Jakarta – Tahun 2020 merupakan tahun yang penuh tatangan buat indutri perbankan, termasuk perbankan syariah. Bagaimana tidak, Pandemi covid-19 yang belum berujung telah menghantam berbagai sektor bisnis di Indonesia, termasuk sektor riil seperti UMKM, yang menjadi salah satu fokus segmen perbankan syariah.
Namun demikian, industri keuangan syariah nampaknya masih cukup tangguh di tengah pandemi covid-19. Hal itu terukur dari kinerja keuangan syariah yang masih lebih baik dibandingkan lembaga keuangan konvensional.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekaligus Ketua Umum Pengurus Pusat MES, Wimboh Santoso, akhir pekan lalu dalam Webinar Masyarakat Ekonomi Syariah 7th Indonesia Islamic Economic Forum (IIEF).
Wimboh mencatat aset industri keuangan syariah tumbuh cukup tinggi sebesar 21,48 persen atau mencapai Rp1.770,3 triliun dengan rincian aset perbankan syariah sebesar Rp593,35 triliun, aset pasar modal syariah termasuk reksa dana sebesar Rp1.063,81 triliun, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) syariah sebesar Rp113,16 triliun.
Disisi lain pembiayaan bank umum syariah mencatatkan pertumbuhan 9,5 persen secara yoy. “Ini di tengah kontraksi kredit perbankan nasional sebesar -2,41 persen. Sehingga secara umum kondisi lembaga keuangan syariah masih terjaga dengan baik,” ujar Wimboh.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan tahun 2021? Apakah tahun ini industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah bisa bergerak makin kencang? Atau sebaliknya.
Seperti diketahui, Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia yaitu mencapai 229 juta orang atau sekitar 87% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, total aset sektor perbankan syariah telah mencapai Rp593,35 triliun, yang terdiri dari 14 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, dan 162 bank pembiayaan rakyat syariah.
Tantangan perbankan syariah saat ini yakni soal pangsa pasar yang masih relatif rendah, seiring dengan literasi dan inklusi keuangan syariah yang juga rendah, di mana masih 0,93% untuk indeks literasi dan 9,1% untuk inklusi syariah. Sedangkan, secara nasional, indeks literasinya sudah 38,03% dan inklusi keuangan 76,19%.
Selain itu, diferensiasi model bisnis atau produk syariah juga masih terbatas, adopsi teknologi belum memadai, dan pemenuhan SDM belum optimal.
Kendati demikian, pengamat ekonomi dan perbankan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, perbankan syariah memiliki kelebihan tersendiri, yakni fokus melakukan pengembangan sektor riil, khususnya UMKM. Core business ini ujarnya perlu terus ditingkatkan, karena pasar usaha mikro di indonesia masih cukup besar.
“Setidaknya ada 50 juta sektor usaha di Indonesia jenisnya mikro,” terangnya kepada Infobank.
Selain itu, perbankan syariah juga perlu meningkatkan strategi teknologi digital, karena disaat yang bersamaan muncul neo bank. Segmen anak muda di Indonesia sendiri menurut data BPS per 21 januari 2021 mencapai 53% dari total populasi yakni milenial 25,8% dan gen Z sebesar 27,9%. Jadi targetnya 144 juta penduduk anak muda yang adaptif terhadap teknologi.
“Jangan yang disasar bisnis tradisional saja, tapi juga harus berani masuk ke pembiayaan startup misalnya dan bisnis suporting digital lainnya,” tambahnya.
Jika semua tantangan tersebut diatas bisa diatasi, bukan tidak mungkin, perbankan syariah tahun ini bisa kembali tumbuh, bahkan melebihi pertumbuhaan ditahun sebelumnya.
Indonesia sendiri sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan peran ekonomi dan keuangan syariah. Indonesiapun diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi syariah di dunia.
Peneliti Senior Pusat ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI), Banjaran Surya Indrastomo mengungkapkan, terdapat tiga hal yang menjadikan perbankan syariah Indonesia agar dapat berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi dan keuangan syariah global.
Pertama, menjadi pusat pertumbuhan dengan berbagai inisiatif yang ada. Seperti konsolidasi, inovasi produk dan holdingisasi yang dimotori perbankan syariah.
Kedua, meningkatkan research and development (R&D) di bidang keuangan syariah melalui investasi ke riset maupun lembaga penelitian.
“Selama ini OJK dan Bank Indonesia sudah sangat luar biasa mendukung research and development,” ungkap Banjar pada acara Webinar Economic Sharia Outlook.
Yang ketiga, adalah bagaimana perbankan syariah di Indonesia dapat menarik likuiditas dari luar negeri seperti timur tengah dengan aksi korporasi. Salah satunya seperti pembukaan cabang maupun pendekatan kepada sumber pendanaan.
Banjar memaparkan peringkat 1,2 dan 3 dari pesebaran aset keuangan syariah pada tahun 2019/2020 didominasi oleh negara Timur Tengah. Di antaranya Iran (US$698,2 miliar) Saudi Arabia (US$629,4) dan Malaysia (US$99,2 miliar).
Total likuiditas yang beredar di Timur Tengah sebesar US$1,933 miliar atau 71 persen dari total aset berdasarkan 10 negara dengan aset keuangan syariah terbesar di dunia.
“Terdapat likuiditas yang luar biasa di Timur Tengah lebih dari 70 persen potensi yang bisa dikembangkan,” ujarnya. (*)