oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
SEKTOR otomotif sudah dapat stimulus. Bebas pajak untuk mobil murah. Namun, untuk sektor properti, kendati untuk properti kelas FLPP sudah bebas pajak, masih perlu stimulus, terutama soal biaya-biaya dan loan to value (LTV).
Besarnya biaya-biaya yang menggelayuti konsumen ini terasa berat ketika ekonomi tengah dalam kontraksi. Pertumbuhan ekonomi tahun 2020, seperti diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), terkontraksi 2,07%. Dalam kondisi seperti ini, tentu tidak mudah bagi konsumen untuk membeli properti. Sektor properti, terutama sektor real estat, meski masih tumbuh di kisaran 1,25%, tetap masih perlu stimulus.
Di lain sisi, sektor perbankan juga perlu mendapatkan stimulus seperti LTV dan proses, seperti akad kredit yang bisa online dan pengikatan notarial juga dapat dilakukan tanpa tatap muka. Di era pandemi COVID-19 ini, banyak proses kredit sektor perumahan terhambat. Jadi, perlu relaksasi.
Untuk urusan LTV bisa saja dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan menyangkut aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) ada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) – agak lebih mudah. Namun, untuk urusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ada di pemerintah daerah (pemda) dan urusan Akta Notarial Online ada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Biaya-biaya itu masih cukup besar, apalagi di masa pandemi COVID-19. Misalnya, biaya notaris, SKMHT/APHT, apraisal, biaya proses, sampai dengan asuransi dan BPHTB. BPHTB, yang ditetapkan oleh pemda, merupakan biaya atas perolehan tanah dan bangunan yang ditanggung pembeli.
Sejak 2009 (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), BPHTB dipungut oleh pemda – yang sebelumnya dipungut oleh pemerintah pusat. Tarif BPHTB sendiri sebesar 5% dari harga jual dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
Tarif 5% ini relatif besar untuk harga tanah dan bangunan sekarang ini. Belum lagi konsumen juga terkena biaya-biaya lain yang harus disediakan ketika akan melakukan akad kredit di bank. Konsumen selain harus menyediakan sejumlah uang muka juga harus menyiapkan kocek untuk biaya-biaya, seperti biaya BPHTB yang besarnya 5% itu.
Misalnya, jika Anda membeli rumah seharga Rp200 juta, maka biaya yang akan dikenakan ialah 5% X (Rp200 juta dikurangi Rp80 juta – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Hasilnya Anda harus membayar Rp6 juta. Makin besar harga tanah dan rumah, makin besar biaya yang dikenakan.
Menurut Peraturan BI (PBI) Nomor 21/13/PBI/2019, salah satunya tentang rasio LTV, lebih ringan dengan LTV95%, atau DP sebesar 5% untuk rumah tapak kedua. Hanya saja, tidak semua bank bisa menerapkan kebijakan itu. Bank harus memiliki rasio kredit bermasalah (NPL/NPF) bruto kurang dari 5%. Bank juga tidak boleh mempunyai rasio KPR bermasalah (NPL KPR) lebih dari 5%. Sementara, untuk DP 0% diserahkan kepada masing-masing bank.
Kebijakan ini mendorong kredit sektor perumahan. Namun, perlu diperhatikan, setiap kenaikan kredit perumahan selalu diikuti dengan kenaikan lebih tinggi harga tanah dan bangunan. Hal ini yang perlu diberi keseimbangan. Namun, dalam situasi sekarang ini, LTV perlu dilonggarkan lebih lebar.
Sudah saatnya regulator, pemda, pengembang juga perbankan saling mendukung pembiayaan properti. Sektor perumahan di Indonesia masih cukup lebar. Dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, mortgagedibandingkan dengan GDP masih 3%. Bandingkan dengan Singapura yang 44,89%, Malaysia 38,96%, Thailand 22,3%. Bahkan, dibandingkan dengan Filipina (3,89%) saja kalah.
Sementara, stimulus untuk mendorong properti kelas bawah juga rendah, hanya Rp8,87 triliun. Jika dibandingkan dengan dana-dana subsidi energi atau stimulus untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tentu tidak ada artinya. Namun, perlu dipikirkan, untuk kelompok bawah diberi tambahan subsidi – karena kemampuan daya belinya turun.
Dan, yang lebih penting dari itu ialah bagaimana meningkatkan kredibilitas pengembang atau developer. Banyaknya pengembang ke jalur PKPU tentu makin menambah persoalan bagi sektor perumahan. Bermain-main di Pengadilan Tata Niaga sering kali menyulitkan konsumen.
Bahkan, tidak sedikit developer yang tidak membangun tepat pada waktu yang dijanjikan. Sering kali konsumen kesulitan, misalnya konsumen sudah membayar, sudah akad kredit, tapi rumahnya belum selesai dibangun. Konsumen mau mengangsur, takut makin besar kerugiannya karena rumahnya belum selesai. Tidak mengangsur, konsumen dapat status macet dan masuk “daftar hitam” debitur yang harus dijauhi. Sedih.
Nah, untuk itu, asosiasi developer, atau mungkin Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bisa ikut menertibkan developer nakal ini. Daftar hitam (black list) developer nakal ini juga perlu diberlakukan kepada bank-bank untuk tidak bisa lagi kerja sama dengan bank. Perlindungan konsumen akan menyehatkan industri perumahan ini.
Namun, pemberian stimulus dan relaksasi menjadi sangat penting di tengah penurunan daya beli akibat pandemi COVID-19. Kantong APBN perlu ditambah untuk sektor perumahan, tak hanya Rp8,87 triliun. Sektor perumahan sejatinya hanya ingin daya beli masyarakat meningkat. Besarnya stimulus PEN tahun 2021 yang Rp688,33 triliun diharapkan punya daya tendang ke daya beli masyarakat.
Atau, setidaknya, mengurangi BPHTB dari 5% menjadi lebih rendah, ke kisaran 1%-2,5%. Nanti jika ekonomi tumbuh, bisa jadi tarif itu naik lagi, seperti peran LTV yang juga bisa mendorong dan mengerem kredit perumahan. (*)