Jakarta — Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memakai rezim hukum perbankan dalam proses peradilan Mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Sehingga SAT terlepas dari masa hukuman 15 tahun penjara dengan delik korupsi atas kebijakannya merilis Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Pada 9 Juli 2019, majelis kasasi yang diketuai oleh hakim Salman Luthan dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga dilepaskan dari tahanan.
Adapun, putusan majelis kasasi MA dalam pertimbangannya melepas SAT seperti dikutip dari website MA, Selasa (1/10) adalah sebagai berikut:
1. Kelahiran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lahir dari kondisi darurat atau tidak normal sehingga diberikan hukum yang khusus yang bersifat hukum darurat dan hukum lex spesialis. Hukum darurat itu diatur dalam UU Perbankan dan PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN
Kedua peraturan ini merupakan rezim hukum BPPN. PP itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari UU Perbankan. Norma hukum yang ada dalam peraturan pemerintah turunan atau pelaksanaan dari Pasal 37A ayat 9 UU perbankan.
Ketentuan UU ini sebagai politik hukum pemerintdah diperkuar oleh putusan MA nomor 01/P/HUM/1999 yang menolak uji materi terhadap PP BPPN yang diajukan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Salah satu pertimbangan MA dalam putusan ini adalah faktor emergency dan occasional demand yang mendorong kelahiran PP sebagai delegated legislation yang bersumber pada Pasal 37A UU Noor 10/1998. 2. Menurut rezim hukum BBPN, setiap perbuatan Ketua BPPN adalah perbuatan BPPN. Sebagai perbuatan BPPN, maka BPPN harus mendapatkan persetujuan KKSK. KKSK memiliki kewenangan yang kuat dan pengambilan keputusan oleh BPPN yakni harus mendapatkan persetujuan KKSK.
Dengan demikian, setiap perbuatan BPPN menjadi sah kalau mendapatkan persetujuan KKSK. Keanggotaan KKSK terdiri atas para menteri di bidang ekonomi yang dipimpin oleh Menko Bidang Ekonomi.
Hal ini berarti pernerbitan SKL sah menurut hukum yang mengaturnya, yaitu rezim hukum BPPN dan merupakan perbuatan hukum pemerintah. Dengan demikian, walaupun penerbitan SKL dilakukan oleh Ketua BPPN, namun pertanggungjawaban hukumnya adalah pemerintah karena pemerintah menjadi bagian dari pengambilan keputusan penerbitan SKL dan pemerintah tidak pernah melakukan penolakan kepada langkah penerbitan SKL. 3. Kekeliruan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah menerapkan UU Perbendaharaan negara sebagai dasar hukum meletakan penerbitan SKL sebagai perbuatan melawan hukum. Sebab:
a. UU Perbendataan Negara dilahirkan untuk mengatur pelaksanaan ABPN dan APBD.
b. BPPN bukan merupakan salah satu dari ruang lingkup pengaturan UU Perbendaharaan Negara.
c. Subjek hukum yang tunduk kepada UU Perbendaharaan Negara adalah pejabat perbendaharaan yang disebit limitatif. Organ BPPN dan juga KKSK tidak termasuk.
4. Kekeliruan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yaitu keliru menentukan waktu terjadinya kerugian keuangan negara. Kerugian baru dihitung pada 24 mei 2007. Padahal, tahun 2007, SAT tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPPN. (*)