Jakarta – Pemerintah diminta untuk menjelaskan kepada publik terkait dengan alasan di balik relaksasi kebijakan pemerintah yang dianggap telah menguntungkan PT Freeport Indonesia.
Sebelumnya pemerintah sudah melarang Freeport untuk ekspor konsentrat karena tidak memenuhi uang jaminan sebesar US$530 juta untuk membangun smelter. Namun, pemerintah tiba-tiba mengubahnya dan memberi izin Freeport untuk eskpor konsentrat selama enam bulan.
Staf Ahli Bidang Ekonomidi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Firmanzah mempertanyakan relaksasi kebijakan pemerintah yang dianggap menguntungkan Freeport yang sebelumnya melarang untuk melakukan ekspor konsentrat, namun sekarang malah mengizinkannya.
“Tentu pemerintah harus menjelaskan ke publik. Kalau tidak, akan terus menjadi polemik di publik. Keputusan relaksasi dari pemerintah ke Freeport selama ini sudah banyak,” ujar Firmanzah, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 10 Februari 2016.
Dia mengungkapkan, dengan adanya kebijakan pemerintah tersebut, terutama Kementerian ESDM yang memutuskan untuk menyetujui relaksasi kebijakan itu, dikhawatirkan menjadi sorotan negatif di mata masyarakat. Sehingga pemerintah wajib memberikan alasan kepada publik.
“Alasan dan argumen apa yang diambil oleh Menteri ESDM (Sudirman Said) yang merelaksasi dan mengambil opsi tersebut? Seolah-olah dia selalu menguntungkan Freeport. Itu menjadi pertanyaan besar di mata publik,” tukasnya.
Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Bambang Gatot menyatakan, rekomendasi surat izin perpanjangan Freeport telah diterbitkan untuk enam bulan ke depan. Dengan begitu, Freeport diperbolehkan untuk ekspor konsentrat sebanyak 1 juta ton.
“PT Freeport telah merespon. Mereka telah memenuhi syarat untuk dikenakan tambahan bea keluar ekspor sebesar 5%. Tapi untuk yang US$530 juta dollar tersebut masih dibicarakan lebih lanjut,” ucapnya. (*) Rezkiana Nisaputra