Oleh Diding S. Anwar, Pengurus KADIN, Direktur Utama Jasa Raharja 2007-2012, dan Direktur Utama Jamkrindo 2012-2017.
BANYAK ilmuwan yang memperkirakan bahwa bumi hanya mampu menampung manusia hingga 9 miliar sampai dengan 10 miliar jiwa. Salah satunya adalah Edward Wilson, sociobiology dari Harvard University. Menurutnya, kemampuan bumi tergantung pada kalkulasi sumber daya yang dihasilkan, terutama pangan.
Saat ini penduduk bumi telah mencapai 7 miliar jiwa lebih. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi, penduduk bumi pada 2050 menjadi 9 miliar jiwa dengan kebutuhan pangan meningkat 75% dari saat ini. Negara-negara berkembang dengan kenaikan populasi yang lebih besar akan mengalami peningkatan kebutuhan pangan sebesar 60% pada 2030 dan mengambil porsi 42% dari kebutuhan pangan dunia pada 2050.
Karena itu, ketahanan pangan menjadi fokus perhatian banyak negara, terutama negara-negara berkembangan dengan laju penduduk yang tinggi, seperti Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun rata-rata 1,49%, dan populasi pada 2020 telah mencapai 267 juta jiwa. Sayangnya, Indonesia belum mampu memproduktifkan wilayahnya yang luas dan tanahnya yang subur. Untuk memenuhi kebutuhan pangan utama seperti beras, Indonesia masih harus mengimpor dari luar negeri.
Datangnya pandemi yang disebabkan oleh Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 seperti menjadi aba-aba bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan akan tinggi risikonya. Sebab, sejumlah negara pemasok pangan dunia mulai menahan ekspor bahan pangan. Misalnya Vietnam dan Thailand, dua negara pemasok beras dunia. Begitu pula Rusia yang telah menahan ekspor gandum. FAO sudah memberi peringatan bahwa pandemi COVID-19 yang berkepanjangan menimbulkan kelangkaan atau krisis pangan dunia.
Dalam Laporan Global 2020 tentang Krisis Makanan yang diterbitkan oleh Program Pangan Dunia (WFP), Organisasi Pangan dan Pertanian (FPO) dan 14 lembaga lainnya memperingatkan bahwa lebih dari seperempat miliar orang di dunia bisa menghadapi kelaparan akut karena dampak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus Corona. Badan-badan bantuan PBB mengantisipasi bahwa mereka akan membutuhkan antara US$10 hingga US$12 miliar atau setara dengan Rp186 triliun (kurs Rp15.500 per US$) tahun ini untuk mengatasi perkiraan krisis pangan itu.
Lalu, bagaimana ketahanan pangan Indonesia menghadapi aba-aba dari badan-badan dunia tersebut? Indonesia adalah negara pengimpor bahan pangan, seperti beras, gandum, kedelai, sayur-sayuran, dan hortikultura. Sebelum wabah COVID-19 yang datang tiba-tiba awal tahun ini, masalah impor bahan pangan sering menjadi bahan diskusi oleh para akademisi dan ekonom, yang tanpa kenal lelah memberi masukan kepada pemerintah agar memberi perhatian besar terhadap sektor pertanian.
Masalah pertanian Indonesia memang sudah lama pelik. Impor beras sudah lama dilakukan. Swasembada pangan terjadi hanya sekali, yaitu pada 1984, sebagai hasil dari revolusi hijau yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Itu pun berkat gelontoran subsidi yang anggarannya diperoleh dari booming minyak yang dinikmati Indonesia pada era 1970-an hingga awal 1980-an. Sesudah itu, impor beras terus berlangsung dengan jumlah di atas 1 juta ton setiap tahun.
Menurut data Kementerian Perdagangan, impor beras per tahun sejak 1993 hingga 1998 rata-rata 1,3 juta ton. Impor beras pada 1999-2000 rata-rata 1,7 juta ton per tahun. Impor beras pada 2004-2009 rata-rata 468.000 ton per tahun dan pada 2009-2014 rata-rata 1,1 juta ton per tahun. Sedangkan pada 2014-2018 rata-rata impor beras 1,08 juta ton per tahun.
Dalam situasi normal, ketergantungan bahan pangan dari negara lain tidak masalah sepanjang kita bisa mengompensasi dengan kemampuan lain untuk menjual bahan atau produk lain ke negara lain. Namun, dalam situasi pandemi berkepanjangan, ketika negara lain menangguhkan ekspor bahan pangan untuk mengamankan ketahanan pangannya, maka itu berbahaya bagi negara yang menggantungkan kebutuhan pangannya dari negara lain.
Oleh sebab itu, masalah pelik pertanian di Indonesia harus diselesaikan dengan sangat serius. Masalah yang ada di sektor pertanian begitu kompleks. Bukan hanya minimnya prasarana dan irigasi, ketersediaan dan mahalnya harga pupuk.
Masalah logistik, jalur distribusi yang tak merata, permodalan terbatas, serta research and development yang terbatas dan tidak diperkenalkan ke para petani juga menjadi hambatan. Buah dari kebijakan pemerintah yang mengagung-agungkan akselerasi pertumbuhan ekonomi pun seperti meminggirkan sektor pertanian sampai alih fungsi lahan terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Itu semua adalah masalah struktural yang tidak bisa diatasi mendadak pada saat kita sedang sibuk berperang melawan pandemi COVID-19. Dalam kondisi krisis, tidak banyak yang bisa dilakukan selain mengatasi masalah yang sangat mendesak dalam jangka waktu yang sangat pendek, yaitu bagaimana menyelamatkan kesehatan masyarakat dan tenaga-tenaga medis yang berada di garda terdepan terlindungi, bagaimana masyarakat papan bawah bisa memenuhi kebutuhan pokoknya di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), serta mencegah terjadinya kelangkaan pangan yang mengancam di setiap pandemi.
Semua pihak harus mendukung upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam memerangi wabah COVID-19. Di balik kesulitan seharusnya ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, narapidana daripada dilepas begitu saja mengapa tidak dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan produktif yang sangat mendesak, seperti memproduksi alat pelindung diri (APD), mengolah lahan pertanian, atau melakukan kegiatan produktif lain yang menghasilkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan pada musim pandemi.
Apabila wabah COVID-19 sudah bisa diselesaikan, maka pemerintah harus sungguh-sungguh memperkuat ketahanan pangan. Masalah yang terjadi di sektor pertanian tidak bisa diselesaikan secara setengah-setengah. Karena sektor pertanian sangat strategis, maka masalah ini tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah dan legislatif, serta membangun sinergi dengan para akademisi dan menggalang kontribusi dunia usaha dan masyarakat untuk memajukan sektor pertanian.
Misalnya, perbankan melalui pembiayaan dan asuransi melalui perlindungan kepada para petani dari ketidakpastian yang cukup tinggi seperti gagal panen karena cuaca dan hama. Sistem resi gudang yang sudah memiliki payung hukum juga bisa dikembangkan dan menjadi solusi untuk menjaga stabilitas harga jual komoditas pertanian untuk mencegah kerugian yang dialami petani. Dan, untuk menyiasati lahan pertanian pangan yang makin sempit, metode pertanian modern penting untuk dikembangkan dengan melibatkan anak-anak muda yang kreatif dan berpikir out of the box. “Lampu kuning” ketahanan pangan sudah menyala dan Indonesia harus membuat langkah cepat menuju kemandirian pangan.
Ketergantungan pada impor pangan menjadi tantangan besar karena jumlah penduduk Indonesia yang terus tumbuh pada tahun-tahun mendatang sehingga sangat berbahaya jika pandemi global ini belum juga bisa diatasi. (*)