Jangan Ajari Bankir Menyalurkan Kredit, Dan Jangan Paksa Debitur Masuk “Jebakan Utang”

Jangan Ajari Bankir Menyalurkan Kredit, Dan Jangan Paksa Debitur Masuk “Jebakan Utang”

Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

JANGAN ajari bankir menyalurkan kredit. Bankir yang hebat tahu kapan menyalurkan kredit, dan kapan harus menahan kredit. Hanya bankir “karbitan” yang tidak menyalurkan kredit padahal ekonomi lagi bagus. Dan, hanya bankir “modal nekat” jika situasi ekonomi “paceklik” masih tetap menyalurkan kredit.

Kredit adalah aktifitas utama sebuah bank, dan rugi sendiri jika bankir tidak menyalurkan kredit karena pendapatan tertinggi bank adalah penghasilan bunga kredit. Nah, jika bankir sampai Februari 2021 lalu masih tumbuh negative tentu ada hal yang sangat fundamental terjadi di lingkungan bank sendiri.

Meski suku bunga sudah turun. Ada guyuran dana stimulus yang jumlahnya ratusan triliun, kredit tidak tumbuh dengan perkiraan. Ada gula ada semut. Itulah perilaku bank, karena bank penuh dengan risiko dan kebutuhan modal bank yang terus bertambah.

Sejak Juni 2020 kredit sudah terkontraksi. Tahun lalu kredit perbankan minus 2,45%. Terus berlanjut hingga Februari 2021 ini kredit tumbuh negative 2,15%. Pertumbuhan kredit ini terendah sejak dua puluh tahun terakhir ini.

Ada dua hal yang berbeda tentang suku bunga ini. Satu tentang penurunan suku bunga, dan dua, permintaan akan kredit oleh sektor usaha. Semua paham, suku bunga bukanlah faktor satu-satunya yang dapat mendorong kredit. Tujuh  tahun lalu, suku bunga masih pada level double digit, tapi kredit juga bisa tumbuh dengan bilangan puluhan persen.

Kuldesak. Jalan buntu dihadapi oleh bank-bank dalam mengucurkan kredit. Suku bunga diakui memang rendah. Namun permintaan kredit lebih banyak dipengaruhi faktor daya beli dan konsumsi masyarakat. Suku bunga kredit bukan satu-satunya faktor agar bank-bank bisa “kencing kredit”.

Menurut catatan Infobank Institute ada banyak faktor, selain faktor kesehatan masing-masing bank – yang menyangkut permodalan, likuiditas, nonperforming loan (NPL) dan kapasitas bank itu sendiri. Utamanya, soal kredit bermasalah – termasuk di dalamnya loan at risk (LAR). 

Ada beberapa hal sehingga kredit bisa lancar mengalir. Satu, konsumsi rumah tangga. Dua, daya beli masyarakat yang sering kali disebut M2. Tiga, “banderol” suku bunga kredit. Empat, penjualan eceran, seperti departemen store dan toko kelontong termasuk retail modern dan tradisional. Penurunan suku bunga belum menjadi daya tarik utama permintaan kredit. Lebih kepada daya beli masyarakat.

Seperti diketahui, dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah mengumumkan ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi 2,19%. Lebih rinci – menurut lapangan usaha — indutri pengolahan kontraksi 3,14%, perdagangan minus 3,64%, kontruksi minus 5,67%, transportasi minus 13,42%, akomodasi dan makanan minus 8,88%, hanya pertanian yang tumbuh 2,59%.

Sementara menurut pengeluaran, konsumsi rumah tangga terkontraksi 3,61%, PMTB minus 6,15%, dan yang tumbuh konsumsi pemerintah 1,76%. Jadi, tanpa dana stimulus APBN kondisi pertumbuhan ekonomi akan lebih dalam kontraksinya. Namun sisi ekspor barang dan jasa terkontraksi 7,21% dan minus 13,52% untuk impor barang dan jasa.

Jelas sudah, itulah faktor utama dalam permintaan kredit. Dan, semua itu dikalkulasi oleh bank-bank sebagai risiko besar yang akan mengancam buku bank jiga bank-bank sembarangan kencing kredit. Persepsi bankir, faktor risiko masih cukup besar. Bukan semata-mata faktor suku bunga. Bahka, angka Loan At Risk (LAR) bank sudah mencapai 25% dari total kredit. Hantu LAR inilah yang membuat para bankir “ngeri-ngeri sedap” mengucurkan kredit.

Akibat pandemic-COVID-19 ini sektor perbankan menderita disfungsi intermediasi. Pertumbuhan kredit masih tetap tingga berkisar 11%. Bank-bank dalam kondisi “biri-biri basah” likuiditas – hal yang berbeda dibandingkan krisis 1998/1999 dan 2028/2009.

Hati-hati Jebakan Utang

Bankir tidak perlu diajari soal penyaluran kredit. Lebih baik menahan likuiditas yang besar – yang jauh lebih baik dibandingkan harus menderita karena kredit akan macet dan memakan modalnya lebih cepat.

Sejalan dengan debitur. Ada utang baik da nada utang jahat. Utang baik jika debitur meminjam untuk hal-hal produktif atau menambah kapasitas sesuai kebutuhan kreditnya. Tapi sebaliknya, utang jahat adalah jika debitur tidak butuh kredit tapi tetap mengambil kredit karena dipaksa. Apalagi, keterpaksaan kredit ini karena sejatinya debitur tersebut tidak bisa meningkatkan kapasitas produksi dengan berbagai alasan. 

Jika debitur yang tidak butuh kredit tapi tetap dipaksa dikasih kredit, pada akhirnya kredit itu akan menjadi debt trap bagi debitur. Debitur akan terkena jebakan utang – dimana utang akan dibayar dengan utang baru. Gali lubang tutup lubang.

Kisah nelayan Pantai Utara dengan nelayan Pantai Selatan berbeda dalam memperlakukan kredit. Nelayan Pantai Utara sudah lebih masuk kepada jebakan utang dan nelayan Pantai Selatan relatif aman dan lancar. 

Jumlah kreditnya sama, hanya berbeda yang menerima kredit. Nelayan Pantai Selatan yang menerima kredit adalah istrinya dan sekaligus yang mengelola hasil “melaut” suaminya. Jadi, tahu kapan butuh kredit untuk perbaikan kapal, dan kapan mengangsur pinjaman. Sementara nelayan Pantai Utara yang menerima kredit adalah nelayan itu sendiri dan istri hanya tanda tangan menunggu suami pulang melaut.

Hasilnya beda. Nelayan Pantai Selatan relatif lebih lancar kreditnya, sementara nelayan Pantai Utara lebih banyak macet plus terkena jeratan rentenir dan masuk jebakan utang. Bayar utang dengan utang.

Hal ini bisa terjadi pada debitur-debitur UMKM yang sejatinya harus dibedakan. Mana yang membutuhkan kredit dan bisa meningkatkan kapasitas produksi sesuai permintaan. Jangan sampai debitur UMKM, karena politis  harus bangkit tapi justru mencetak debitur UMKM masuk jebakan utang. 

Contohnya, meski di subsidi bunga dilakukan restrukturisasi, tapi jika daya beli masyarakat masih belum pulih, belum banyak permintaan. Dipaksa menerima kredit dari bank, dan bahkan bisa menerima kredit dari beberapa bank, maka kredit bukan akan untuk meningkatkan produksi. 

Jika toh digunakan untuk meningkatkan produksi, tapi siapa yang hendak membeli jika pasar masih belum pulih. Akhirnya, kemungkinan besar kredit dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif yang tidak ada kaitan dengan usahanya. 

Dan, kemungkinan besar, debitur yang menerima kredit lebih dari kemampuannya, maka debitur itu akan masuk jebakan utang. Masuk utang jahat dan memiskinan. Kredit bukan makin membuat orang menjadi kaya, tapi kredit makin memiskinkan debitur. Pada akhirnya debitur itu masuk daftar hitam bank, tidak bisa mendapatkan kredit baru dan pada akhirnya jatuh kepelepas uang. Utang dibayar utang.

Hati-hati jangan memaksa bank-bank menyalurkan kredit dengan alasan suku bunga sudah turun. Atau, dengan dengan tekanan politik maupun gebrakan. Kredit akan tumbuh sendirinya jika permintaan sudah ada. 

Bahkan, jika memaksa bankir untuk nekad “kencing kredit” sembarangan, tak hanya akan membuahkan sampah kredit, sekaligus bisa membuat debitur “kekenyangan” kredit pada akhirnya para debitur UMKM khususnya akan masuk jebatan utang yang lebih bahaya.

Pada akhirnya kredit akan mengalir sendiri jika memang benar-benar situasi peningkatan daya beli. Optimis boleh tapi pura-pura optimis itu yang berbahaya, karena bisa membuat bank jadi rongsongan kredit macet dan debitur masuk jebakan utang karena kekenyangan utang.

Kuncinya ekonomi harus baik dulu dan APBN benar-benar sudah bekerja keras dan ada hasilnya berupa peningkatan daya beli dan ekonomi tumbuh secara berkualitas. Itu kuncinya. (*)

Related Posts

News Update

Top News