Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
KABAR bahwa pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dipastikan akan terwujud minggu ini. Apalagi, kabarnya, pemerintah dan partai pendukung sudah sepakat akan membuat Perppu penting ini. Keluarnya Perppu ini sepertinya mengonfirmasi tentang berita Reuters sebulan lalu – di mana pemerintah akan melakukan reformasi di OJK, BI, dan LPS.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, Perppu ini sedang dibahas sebagai landasan hukum untuk menguatkan stabilitas sistem keuangan. Sri Mulyani tidak menegaskan secara detail isi Perppu tersebut. Namun, ada beberapa skenario baru tentang peran BI, OJK, LPS, dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Inilah perkiraan framework dari Perppu sebagai tindak lanjut dari “marah-marah” Presiden agar semua lembaga bertindak cepat dalam mengambil keputusan.
Pemerintah akan membuat pasal-pasal penting untuk memudahkan koordinasi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Perppu ini juga dimaksudkan agar tidak ada silo-silo antarlembaga, seperti BI, OJK, dan LPS. Dan, KSSK tak lagi sebagai koordinator, tapi lebih kuat sebagai pengambil keputusan.
Selama ini tampak terlihat anggota KSSK saling menyandera dan saling menunggu bola. Salah satu contohnya, konsep bank jangkar yang tidak jalan. Penerapan pasal-pasal menyangkut mekanisme “bank pelaksana” dan “bank peserta” tidak berjalan mulus. Karena itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuat kebijakan dengan menggelontorkan uang ke bank-bank Himbara dan sejumlah BPD.
Dalam sebuah Rapat Koordinasi Terbatas dua bulan lalu, jika melihat gestur Presiden Joko Widodo (Jokowi), tampak kurang sreg dengan kecepatan pengambilan keputusan dalam program pemulihan ekonomi nasional. Ada ego kelembagaan yang dilindungi oleh undang-undang, seperti kata “independen” di BI dan OJK. Juga, LPS yang sepertinya hanya menunggu “sampah” dari OJK. Bahkan, Presiden pun pernah marah-marah, sejatinya bukan hanya karena urusan para menterinya yang lelet berbelanja, tapi sebenarnya, karena kebuntuan kelembagaan BI, OJK, LPS, dan Kemenkeu.
Lalu, apa saja yang akan direformasi? Kalaupun ada desas-desus akan dilakukan perombakan di tubuh BI, OJK, dan LPS, boleh jadi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, yang akan dilakukan adalah, pertama, KSSK akan lebih kuat di mana Menteri Keuangan (Menkeu) tidak hanya sebagai koordinator, tapi lebih dominan. Misalnya, jika posisinya dua:dua dalam pengambilan keputusan, misalnya BI dan OJK tidak setuju, sementara Menkeu dan LPS setuju, maka keputusan diambil di mana ada Menkeu.
Penegasan ini boleh jadi diperlukan untuk mempercepat pengambilan keputusan. Hal ini perlu karena dalam situasi krisis diperlukan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Kata Presiden, harus extraordinary. Lain halnya jika dalam situasi normal, tentu tidak perlu dilakukan reformasi secara total.
Kedua, boleh jadi OJK tidak akan dibubarkan. Lembaga OJK masih tetap ada. Namun, bisa jadi juga fungsi pengawasan akan dikembalikan ke BI. Hal ini untuk memudahkan koordinasi. Pengawasan industri keuangan non bank (IKNB) boleh jadi ikut dibawa ke BI. Semua ini untuk pengawasan konglomerasi. Lembaga OJK masih berdiri untuk mengawasi pasar modal saja. Dan, kabarnya masa tugas komisioner OJK tidak secara bersamaan berakhir. Namun, dibuat bergantian, seperti di deputi BI. Itu untuk menjaga kesinambungan.
Dengan demikian, soal koordinasi tentang pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial tidak menjadi masalah. Semua itu di satu atap, BI. Tidak ada lagi izin ke OJK, juga ke BI. Pengawasan konglomerasi juga akan lebih mudah.
Ketiga, LPS akan ikut dalam pengawasan bank lebih awal. Sebenarnya hal ini sudah ada, tapi masih tetap tergantung hasil dari pengawasan OJK. Pendek kata, LPS akan lebih berperan di awal, dan bukan hanya menerima “sampah” bank sakit. Tidak hanya itu. Komisioner LPS yang tiga ex officio (dari BI, LPS, dan OJK) dan dua independen. Jadi, LPS perlu ditambah komisionernya, misalnya menjadi tujuh orang. Tidak lima seperti sekarang ini.
Keempat, hal yang paling menarik adalah akan hilangnya pasal-pasal seperti independensi, baik di BI maupun OJK. Bahkan, lebih gamblangnya, pemerintah bisa memberhentikan Gubernur BI dan Ketua OJK. Juga, pemberhentian Deputi BI dan Komisioner OJK tidak perlu menunggu lima tahun. Tergantung kinerja dan selera Presiden.
Jika demikian, maka Perppu ini semata-mata karena kondisi yang tidak normal seperti sekarang. Pertumbuhan ekonomi kontraksi, sektor perbankan penuh restrukturisasi kredit (Rp837 triliun) dan mulai kehilangan fungsi intermediasi dengan pertumbuhan kredit yang rendah. Apalagi tidak semua bank memberi pencadangan yang cukup. Jadi, Perppu ini diperlukan agar tidak terjadi kejatuhan bank akibat rumitnya koordinasi dan ego kelembagaan akibat undang-undang yang dibuat sendiri.
Indonesia sekarang ini menuju lorong resesi, dan tentu sektor keuangan akan mengalami masalah. Jadi, Perppu ini adalah langkah antisipasi. Jangan sampai sektor keuangan porak-poranda. Pengalaman, krisis perbankan atau sektor keuangan akan menelan biaya yang lebih besar.
Perppu reformasi BI, OJK, dan LPS ini setidaknya akan menghilangkan silo-silo kelembagaan. Dan, dalam kondisi yang tidak normal akibat pandemi COVID-19 dan kerusakaan ekonomi diperlukan langkah-langkah extraordinary. Boleh jadi Perppu ini merupakan langkah extraordinary yang dimaksud Presiden Jokowi.
Perppu ini dikeluarkan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional. Perppu ini untuk meminimalisasi masalah koordinasi, ego kelembagaan, dan efektivitas kebijakan. Jadi, Perppu ini bukan untuk mengganti Gubernur BI, Ketua LPS, ataupun Ketua OJK.
Bahkan, bisa jadi Perppu ini untuk penguatan stabilitas sektor keuangan. Juga, peran sentral KSSK. Bukan untuk mengganti orang per orang. Bisa jadi juga Perppu yang tinggal “ketok” ini semata-mata untuk pemulihan ekonomi nasional – dengan koordinasi dan proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tidak kehilangan momentum. (*)