BRI yang selama lima tahun terakhir ini menyandang juara laba, mendadak jadi juara loan at risk. Aset Bank Mandiri sulit terkejar BRI setelah merger Bank Syariah Indonesia. Mengapa BCA mendadak menyalip laba BRI dan Mandiri?
Oleh Tim Infobank
ADU balap bank-bank di kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 kian seru. Perebutan takhta juara di kelompok bank papan atas ini saling salip. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)-lah yang paling menjadi alasan perubahan kekuatan itu. Kantong debitur sudah “jebol” sejak April-Juni 2020 lalu. Jadi, jika kantong nasabah jebol, dompet bank juga “robek”. Namun, untunglah ada relaksasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Debitur macet pun bisa dianggap lancar jika sudah dilakukan restrukturisasi.
Para bankir juga mendadak menjadi “tukang pijit” dengan melakukan banyak restrukturisasi kredit. Angkanya sudah mencapai Rp1.000 triliun atau 20% dari total kredit. Angka kredit yang direstrukturisasi ini diperkirakan akan meningkat sejalan dengan “perpanjangan napas” dari OJK, yang awalnya Maret 2021 menjadi Maret 2022. “Jika tidak diperpanjang, NPL (non performing loan) bank bisa meningkat tajam,” kata sumber di OJK.
Efek samping dari restrukturisasi kredit ini setidaknya akan meningkatkan angka loan at risk (LAR) bank-bank. Secara nasional, LAR perbankan berada di angka 25%, dan kelompok BUKU 4 papan bawah menduduki posisi LAR paling besar dengan angka mendekati 27%.
Bagaimana posisi kelompok BUKU 4? Menurut data Biro Riset Infobank (birI) yang diambil dari laporan keuangan bank-bank (September 2020), jelas terlihat bahwa LAR paling besar disandang Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI yang selama ini memegang dua medali, yaitu juara laba dan juara aset, kini jatuh ke juara LAR.
Tidak mengejutkan jika BRI menyandang LAR paling tinggi karena BRI yang fokus di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) – terkena dampak langsung dari COVID-19. Debitur UMKM yang selama ini menjadi “Soko Guru” BRI, mendadak runtuh. BRI terpaksa melakukan restrukturisasi besar-besaran – yang sudah pasti berdampak pada angka LAR.
Kredit yang direstrukturisasi sudah mencapai kisaran 26%-27% (Rp193 triliun) dari total kredit BRI yang per September 2020 mencapai Rp877,54 triliun. Padahal, pada periode yang sama 2019 angkanya baru 6,4%. BRI merupakan bank yang paling terkena dampak COVID-19.
Sektor UMKM benar-benar lumpuh, dan itulah yang hendak ditolong pemerintah, baik lewat restrukturisasi maupun subsidi bunga dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tak bisa dibayangkan jika tidak ada subsidi bunga dari pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Subsidi bunga 3% sangat berarti bagi pendapatan bunga BRI.
Menurut data Biro Riset Infobank, angka restrukturisasi BRI mencapai 25% dari total kreditnya. Sementara, angka LAR BRI per September 2020 mencapai 29,76%. Padahal, pada posisi Maret 2020 angka LAR BRI masih 12,93% dan per Juni 2020 melonjak menjadi 28,92%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama September 2019, angka LAR BRI masih di angka 10%.
Dibandingkan dengan pesaing sejatinya: Bank Mandiri, LAR BRI “juara kelas”. Lihat saja, LAR Bank Mandiri hanya 22,91%. Pada Maret 2020 LAR Bank Mandiri tercatat 11,09% dan BRI 12,93%. Jika dibandingkan dengan Bank Negara Indonesia (BNI) yang sering didesas-desuskan LAR-nya tinggi, ternyata pada September 2020 masih lebih baik daripada BRI. Angka LAR BNI tercatat 28,01% dengan LAR pada awal COVID-19 (Maret 2020) hanya 10,90%.
Adalah Bank Central Asia (BCA) yang paling rendah LAR-nya dibandingkan dengan tiga bank badan usaha milik negara (BUMN): BRI, Bank Mandiri, dan BNI. Angka LAR BCA hanya 18,53%, sementara pada posisi Maret LAR-nya 4,68%. Atau, tumbuh 13,85%.
Lebih dalam, membedah buku BRI yang tengah melakukan transformasi teknologi maupun culture ini, meski angka NPL-nya masih sekitar 3,02%, kredit dalam perhatian khusus bank ini mencapai 5,23% dengan kolektibilitas 1 restru sebesar 21,51%.
Menurut pengalaman, untuk menahan kolektibilitas 1 restru tidak jatuh, dibutuhkan kerja keras. Pejabat BRI seharusnya punya pengalaman dalam menghidupkan sektor UMKM yang menjadi dunianya. Namun, sektor riil, khususnya UMKM yang menjadi bagian besar dalam restrukturisasi kredit, tentu tidak mudah bertahan dalam masa COVID-19.
Tak semua kredit yang direstrukturisasi akan kembali menjadi lancar. Pengalaman di negara-negara maju, sektor UMKM umumnya tidak semua hidup kembali. Rata-rata sekitar 70%-80% yang hidup. Jadi, diperlukan pencadangan yang memadai juga.
Menurut data Biro Riset Infobank, LAR coverage ratio BRI sebesar 21,8% (termasuk) COVID-19. Sedangkan, tanpa COVID-19, LAR coverage ratio (tak termasuk) COVID-19. Apakah ini mencukupi atau tidak? Setidaknya, angka ini menunjukkan bahwa tidak semua kredit yang dilakukan restrukturisasi akan kembali hidup. Untuk itu, setidaknya BRI harus mengoptimalkan penjualan kolateral atau melakukan kerja sama dengan aset manajemen unit dan legal action.
Di lain sisi, BRI selama ini menjadi juara pencetak laba. Namun, per September 2020 labanya anjlok sekitar 43,3% menjadi Rp14,05 triliun. Pada September 2019 labanya masih digdaya di angka Rp24,774 triliun. Penurunan laba ini tampaknya BRI memberi pencadangan yang agak besar – sekitar 215% dari sebelumnya 159%.
Takhta laba terpaksa diambil oleh BCA yang selama ini “malu-malu” untuk menjadi peraih laba terbesar. Namun, kali ini, meski juga mengalami penurunan laba, medali juara diraih BCA dengan perolehan laba Rp19,76 triliun. Atau, turun hanya 1,43% dibandingkan dengan laba September 2019 yang tercatat Rp20,14 triliun.
Sumber laba BCA, masih tumbuhnya pendapatan bunga bersih hingga 9%. Sedangkan, BRI dan Bank Mandiri mengalami penurunan yang lebih tajam. Hal ini bisa saja karena debitur sudah tidak membayar bunga, tapi bisa juga karena program restrukturisasi. Namun, intinya, BCA lebih efisien – dalam hal ini cost of fund yang rendah dengan debitur yang relatif lebih baik.
Sementara, laba BNI terjun bebas. Sudah diduga, manajemen baru BNI membentuk cadangan yang lebih besar (206%). Akibatnya, laba bank ini merosot 65,48%, dari Rp11,29 triliun menjadi hanya Rp3,90 triliun. Pertanyaannya, apakah pencadangan ini akan dipakai semua. Namun, pengalaman selama ini, pada tahun berikutnya bisa berubah bentuk menjadi laba dari pencadangan.
Dan, Bank Mandiri yang labanya juga anjlok 31,61%, menduduki posisi ketiga dalam perolehan laba. Laba Bank Mandiri yang per Juni 2020 sempat menyalip BRI, kini hanya Rp12,99 triliun. Pada periode yang sama 2019 laba yang dicetak Bank Mandiri Rp18,99 triliun.
Bagaimana prediksi masa mendatang? Dari sisi aset, tampaknya Bank Mandiri akan menjadi bank terbesar di Indonesia, khususnya setelah terjadi konsolidasi dari Bank Mandiri Syariah Indonesia. Setidaknya, Bank Mandiri akan bertambah asetnya sebesar Rp225 triliun pada posisi Maret 2021 mendatang.
Jumlah aset Bank Mandiri itu akan sulit terkejar kembali oleh BRI yang selama ini menduduki posisi tertinggi. Aset BRI pada September 2020 tercatat Rp1.447 triliun (konsolidasi), disusul Bank Mandiri Rp1.406 triliun. Kemudian, disusul BCA yang sudah menembus Rp1.003 triliun dan BNI dengan aset Rp916,95 triliun.
Adu balap bank BUKU 4 kian seru pada masa-masa mendatang. Dan, kunci yang menang adalah mereka yang punya cost of fund rendah serta kecanggihan dalam mengelola kredit yang direstrukturisasi. Soal lain adalah bagaimana mempertahankan net interest margin (NIM). Jadi, COVID-19 tidak hanya mengubah perilaku nasabah bank, tapi juga ternyata mengubah klasemen bank.
Selama ini yang nikmat menjadi juara laba kini harus kerja keras untuk membereskan LAR agar tidak jatuh ke NPL. Hati-hati LAR yang tinggi karena tidak semua LAR akan kembali sehat dan lancar. (*)