(Bagian 3)
Oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.
ALASAN perkara SAT masuk dalam ranah hukum administrasi negara, yaitu berkaitan dengan diterbitkannya SKL oleh SAT (mantan Kepala BPPN) kepada SN. Dasar hukum penerbitan SKL adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
Satu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. X/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 yang mengamanatkan agar “pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propernas Bab IV, Butir C, Nomor 2,3,4, perlu diambil tindakan tegas”.
Dua, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, yang antara lain menyebutkan “bagi debitor yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA perlu diberikan kepastian hukum”.
Tiga, Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Dalam Diktum Pertama Angka 1 Inpres No. 8 Tahun 2002 disebutkan bahwa “1. Kepada para debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, Master of Refinancing Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut; 4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang masih dalam tahap penyeleidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya,…”.
Inpres merupakan salah satu bentuk atau wujud dari apa yang dikenal sebagai Peraturan Kebijakan (Beleidsregel, Pseudowetgeving, Spiegelrecht, Policy Rules), yaitu “Peraturan yang dibuat – baik kewenangan maupun materinya – tidak berdasar pada peraturan perundang-undangan, delegasi, dan mandat, melainkan berdasarkan pada wewenang yang timbul dari Diskresi atau Freis Ermessen yang dilekatkan pada Administrasi Negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum”.
Dengan demikian, peraturan kebijakan tidak lain dari penggunaan Diskresi atau Freis Ermessen (the exercise of discretionary power) yang menampakkan ke luar suatu kebijakan tertulis (naar buiten gebracht schriftelijk beleid), diumumkan ke luar dan mengikat umum. Peraturan Kebijakan lebih bertolak pada aspek pencapaian tujuan atau manfaat (doelmatigheid) daripada dasar pembenar secara hukum (rechtmatigheid).
Dalam konteks Inpres No. 8/2002, lebih mengedepankan pada tujuan atau manfaat, yaitu adanya jaminan kepastian hukum bagi debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA maupun MRNIA dengan pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan (release and discharge) dengan pembebasan debitur dari aspek pidana yang dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya.
Atas dasar peraturan perundang-undangan tersebut dan berdasarkan kesimpulan yang tertuang dalam Laporan Audit Investigasi BPK Tahun 2006, maka SAT (mantan Kepala BPPN) menerbitkan SKL kepada SN. Dalam hal ini, SAT dalam menerbitkan SKL semata-mata melaksanakan perintah (selaku Mandataris) berdasarkan mandat yang diberikan oleh Presiden selaku Mandans dalam bentuk Instruksi Presiden No. 8/2002. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, Mandataris tidak dapat memikul atau dimintai pertanggungjawaban, karena dia bertindak untuk dan atas nama Mandans.
Berdasarkan seluruh pemikiran dan fakta-fakta hukum tersebut, maka sangat beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum KPK menerbitkan SP3 kepada SN dan ISN dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi SN yang telah lama menyelesaikan kewajibannya selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI sebagaimana diatur dalam perjanjian MSAA, namun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan dibiarkan berlarut-larut tanpa jelas kesalahannya sehingga SN dengan status sebagai tersangka telah lama mengalami “kematian perdata”. Apakah itu adil?
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka terbitnya SP3 KPK kepada SN dan ISN selain sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 19/2019, adalah juga dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 D, ayat (1), UUD 1945 yang menyebutkan ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran (Unpad), Bandung