INDUSTRI perbankan sedang memasuki lorong gelap resesi. Para bankir pun diuji untuk mampu melewati masa sulit dan mencegah bank yang dipimpinnya tidak sampai ke pusaran krisis yang lebih dalam. Bankir-bankir yang kinerja banknya sudah menunjukkan tanda-tanda pelemahan sebelum badai Covid-19 datang harus bekerja ekstra keras. Tentu menjadi lebih sulit jika pemegang saham pengendali (PSP)-nya tidak memberi dukungan kepada banknya yang mengalami masalah solvabilitas maupun likuiditas. Pemilik harus ikut mengambil peran untuk menjaga ketahanan banknya, misalnya tidak menuntut dividen atau menahan kepemilikannya kalau tidak mau menginjeksi modal di banknya yang membutuhkan modal.
Sebelum dilanda pandemi Covid-19 pada Maret 2020, sebagian bank sudah mencatat kenaikan credit at risk, menurunnya dana murah, biaya operasional yang naik melebihi pendapatan operasionalnya, pencadangan yang minim, hingga tingkat profitabilitasnya yang menurun. Menurut Biro Riset Infobank (birI), kredit industri perbankan pada 2019 hanya tumbuh 6,08%, terendah sejak 2010, di mana ada 29 bank mencatat penurunan kredit. Meskipun non performing loan (NPL) secara industri masih aman, credit at risk menunjukkan tren kenaikan sejak tahun lalu dan ada 17 bank mencatat NPL di atas 5%.
Sedangkan dari pertumbuhan laba industri cuma 4,28%, di mana ada 53 bank yang labanya anjlok dan ada 11 bank yang labanya minus. Bahkan, Bank Artos Indonesia labanya minus selama lima tahun dan Bank Banten menderita kerugian hingga enam tahun berturut-turut. Namun, Bank Artos punya harapan setelah dibeli bankir sukses, Jerry Ng, dan siap menjadi bank digital dengan nama Bank Jago. Sementara, nasib Bank Banten masih di persimpangan jalan karena opsi penyelamatan melalui merger dengan Bank Jabar Banten (BJB) yang diusulkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak didukung banyak stakeholder kedua bank daerah tersebut.
Pagebluk Covid-19 yang membawa dampak ekonomi sangat signifikan membuat kinerja bank-bank merosot. Jangankan menciptakan turn around bagi bank-bank yang kinerjanya tahun lalu menurun atau merugi. Bank-bank yang sebelumnya berkinerja kuat dan tumbuh pun kini masuk ke kurva menurun. Per Juni 2020 laba bank-bank sudah berjatuhan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang selama ini menjadi pencetak laba terbesar di Indonesia menderita penurunan laba bersih hingga 36,89% menjadi Rp10,20 triliun (konsolidasi, per Juni 2020). Perolehan laba BRI disalip Bank Mandiri yang mencatat penurunan laba bersih sebesar 24,56% menjadi Rp10,55 triliun. Bahkan, BRI juga disalip oleh Bank Central Asia (BCA) yang labanya hanya menurun 4,81% menjadi Rp12,24 triliun. Sedangkan Bank Negara Indonesia (BNI) mencatat penurunan laba yang jauh lebih besar, yaitu 42,26% menjadi Rp4,46 triliun.
Tiga bank besar lain yang masuk dalam kelompok BUKU 4 juga mengalami nasib yang sama. Bank Danamon mencatat penurunan laba hingga 53,29% menjadi sebesar Rp892,47 miliar. Begitu juga PaninBank yang labanya jatuh sebesar 19,45% menjadi Rp1,35 triliun. Sementara, penurunan laba juga dialami Bank CIMB Niaga yang membukukan laba Rp1,74 triliun atau merosot 11,75% dari Juni 2019.
Sampai dengan akhir 2020, para bankir sulit menghindar dari tren penurunan laba banknya akibat pandemi Covid-19 yang telah melumpuhkan roda perekonomian akibat kebijakan pembatasan sosial yang ketat pada pertengahan Maret hingga Juni 2020. Banyak kegiatan bisnis yang melibatkan interaksi manusia pun terpukul seperti pariwisata dan turunannya seperti penerbangan dan perhotelan, bioskop, ritel modern, transportasi, dan pusat kuliner. Sistem work from home (WFH) yang diterapkan banyak perusahaan membuat para pekerja harian dan informal banyak yang kehilangan penghasilan. Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama hanya 2,97% dan pada kuartal kedua pun terkontraksi hingga 5,32%. Apakah kuartal ketiga juga masih akan tumbuh minus dan ekonomi Indonesia mengalami resesi?
Kepo? Semua diulas tuntas di Majalah Infobank edisi September 2020.