Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, besaran cadangan devisa hingga Januari 2016 yang tercatat US$102,1 miliar, dianggap tidak masuk akal untuk menghadapi dinamika ekonomi di tengah lonjakan utang luar negeri dan impor.
“Sekarang kebutuhan utang kita sudah melonjak, terus kebutuhan impor meningkat. Jadi koq US$102 miliar dan US$104 miliar masih sama amannya. Jadi gak make sense (tak masuk akal) aja,” ujar Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 10 Februari 2016.
Menurutnya Enny, sejauh ini Bank Indonesia (BI) mengklaim bahwa besaran cadangan devisa senilai US$102,1 miliar masih dalam ketegori aman, dengan mengacu pada standar kecukupan untuk membiayai 7,5 bulan impor atau 7,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Kalo kata Bank Indonesia posisi cadangan devisa saat ini gak mengkhawatirkan, yaa kita percaya ajalah,” tukasnya.
Enny mempertanyakan, penurunan cadangan devisa per akhir Januari 2016 yang hampir USD4 miliar tersebut, tidak sejalan dengan pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani yang selalu menyebut bahwa realisasi investasi asing terus meningkat.
“Nah persoalannya, pak Franky kan selalu bilang ada peningkatan investasi asing. Tetapi mengapa cadangan devisanya menurun. Apakah yang dimaksud pak Franky ini persetujuan investasi atau realisasi investasi. Kalau realisasi investasikan pasti berdampak ke cadangan devisa,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia akhir Januari 2016 sebesar US$102,1 miliar atau tergerus US$3,8 miliar jika dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2015 sebesar US$105,9 miliar.
Penurunan cadangan devisa tersebut, disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan devisa, antara lain untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah, termasuk pembayaran pokok dan bunga global bond yang jatuh tempo. (*) Rezkiana Nisaputra