Jakarta– Bank dibenarkan mengabaikan upaya restrukturisasi dan melakukan eksekusi jaminan melalui proses lelang terhadap debitur yang tidak kooperatif dan tidak memegang komitmen memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan bank dari risiko yang lebih besar.
Pandangan tersebut disampaikan Pakar Perbankan DR Prasetio sebagai saksi ahli yang dihadirkan di muka persidangan dalam kasus pidana antara Bank Swadeshi dengan Ratu Kharisma di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (28/9).
“Bank dapat melakukan langkah yang disebut dengan call the loan. Dan jika ternyata terjadi dead lock maka eksesuki terhadap jaminan harus dilakukan,” kata Prasetio.
Mantan Direktur Utama Peruri dan Salah satu Direksi Bank Danamon ini menjelaskan, dalam pemberian kredit dikenal analisa first way out dan second way out. First way out adalah analisa kemampuan (ability to pay) dan kemauan (willingness to pay) membayar kembali dan sumber pembayaran kembali utama, dilihat dari karakter dan komitmen debitur, jenis usaha, kondisi industri makro, keuangan, modal usaha, reputasi. Sedangkan second wayout adalah nilai jaminan, sebagai sumber pembayaran kembali atas pinjaman apabila first way out tdk mencukupi.
“Jaminan sebenarnya diminta oleh bank agar bank lebih komit dan memiliki moral obligation yang lebih kuat,” ucapnya.
Lebih jauh doktor lulusan Universitas Gajah Mada tersebut mengatakan bahwa kalsifikasi kredit sesungguhnya sudah ada aturan BAnk Indonesia (BI) atau bank dapat lebih konservatif bila melihat first way out mengalami masalah dan restrukturisasi tidak dapat dilakukan, maka bank dapat melakukan call the loan dan clasified macet.
Adapun pertimbangan restrukturisasi menurutnya adalah diperuntukkan bagi debutur yang kooperatif dan memiliki komitmen tinggi dan sungguh-sungguh, serta penyesuaian atas sumber pembayaran kembali dan penyesuaian kondisi struktur kredit bisa berupa reconditioning.
“Bila bank menimbang bahwa debitur ternyata tidak kooperatif dan tidak komit maka tentunya takan terjadi deadlock sehingga upaya akhir adalah eksekusi jaminan oleh bank melalui proses lelang,” katanya.
Proses lelang itu sendiri menurutnya bersifat bersifat terbuka dan undangan terbuka. Siapapun yg berminat dipersilahkan ikut termasuk debitur bila menghendaki. Bagi bank sendiri kata Prasetio, proses lelang adalah last effort, dimana siapa peminat dan cocok atau masih dalam koridor limit internal approval, bank akan release karena sebagai upaya akhir menghindarkan kerugian lbh besar (bila ternyata usaha/kondisi cash flow tidak cukup membayar kewajiban).
Bila hasil lelang tidak cukup menutup oustanding loan kata Prasetio, maka sisa pinjaman biasanya atas internal policy di write off, namun bukan berarti forgiveness, alias bank masih bisa menagih sisanya.
Fransisca Romana, kuasa hukum terdakwa Ningsih Suciati, usai persidangan menyebutkan bahwa jumlah total kredit Debitur PT Ratu Kharisma adalah Rp10.500.000.000,- dan baru membayar Rp230 juta di tiga bulan pertama dan selanjutnya tidak pernah membayar. Itu pun menurutnya berasal dari fasilitas kredit yang belum ditarik.
Debitur kemudian meminta penambahan dan restrukturisasi karena kesulitan biaya operasional dan adanya permasalahan dengan bank lain, flu babi , krisis global meminta restrukturisasi namun bank tidak mengabulkan karena usaha debitur dianggap tidak prospektif.
“Adalah hak bank untuk tidak mengabulkan permohonan restrukturisasi terhadap usaha debitur yang tidak dianggap prospektif. Langkah ini untuk menyelamatkan bank dari risiko yang lebih besar,” tukas Fransisca
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri dalam persidangan tersebut tidak memberi pertanyaan atau menanggapi keterangan yang disampaikan saksi ahli di muka persidangan. (*)