Jakarta – Peraturan yang saling tumpang tindih antara daerah dengan pusat ternyata memiliki konsekuensi yang dapat meningkatkan potensi korupsi di kalangan pebisnis dan regulator. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Roeslani menjelaskan bahwa fakta ini telah turut menciptakan pemahaman yang berbeda-beda terkait praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) di setiap daerah di Indonesia.
“Lalu kita lihat juga harus ada peraturan di daerah yang disamakan dengan di pusat, karena kita lihat banyak overlapping dimana akan meningkatkan potensi korupsi. Maka dari itu, kita berharap ke depannya semuanya disatukan ke sistem elektronik sehingga potensi korupsi dapat diminimalisir,” ujar Rosan, saat menghadiri acara penandatanganan secara Rabu, 28 April 2021.
Dirinya pun menjelaskan bahwa untuk mengubah hal ini pun, kaitannya bukan hanya pada persoalan hukum yang semerawut semata, namun juga pada bagaimana cara mengubah paradigma yang sudah tertanam sejak lama dari adanya ketidakjelasan regulasi yang ada.
“Jadi kita akan sosialisasikan kepada mereka karena mereka anggap itu (korupsi) di daerah itu adalah hal yang biasa, bukan melanggar peraturan dan di setiap daerah itu pemahamannya kan berbeda-beda, jadi bagaimana kita sama mereka itu memiliki pemahaman yang sama. Dan untuk mengubah kebiasaan pola pikir itu takes time. Harus berulang kali tak bisa hanya satu dua kali,” terangnya.
Sementara itu, Sigit Pramono selaku Ketua Umum Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) menegaskan pentingnya kolaborasi dalam pemberantasan korupsi, khususnya di bidang usaha atau bisnis. Tanpa adanya kolaborasi yang kuat dengan beragam pihak, maka korupsi atau kkn berjemaah akan sulit diberantas.
“Jadi kalau kita dengar berita korupsi selalu melibatkan pemerintah dan pengusaha, jadi agak menyesal kita mendengarnya. Kita berharap dengan kolaborasi koalisi yang kita lakukan bersama-sama ini mudah-mudahan kita dapat memperbaiki masalah korupsi di dunia usaha kita ini,” ucapnya. (*) Steven Widjaja