Jakarta – Universitas Indonesia (UI) melalui Pusat Kajian Gizi Regional (PKGR) UI atau SEAMEO-RECFON (Southeast Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition) mengusulkan dua kebijakan yang bisa diterapkan pemerintah, yakni Percepatan Penanganan Stunting dengan Pemanfaatan Pajak dan Cukai Rokok, serta Pembangunan SDM Unggul Melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah.
“Perguruan tinggi memiliki kekuatan sebagai think tank, demikian halnya UI berkomitmen menghasilkan inovasi maupun buah pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah maupun masyarakat luas,” ujar Wakil Rektor UI bidang Riset dan Inovasi Prof. Dr. Abdul Haris di Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.
Melalui PKGR UI/SEAMEO-RECFON, UI melakukan kajian dan penelitian terkait isu penyalahgunaan rokok dan tembakau yang dapat memberikan dampak buruk bagi pembangunan SDM Indonesia yang unggul, aktif, sehat dan berprestasi. Hal ini juga sejalan dengan prioritas utama Presiden Jokowi yaitu pembangunan SDM Bangsa. Diharap usulan ini dapat menjadi masukan bagi Kementerian dan Lembaga terkait di dalam mengendalikan dampak bahaya yang ditimbulkan rokok dan produk tembakau lainnya khususnya bagi kesehatan dan kesejahteraan anak.
Abdul Haris menjelaskan, kebijakan pertama yang diusulkan kepada pemerintah yakni berkenaan dengan Percepatan Penanganan Stunting dengan Pemanfaatan Pajak dan Cukai Rokok. PKGR UI merekomendasikan empat poin yaitu pertama, stunting merupakan masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh belanja rokok di masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh masyarakat secara umum, dan secara khusus kepada para pemegang kebijakan di tingkat daerah dan petugas kesehatan.
Poin kedua, beranjak dari kesadaran akan keterkaitan stunting dengan konsumsi rokok, maka perlu ada prioritas anggaran terhadap program percepatan penanganan stunting yang dialokasikan dari pajak rokok dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Lalu poin ketiga, alokasi pajak rokok untuk percepatan penangangan stunting perlu dituangkan dalam rencana anggaran e-budgeting pemerintah daerah. Dan keempat, pemda perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin mengenai pemanfaatan pajak rokok dan DBHCHT untuk program kesehatan sehingga dapat dipantau apakah dana tersebut sudah digunakan secara tepat guna atau belum.
Di tempat yang sama, Peneliti Senior PKGR UI/SEAMEO RECFON dr. Grace Wangge menyatakan, berdasarkan data dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI (PKJS UI), anak dari keluarga perokok terbukti 5,4 kali lebih rentan mengalami stunting dibanding anak dari keluarga tanpa rokok. “Kami mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk pemerintah terkait kenaikan cukai rokok sebesar rata-rata 23% pada 1 Januari 2020,” ucapnya.
Namun, kata dia, diharapkan alokasi cukai rokok di bidang kesehatan perlu dikawal, khususnya pengalokasian pajak rokok dan DBHCHT untuk kesehatan, yang hingga kini belum diimplementasikan secara maksimal dalam program pencegahan dan promosi penanganan stunting.
Selanjutnya, kebijakan kedua yang diusulkan kepada pemerintah yakni berkenaan dengan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah. Adapun rekomendasi kebijakan tersebut yakni pertama, mengintegrasikan materi mengenai bahaya tembakau dan rokok bagi kesehatan dan gizi ke dalam kurikulum pendidikan anak sekolah sedini mungkin, selambat-lambatnya mulai pada level sekolah menengah tingkat pertama.
Kedua, upaya pengendalian tembakau dan penerapan KTR di sekolah dijadikan salah satu indikator kinerja dinas terkait, guru dan kepala sekolah dan dilakukan evaluasi secara periodik. Kemudian ketiga, upaya perbaikan gizi anak sekolah, terutama di daerah yang mempunyai angka prevalensi keluarga dengan perokok yang tinggi. Terakhir, membuat kebijakan mengenai pendidikan orangtua (parenting) mengenai akibat rokok bagi kesehatan dan kesejahteraan anak. Salah satunya melalui pertemuan orang tua murid dengan guru di sekolah untuk memberikan orientasi kepada orang tua mengenai dampak merokok terhadap kesehatan anak.
“Data di lapangan menunjukkan bahwa 32,1% anak sekolah (rentang usia 10-18 tahun) di Indonesia pernah mengonsumsi produk tembakau. Pihak Sekolah juga perlu menyadari bahwa terdapat hubungan erat antara prestasi belajar anak dengan pola konsumsi keluarga perokok,” tukasnya.
Sementara itu, lanjut dia, salah satu aspek yang erat kaitannya dengan peningkatan status kesehatan dan gizi anak sekolah adalah peningkatan pengetahuan siswa dan pencegahan menjadi perokok. Belanja bahan makanan pada rumah tangga perokok lebih rendah dibandingkan rumah tangga non-perokok. Hal ini menyebabkan berkurangnya asupan makanan bergizi dalam keluarga dan akhirnya berimbas pada kemampuan anak untuk berkonsentrasi pada pelajaran sekolah.
“Saat ini, upaya pengendalian tembakau di sekolah diatur dalam PP 109/2012 dan Permendikbud 64/2015, namun, pelaksanaan kedua peraturan tersebut di sekolah masih belum optimal. Demikian pula evaluasi maupun penelitian mengenai pelaksanaan pengendalian tembakau dan penerapan KTR ini belum pernah terdokumentasi dengan baik keberhasilannya,” tutup dr. Grace. (*)