Oleh: Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Infobank
PRESIDEN Joko Widodo pernah menyampaikan keinginannya agar BUMN Indonesia menjadi kuat, lincah, mampu berkompetisi dan menyerang negara lain. Untuk mewujudkan pemikiran tersebut, presiden sempat mengusulkan wacana perlunya chief executive officer (CEO) asing untuk menahkodai perusahaan BUMN. Yang menjadi pertanyaan, mungkinkan CEO asing terbaik bersedia memimpin perusahaan BUMN di Indonesia?
Selama dua tahun terakhir, penulis sempat menanyakan beberapa CEO yang sedang memimpin perusahaan multinasional. Bersediakah jika diminta untuk memimpin BUMN? Jawabannya sama. Tidak bersedia.
Alasannya pun sama. Mereka mengatakan bekerja di BUMN tidak memiliki kepastian hukum dan merasa tidak akan bisa bekerja dalam tekanan intervensi oleh birokrasi. Mereka sudah terbiasa bekerja di perusahaan swasta yang memiliki authority sebagai profesional untuk membuktikan kinerjanya tanpa diintervensi oleh birokrasi atau unsur-unsur politik. Orientasinya adalah pasar, bukan birokrasi.
Mereka bisa bekerja secara profesional sesuai dengan authority-nya serta tahu apa yang boleh dan yang tidak boleh. Pemegang saham baru akan melakukan intervensi dengan mengganti pengurus ketika rapor perusahaannya jelek.
Berbeda dengan direksi perusahaan BUMN yang bisa diganti setiap saat meskipun kinerjanya bagus sehingga membuat orang takut. Di sisi lain, karena tidak jelas antara apa yang boleh dan tidak boleh, banyak direksi BUMN lalu kehilangan values dan akhirnya tertangkap tangan menerima suap.
Intervensi dan ketidakpercayaan adalah penghalang utama bagi seorang profesional melaksanakan pekerjaannya.
Makanya, di balik kisah-kisah sukses turn around di perusahaan yang mengalami krisis, ada sosok profesional yang minta untuk tidak diintervensi sebagai syarat utama dia mau menerima penugasan untuk memimpin.
Ambil contoh Robby Djohan (almarhum) ketika diminta memimpin Garuda Indonesia maupun merger empat bank BUMN yang kondisinya setengah karam pada 1998. Robby menerima dengan syarat: jangan diganggu, baik dari dalam maupun dari luar. Maka dia sendiri yang menentukan timnya.
“Daripada banyak direksi tapi dipilih oleh pemerintah, maka saya hanya meminta dua direktur saja untuk mendampingi saya,” pintanya. Bersama dua direktur dan 20 executive management pilihannya, Robby pun berhasil memimpin mega merger Bank Mandiri lebih cepat dari target pemerintah.
Kemudian rezim berganti dari BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid dan menteri BUMN berganti dari Tanri Abeng ke Laksamana Sukardi. Situasi berubah dan intervensi datang. Gara-gara suatu hari Robby tidak memenuhi panggilan pemerintah, Robby dicopot mendadak pada tahun 2000. Pemerintah menunjuk ECW Neloe. Di bawah Neloe, intervensi pemerintah berjalan kencang. Bank hasil merger yang sudah menunjukan kinerja sehat, kemudian menerima proposal pembelian aset-aset jelek yang sudah dialihkan dari empat bank sebelum merger ke BPPN. Singkat cerita, praktek bisnis perbankan yang tidak proper membuat Bank Mandiri terbakar oleh kredit macet. Tiga direksi masuk penjara.
Ketika pada 2005 Agus Martowardojo diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri BUMN Sugiarto untuk memperbaiki Bank Mandiri, dia menerima tugas tersebut juga dengan syarat diberi kewenangan penuh tanpa diganggu. Agus meminta direksi yang mendampinginya adalah figur-figur terbaik.
Bahkan, sebagian besar komisarisnya adalah pilihannya sendiri yang terdiri dari figur-figur senior dengan keahlian di bidangnya masing-masing melebihi pengalaman Agus sehingga diyakini akan memberi arahan dan pengawasan terbaik kepada direksi untuk kemajuan Bank Mandiri. Di tangan kepemimpinan profesional yang diberi kepercayaan dan kewenangan penuh, Bank Mandiri pun menjadi bank yang sangat sehat dan disegani.
Contoh sukses profesional lain yang berhasil memimpin perusahaan BUMN tanpa gangguan birokrasi juga ditunjukkan Ignasius Jonan ketika memimpin Kereta Api Indonesia (KAI). Sebagai profesional yang dipercaya memimpin KAI, Jonan mengatakan bahwa dirinya harus berorientasi kepada konsumen, bukan kepada birokrasi atau presiden.
“Konsumen saya itu pengguna transportasi, bukan presiden. Saya lebih takut kepada pengguna transportasi daripada kepada presiden,” ujarnya.
Contoh-contoh di atas menggambarkan bahwa intervensi tidak ada dalam praktek pengelolaan korporasi, apalagi yang sudah go public. Bagi profesional seperti Robby Djohan, Agus Marto, atau Jonan, penugasan yang diberikan harus atas dasar kepercayaan dan profesionalitas. Kalau tidak memiliki kepercayaan, buat apa memberi tugas dan amanah. Dan kalau memberi tugas karena percaya, maka berikanlah kewenangan penuh sebagai CEO untuk membuktikan hasil tanpa ada gangguan selama menjabat. Itu juga yang sekarang sedang dilakukan Suyoto, profesional yang ditugaskan membuat turn-around di Djakarta Lloyd, perusahaan BUMN di bidang pelayaran yang sudah mati suri bertahun-tahun.
Sebagai corporate leader, Suyoto memerlukan dukungan berupa kepercayaan dan kewenangan untuk bekerja dengan caranya. Karena Suyoto adalah profesional yang kepentingannya adalah result, bukan karena jabatan, maka dia berani mengatakan apa yang dia butuhkan agar berhasil. “Saya di sini membantu negara. Kalau tidak mau dengan cara ya pecat aja saya, kerja di swasta lebih enak,” ujar Suyoto.
Ciri-ciri profesional yang orientasinya kepada hasil biasanya tidak disukai oleh birokrasi yang ingin dilayani. Karena tidak disukai, mereka hanya dibutuhkan untuk memperbaiki perusahaan BUMN yang rusak. Keberadaan mereka menjadi “tidak disukai” ketika perusahaan BUMN telah sehat dan membesar. Sebab, perusahaan BUMN yang besar dan sehat sangat banyak yang menginginkan karena motif jabatan, remunerasi, dan hal-hal lain, termasuk pemegang saham mayoritas yang memiliki kepentingan untuk memberi tempat kepada orang-orang yang disukainya. Like and dislike sendiri umumnya terjadi di dunia politik.
Di dunia korporasi tidak mengenal like and dislike dalam menentukan CEO. Penunjukkan CEO adalah karena faktor trust dan keinginan market untuk menjadikan perusahaan lebih baik. Dia dipercaya karena vision, execution, dan bukti-bukti bahwa dia pernah berhasil.
Kembali ke wacana presiden tentang perlunya CEO asing di perusahaan BUMN, itu adalah pemikiran maju dan terbuka sebagaimana dilakukan korporasi raksasa global yang tidak mempersoalkan dari bangsa mana eksekutifnya berasal.
Wacana CEO asing adalah pemikiran terbuka untuk menjadikan BUMN berkembang sesuai keinginan market dan tidak terikat oleh birokrasi maupun politik yang tidak ekonomi. Tapi jika pola pengangkatan direksi di perusahaan BUMN masih kental oleh kepentingan politik yang sarat dengan motif like and dislike, maka wacana untuk merekrut CEO asing di perusahaan BUMN itu ibarat “mimpi basah” di siang bolong. Mana ada CEO asing dengan kualifikasi the best corporate leader mau menjadi pemimpin perusahaan tapi mendapatkan intervensi, menjadi bulan-bulanan pemegang saham, dan kalau tidak mau mengikuti kemauan birokrasi diancam akan di-RUPSLB kan?