Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi InfoBank
Jakarta – Dua hari seteleh the legend Didi Kempot meninggal dunia, kini Harry H Diah yang juga legend. Harry Diah merupakan legend di dunia asuransi. Dia adalah pelopor asuransi patungan (joint venture) di Indonesia.
Terlahir sebagai Harry Harmain Diah pada tahun 1932 di Medan, dari pasangan Muhammad Yoedin, seorang douane (pegawai kepabeanan) asal Aceh, dan Zahra Adira, asal Medan.
Nama Harry Diah sering dikaitkan dengan nama Burhanuddin Mohammad Diah atau lebih dikenal sebagai BM Diah.
BM Diah adalah tokoh perjuangan Kemerdekaan RI dan tokoh pers nasional. Dia pendiri Harian Merdeka dan Indonesia Observer. BM Diah adalah adik bungsu Muhammad Yoedin. Jadi, BM Diah adalah pamannya Harry Diah.
Harry Diah dikenal sebagai praktisi senior industri asuransi. Dia masuk industri asuransi sejak tahun 1975. Sampai akhir hayatnya, dia masih aktif mengelola asuransi Avrist Assurance. Di usianya yang mendekati 90 tahun, dia masih sering datang ke kantornya, di bilangan Sudirman.
Kepergian Harry Diah adalah kehilangan besar bagi industri asuransi nasional. Harry Diah masuk industri asuransi tahun 1975 dengan mendirikan Asuransi Jiwa Ikrar Abadi (AJIA).
Tahun 1974, Menteri Keuangan Ali Wardhana menantang pengusaha di Indonesia untuk mendirikan perusahaan asuransi. Saat itu baru ada 14 perusahaan asuransi. Itu pun asuransi lama peninggalan Belanda, seperti Asuransi Bumiputera, Asuransi Jiwasraya, dan Asuransi Nirmei.
Harry Diah, karena semangat patriotismenya membangun perekonomian Indonesia, menerima tantangan Ali Wardhana dengan mendirikan AJIA. Padahal dia awam bisnis asuransi. Saat itu, dia masih bisnis percetakan.
“Saya curiga, Ali Wardhana pun sebetulnya tidak lebih tahu dari saya untuk urusan asuransi. Buktinya, saat itu dia menetapkan modal pendirian asuransi hanya Rp100 juta. Belakangan saya baru tahu, angka Rp100 juta itu angka ‘dari langit’,” ungkap Harry Diah kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Rp100 juta di tahun 1974 memang nilainya cukup besar. Tapi, menurut Harry, angka itu terlalu kecil untuk mendirikan perusahaan asuransi. Meski tak punya modal besar, dan awam dunia asuransi, Harry Diah nekat mendirikan asuransi.
“Pertama, saya nekat meski sama sekali belum pernah bersentuhan dengan industri asuransi. Kedua, saya nekat memberikan pertanggungan hingga Rp100 juta, meski premi yang dibayarkan nasabah tak lebih dari Rp1 juta. Bahkan modal awalnya pun hanya Rp100 juta,” paparnya.
Meski sudah berhasil mendirikan AJIA, Harry Diah merasa belum puas. Menurut dia, untuk membesarkan perusahaan asuransi tidak cukup hanya modal nekat, tapi juga perlu modal capital dan pengalaman. “Asuransi patungan atau joint venture menjadi solusi yang tepat,” tegasnya.
Makanya, dia terdorong untuk memperjuangkan regulasi pendirian asuransi joint venture di Indonesia. Sejak tahun 1975 dia memperjuangkan itu, dengan melakukan pendekatan intensif ke pemerintah, melalui Ali Wardhana dan DPR.
Tahun 1982 adalah tahun bersejarah bagi industri asuransi, karena di tahun itu perjuangan Harry Diah membuahkan hasil: regulasi tentang asuransi joint venture diteken pemerintah. Harry pun orang pertama yang diberi izin mendirikan asuransi joint venture. Dia menggandeng AIA (American International Assurance) dan IAG (International Assurance Group).
Meski berhasil memperjuangkan pendirian asuransi patungan, Harry Diah sempat merasa sedih karena ada beberapa pihak yang memarahinya. Dia dituding sebagai antek kapitalis dan tidak nasionalis karena memberi ruang asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia.
“Saya hanya bisa bilang, this is only the way of doing business. Saya tidak punya uang. Satu-satunya cara ya dengan joint venture. Saya dikasih share saham 40%, asing 60%,” ujarnya.
Tahun 1984 Harry mendirikan asuransi joint venture AIA Indonesia. Setelah jalan 25 tahun, dia membeli seluruh saham AIA Indonesia, dan mengganti nama menjadi Avrist Aasurance, sampai sekarang.
Kalangan praktisi, regulator, dan pemerintah sangat kehilangan dengan kepergian Harry Diah untuk selama-lamanya. Sebab, sejak tahun 1975, hingga akhir hayatnya, dia tidak pernah berhenti memberikan kontribusinya untuk industri asuransi dan perekonomian nasional.
“Beliau sangat peduli dengan masa depan industri asuransi di Indonesia. Saat saya di OJK, beliau sering memberi masukan konstruktif, baik melalui surat maupun secara langsung kepada saya,” ujar Muliaman D. Hadad, mantan Ketua OJK, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Baru-baru ini, atas jasanya membangun perekonomian Indonesia melalui industri asuransi, Harry Diah diberi penghargaan Wiraprakarsa Adhitama oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI). Harry Diah menerima penghargaan bersama Rachmat Saleh, mantan Gubernur BI dan mantan Menteri Perdagangan di era Orba, serta Hans Kartikahadi, akuntan senior.
“Penghargaan diberikan kepada alumni yang dinilai telah mengharumkan almamater, baik melalui terobosan, pemikiran, tindakan, maupun kebijakan sehingga memberikan dampak nyata bagi perkembangan ekonomi dan bisnis Indonesia,” ujar Prof Ari Kuncoro, Ph.D, Dekan FEB UI yang kini jadi Rektor UI.
Meski sosok yang sukses dan besar kontribusinya untuk negeri ini, Harry Diah tetaplah sosok yang sederhana. Sangat sederhana. Saya sudah tahu Harry Diah ketika kantor Infobank dengan kantor IAI satu gedung tahun 1994-195 di Jalan Sudirman. Pulang pergi kantor sering naik taxi. Bahkan, tak jarang dia naik mobil tua. Padahal, dia pemilik AIA, perusahaan asuransi joint venture yang sukses.
Pernah waktu di Semarang, ketika Muliaman Hadad mendapat gelar Guru Besar di Undip, saya duduk bersebelahan. Dia meminta saya untuk menemani makan siang. Dia dijemput pimpinan cabang Avrist dengan mobil Avanza berisi 6 orang karyawan Avrist. Jadi, kami berdelapan dalam satu mobil menuju rumah makan.
”Sudah Eko ndak apa-apa naik ini saja,” kata Harry Diah yang duduk berdempet tiga di kursi tengah.
Dalam hati saya, kenapa Harry Diah begitu sederhana. Tidak minta dijemput mobil yang lebih layak untuk seorang owner perusahaan asuransi besar seperti owner lainnya?
”Sudah ndak apa-apa, karyawan bisanya kasih ini ya sudah. Dia perlu kerja lebih keras. Jangan di ada-adakan. Yang wajar saja, yang penting sampai restoran, haha,” ujar Harry Diah demi melihat saya hendak menegur kepala cabang Avrist Semarang yang menjemputnya itu.
Sosok Harry Diah juga dekat dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Selain sering hadir di acara-acara penting ISEI, seperti Sidang Pleno dan Kongres ISEI, dia juga termasuk donatur tebal bagi ISEI. Acara apa saja di ISEI, jika pengurus datang ke dia, pasti diberi sumbangan untuk berlangsungnya acara.
Bahkan, Harry Diah pernah menggaji karyawan sekretariat ISEI selama hampir setahun. “Pak Harry orang baik dan dermawan, serta rendah hati.” kata Ilham Nur, Kepala Sekretariat ISEI Jaya yang pernah diumrohkan oleh Harry Diah.
Urusan memberangkat haji dan umroh sudah dilakukan oleh Harry Diah sejak tahun 1980-an. Karyawan-karyawan golongan rendah dinaikan haji lebih dulu. “Bahkan, Pak Harry sempat memberangkatkan umroh korban First Travel. Padahal, beliau tidak kenal sama sekali,” ungkap Ilham.
Harry Diah tak pernah menghitung berapa orang yang pernah dihajikan dan diumrohkan. Dia sempat bilang ratusan, atau mungkin ribuan.
Ketika mendengar kabar Harry Diah meninggal tadi pagi, saya begitu shock. Saat ini saya masih menulis buku profilnya. Sebetulnya, dia pribadi tidak mau ditulis profilnya, saya agak memaksa. “Apa layak saya ditulis, Eko,” ujarnya, polos. Duh, bergetar hati saya mendengar jawabannya.
Saat menjenguk dia sakit pada akhir tahun 2019 lalu, kondisinya tampak lemah, sehingga saya tak berani banyak bertanya, termasuk soal bukunya. Tapi rupanya dia bisa membaca pikiran saya. “Diterbitkan tahun 2020 saja, Eko,” celetuknya, lemah.
Bagi saya pribadi, Harry Diah adalah ayah kedua saya. Saya sangat menghormati, dan menyayanginya. Dia juga memperlakukan saya seperti anaknya sendiri.
Ada satu pesan, yang selalu dia ulang, setiap kali bertemu saya. “Untuk bisa sukses, orang harus tekun. Dan, yang tak kalah penting, harus peduli dengan sesama. Karena berbagi tidak akan pernah rugi,” pesan Harry Diah.
Harry Diah memang orang baik. Saya bersaksi untuk itu. Bahkan, dia sangat baik. Sebaik-baiknya orang. Sebaik-baiknya manusia.
Tuhan pun memanggilnya di hari baik: Ramadhan.
Ya, Allah Yang Maha Asih. Andai ada pahala dalam puasaku di Ramadhan ini, izinkanlah aku persembahkan untuk “ayahku” ini. Semoga bisa jadi penerang, dalam perjalanan panjang, menuju rumah-Mu.
Selamat jalan, Pak Harry Diah. (*)