Jurus Sakti Bank Menghadapi Tantangan 2016

Jurus Sakti Bank Menghadapi Tantangan 2016

Bank nasional tidak boleh terlena dengan kehebatan diri sendiri. Kendalikan hawa nafsu untuk melakukan ekspansi ke mancanegara. Tutup kantor yang merugi atau relokasi ke daerah yang menjanjikan ceruk pasar yang gurih. Paul Sutaryono

Menjelang akhir 2015, ternyata bank nasional papan atas masih mampu mengerek kenaikan laba sebelum pajak di tengah pelambatan ekonomi nasional saat ini. Bagaimana jurus bank nasional dalam menghadapi tantangan dan peluang pada 2016?

Sebelumnya, kita simak dulu kinerja bank umum sebagai representasi enam kelompok bank yakni kelompok bank persero, bank umum swasta nasional (BUSN) devisa, BUSN nondevisa, bank pembangunan daerah (BPD), cank campuran dan bank asing. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit 11 Januari 2016 mencatat kredit bank umum masih cukup subur atau naik 10,19% dari Rp3.448,21 triliun per November 2014 menjadi Rp3.799,75 triliun per November 2015.

Sebaliknya, dana pihak ketiga (DPK) ”hanya” naik 7,98% dari Rp3.889,63 triliun menjadi Rp4.199,87 triliun kalau dibandingkan dengan pertumbuhan kredit. Padahal, biasanya, DPK tumbuh lebih subur. Mengapa? Mudah diduga, kondisi tersebut disebabkan turunnya daya beli (purchasing power) masyarakat terutama menengah ke bawah. Namun, rasio kredit dan DPK (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 88,65% menjadi 90,47% di tengah rasio ideal menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 78-92%. Hal ini menunjukkan bahwa penyaluran kredit cukup agresif.

Sayangnya, laba sebelum pajak menurun 7,23% dari Rp142,56 triliun menjadi Rp132,26 triliun. Hal ini mengakibatkan imbal hasil aset (return on assets/ROA) menipis dari 2,87% menjadi 2,33% sekalipun jauh di atas ambang batas 1,5%. Ini merupakan simbol bahwa kualitas aset (asset quality) bank umum terkikis.

Di sisi pendapatan bersih (net interest margin/NIM), ternyata NIM masih naik dari 4,24% menjadi 5,35%. Kenaikan itu terjadi ketika suku bunga deposito telah mulai menurun sebagai akibat penurunan suku bunga acuan (BI Rate) dari 7,75% menjadi 7,50% pada Februari 2015, tetapi suku bunga kredit belum menurun. Inilah rapor cukup biru bank umum hingga November 2015.

Tantangan dan Peluang

Lagi-lagi, bagaimana jurus bank nasional dalam menghadapi tantangan dan peluang 2016 dalam kondisi ekonomi yang diprediksi akan lebih baik?
Satu, mengharapkan cahaya baru. Kita patut bersyukur karena pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin subur. Lirik saja, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 4,73% per kuartal III/2015 sedikit membaik dari 4,67% per kuartal II/2015 dan 4,72% per kuartal I/2015. Inilah cahaya baru yang membuka cakrawala 2016 yang lebih cerah. Tahun 2016 lebih optimis!

Dua, merindukan penurunan suku bunga acuan. Selama ini, terdapat dua mazab yakni, pertama, kebijakan yang mempertahankan stabilitas ekonomi yang dipresentasikan oleh BI dengan mempertahankan suku bunga acuan tetap tinggi.

Suku bunga acuan Indonesia termasuk tinggi di antara negara-negara ASEAN. Suku bunga acuan Vietnam 6,50%, Filipina 4,00%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,50%, dan Singapura 0,21%. Coba bandingkan pula dengan negara-negara yang bersatu dalam BRICS: Brazil 14,25%, Rusia 11,00%, India 6,75%, China 4,35% dan Afrika Selatan 6,00%.

Sebaliknya, mazab kedua adalah kebijakan untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional yang diwakili oleh pemerintah sebagai penganut suku bunga acuan yang pro pertumbuhan. Kedua mazab tersebut berjalan sejajar seperti rel kereta api sehingga tidak mungkin bertemu dalam satu titik kecuali dalam persimpangan jalan. Lalu, apakah kerinduan itu akan berbalas?

Ya! Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, ruang penurunan suku bunga acuan (BI Rate) semakin lebar. Pada umumnya, selisih antara BI Rate dan inflasi tahunan paling tidak hanya 1%. Saat itu (akhir 2015), BI Rate 7,5% sedangkan inflasi 4,89% per akhir November 2015, maka terdapat selisih 2,61%.

Bahkan kini inflasi terus menipis menjadi 3,35% per Desember 2015 dari 4,89% (November), 6,25% (Oktober), 6,83% (September), dan 7,18% (Agustus 2015). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun sudah mendorong dengan menurunkan 25 bps (0,25%) suku bunga penjaminan simpanan masing-masing menjadi 7,5% (dalam rupiah) dan simpanan dalam valuta asing (valas) 1,25%.

Suku bunga penjaminan untuk rupiah di bank perkreditan rakyat (BPR) pun menurun menjadi 10%. Sungguh, penurunan suku bunga penjaminan itu merupakan lampu hijau bagi bank nasional untuk mau menurunkan suku bunga deposito.

Akhirnya, kerinduan penurunan BI rate itu terjawab ketika Rapat Dewan Gubernur BI pada 14 Januari 2016 dengan gagah perkasa Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate 25 basis poin (bps) dari 7,50% menjadi 7,25%. Sebaliknya, Federal Open Market Committee (FOMC) menaikkan suku bunga acuan 25 bps dari 0,25% menjadi 0,50% pada 16 Desember 2015.

Sebelumnya, pada November 2015, BI lebih memilih untuk menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dari 8% menjadi 7,5% bagi bank nasional. Secara kebetulan, dua bulan sebelumnya penulis telah mengajukan saran supaya GWM diturunkan untuk menambah amunisi bagi bank nasional untuk melakukan ekspansi kredit (Harian Kontan, 22 September 2015). GWM primer adalah simpanan minimal yang wajib dipelihara bank dalam bentuk rekening giro di BI dan berbentuk persentase dari dana pihak ketiga.

Oleh karena itu, penurunan BI Rate itu diharapkan dapat mendorong penipisan suku bunga deposito terlebih ketika BI Rate berani turun hingga 50 bps. Hal itu bakal menyetrum suku bunga kredit untuk lebih terjangkau sektor riil. Alhasil, sektor riil akan dapat segera melakukan ekspansi bisnis untuk menyongsong rejeki 2016.

Tiga, memperbaiki kualitas kredit. Namun bank nasional suka tidak suka wajib memasang kuda-kuda kenaikan kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Lantaran kondisi ekonomi nasional masih diliputi awan tebal pada 2016. Katakanlah, terutama pelambatan ekonomi Tiongkok juga devaluasi (penurunan nilai tukar) yuan yang sempat menggoyang bursa saham Tiongkok. Kondisi demikian otomatis akan menekan nilai ekspor nasional karena Tiongkok merupakan salah satu tujuan ekspor Indonesia.

Beberapa bank nasional langsung tancap gas untuk menggenjot cadangan. Bahkan kemungkinan besar ada bank nasional yang menetapkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) (loan loss provision) hingga melebihi 100%. Tetapi dengan catatan bahwa kelak apabila tidak terjadi risiko, kelebihan cadangan itu dapat berubah menjadi pendapatan lain-lain yang akan menyumbang kenaikan laba tahunan.

Empat, mengetatkan ikat pinggang menjadi opsi mutlak. Dalam masa krisis ekonomi sekarang ini, mau tidak mau bank nasional wajib mengikat pinggang lebih ketat.

Rasio biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO) tampak menurun jauh dari 76,16% menjadi 81,62%. Angka tersebut sudah melewati ambang batas BOPO 70-80%. Hal itu menegaskan bahwa tingkat efisiensi bank umum menurun. Kenaikan suku bunga deposito mendorong laju biaya dana (cost fund) yang kemudian menyebabkan BOPO makin melambung (memburuk).

Tengok saja, tingkat efisiensi menurut kelompok bank. BOPO kelompok bank persero dan BPD masing-masing 73,12% dan BPD 79,86% termasuk efisien. Sementara empat kelompok lainnya masih harus berjuang keras untuk dikatakan sebagai bank efisien yakni Kelompok BUSN devisa 84,79%, BUSN nondevisa 87,11%, bank campuran 87,52%, dan bank asing 92,06%.

Kali ini ada yang terasa janggal mengingat selama ini kelompok bank campuran dan bank asing termasuk bank efisien. Apa penyebab utamanya? Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh derasnya biaya untuk program pensiun dini yang dilakukan oleh beberapa bank campuran dan bank asing.
Harap catat tingkat efisiensi menjadi salah satu kunci keberhasilan (key success factors) dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah efektif pada akhir 2015. Ingat pula bahwa bank negara ASEAN mengantongi BOPO lebih rendah pada kisaran 40-60%.

Ringkas tutur, bank nasional tidak boleh terlena dengan kehebatan diri sendiri. Sarinya, bank nasional harus mengerek tingkat efisiensi untuk mampu bersaing dengan trengginas. Bagaimana kiatnya? Kendalikan hawa nafsu untuk melakukan ekspansi ke mancanegara. Tutup kantor yang merugi atau relokasi ke daerah yang menjanjikan ceruk pasar (niche market) yang gurih.

Lima, menggenjot pendapatan nonkredit (non interest income). Adalah wajar ketika pengucuran kredit perbankan tampak lemas dalam pelambatan ekonomi. Oleh karena itu, bank nasional akan mengerek pendapatan nonkredit atau pendapatan dari komisi (fee-based income). Hal itu sebagai upaya untuk mengimbangi pendapatan dari bunga yang sedang merosot.

Sebut saja, pendapatan dari pengelolaan rekening giro dan tabungan (current account and saving account/CASA). Juga mobile banking, SMS banking, phone banking, internet banking, dan ATM. Plus cash management, wealth management, bancassurance, dan unit link yang membuahkan madu nan legit.

Enam, menggeber kredit konsumer (consumer banking). Bank nasional pun akan menggeber kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor), kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA,) dan kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, bank nasional tiada henti menggenjot usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk mengejar target minimal 20% pada 2018.

Berbekal aneka kiat demikian, bank nasional akan mampu menghadapi tantangan dan peluang 2016 dengan lebih tangkas. Untuk apa? Untuk menggapai laba tinggi di tengah persaingan yang kian sengit.

Penulis adalah pengamat perbankan.

Related Posts

News Update

Top News