulan yang sama di tahun 2020 karena sejumlah bank aktif memperkuat modal mereka.

Bagaimana dengan BNI? Hingga kuartal pertama 2021 CAR bank yang didirikan tahun 1946 ini berada di angka 18,07% alias masih di bawah CAR bank umum lainnya.

BNI dengan statusnya sebagai bank sistemik, selain harus menjaga CAR di atas 8% juga harus menyediakan Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer dan Capital Surcharge masing-masing 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sejauh ini CAR BNI yang sebesar 18% masih aman, tetapi angka ini masih di bawah rata-rata CAR bank berdasarkan data SPI tersebut.

Selanjutnya, sejak tahun 2019 ada PSAK 71 yang mengatur tentang Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Di sini bank harus membuat estimasi akan pinjaman-pinjaman yang tidak tertagih. Penyusunan CKPN ini, jika angkanya semakin besar maka akan menekan profitabilitas perusahaan di atas kertas.

Menyoal rasio modal inti BNI saat ini terpantau menjadi yang terendah dibanding peers karena pertumbuhan modal yang lebih rendah dibanding Risk Weighted Asset/ Aset Tertimbang Menurut Risiko (RWA/ATMR). Rasio Tier 1 BNI berada di kisaran 15,81%, sementara para pesaingnya berada di kisaran 17,43% sampai 23,5%.

Dengan asumsi pertumbuhan kredit sebesar 7-8% dan dividen payout ratio (DPR) di kisaran 25-30% per tahunnya, maka rasio modal Tier 1 BBNI baru akan mencapai 18% pada 2024.

Kondisi yang bagus tersebut diperkuat dengan analisa lembaga pemeringkat Fitch Ratings. Meskipun rating BBNI bertahan di investment grade, yakni BBB- dengan outlook stabil, namun Fitch menyatakan bahwa kualitas aset BBNI tertekan karena adanya pandemi. Tak hanya itu, pandemi juga mengurangi profitabilitas bank dan ruang bagi bank untuk melakukan ekspansi.

Managing Director and Head of Equity Capital Market PT Samuel International Harry Su mengatakan, PMN sebesar Rp 7 triliun itu akan membantu menguatkan Capital Adequacy Ratio (CAR) alias rasio kecukupan modal BNI.

“Ke depannya dengan CAR yang lebih kuat setelah PMN, BNI diharapkan dapat melakukan ekspansi kredit dengan lebih agresif,” kata Harry Su kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

CAR, menurut Paul, ibarat stamina bagi bank untuk mampu menyerap kerugian akibat macetnya kredit. Meningkatnya permintaan restrukturisasi kredit karena pandemi, tentunya dapat menggerus modal perbankan.

PMN untuk Pemulihan Ekonomi

Harapan akan pandemi bisa selesai dan ekonomi bakal pulih masih terus terbuka. Ketika harapan itu terwujud maka dunia usaha akan berlomba untuk mengejar ketertinggalan. Ekonomi bakal melesat dan tentu akan menarik permintaan kredit.

IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI melesat ke 5,9% di 2022, dibandingkan ramalan 2021 di angka 4,3%. Hal ini mencerminkan akan adanya lonjakan kredit pada 2022, karena pada tahun ini pertumbuhan kredit masih tertahan.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan (OJK) Wimboh Santoso beberapa waktu lalu mengatakan, kredit mungkin masih akan tertekan oleh PPKM Darurat di bulan Juli dan Agustus. Tetapi dia optimis, selepas PPKM dicabut maka kredit akan pulih kembali.

“Kami meyakini, dengan menurunnya angka kasus positif harian diikuti pelonggaran PPKM secara bertahap, maka permintaan kredit akan meningkat kembali seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan pembukaan kembali berbagai aktivitas ekonomi,” ujar Wimboh.

Sedangkan Pengamat Ekonomi Paul Sutaryono mengatakan, PMN bagi BNI akan menjadi modal untuk mendukung pertumbuhan kredit. Apalagi BNI diminta untuk terus berperan dalam memulihkan dunia usaha dan ekonomi pasca pandemi.

“Tentu saja, PMN bermanfaat juga untuk memperceoat pengucuran kredit BNI apalagi pasca-pandemi,” tambahnya.

Dengan demikian, PMN bagi BNI turut berdampak langsung dalam pemulihan ekonomi nasional. Dengan nilai Rp 7 triliun, tentunya PMN, bagi BNI sangat kecil disbanding ongkos pemulihan ekonomi nasional yang mencapai Rp 900 triliun

PMN Kembali ke Negara

Terkait dengan PMN yang diberikan kepada BNI, memang tidak diberikan secara cuma-cuma. Karena nantinya perusahaan BUMN ini akan melakukan ‘pengembalian’ dalam bentuk pajak, dividen, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Setidaknya ada lima BUMN berkontribusi terbesar pada dividen kepada negara yang salah satunya adalah BNI sebesar 5,2%.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BNI beberapa waktu lalu disetujui pembagian dividen sebesar 25% dari laba bersih tahun buku 2020 sekitar Rp820,1 miliar. Dengan memperhitungkan komposisi saham milik pemerintah yang sebesar 60%, maka BNI akan menyetorkan dividen sebanyak Rp492,58 miliar ke rekening kas umum negara.

Pada tahun 2019, setoran dividen lebih besar lagi, yakni totalnya Rp3,85 triliun. Sementara untuk 2018, dividen yang dibagikan mencapai Rp3,75 triliun.

Sejak tahun 2010, dividen yang dibagikan oleh BNI tidak pernah kurang dari 25%. Dengan suntikan modal tersebut, maka PMN yang diberikan oleh BBNI akan kembali kepada negara dalam kurun waktu 3-4 tahun. Pengembalian ke negara tentu masih bertambah dengan pembayaran pajak setiap tahunnya.

Jadi apakah BNI layak mendapatkan PMN Rp7 triliun di 2022? (*)

Related Posts

News Update

Top News