Oleh Awaldi : Direktur Operasional Bank Muamalat Indonesia, dan penulis buku berjudul Karyawan Galau Nasabah Selingkuh.
POSTINGAN Twitter dari akun @WidaSatyo hari Kamis tanggal 25 Juli kemaren langsung menjadi viral di media sosial. Dia mengutip seseorang yang mengeluh bahwa sebagai fresh graduate dia ditawari bekerja dengan gaji sebesar 8 juta rupiah sebulan. Anak ini bilang dalam Insta Storynya, “hello, meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI, pak. Jangan disamain sama lulusan fresh graduate kampus lain dong ah”.
Sontak membuat banyak nitizen memberikan comment, baik like ataupun dislike.
Dalam salah satu hasil survey yang bersilewaran sebagai bagian dari viralnya story anak fresh graduate di atas, digambarkan bahwa lulusan UI dengan gaji pertama sebesar 8 juta sebulan sudah termasuk besar.
Berdasarkan publikasi Tracer Study yang dikutip beberapa media, sebagian besar fresh graduate UI bergaji “hanyalah” 3-6 juta sebulan. Lulusan dengan gaji di atas 8 juta cuma terhitung belasan persen. Jadi 8 juta rupiah sebulah untuk fresh graduate bukanlah kecil. Rata-rata gaji peserta management trainee (MT) di Indonesia menurut beberapa lembaga konsultan HR global juga hanya 5-6 juta.
Memang ada yang pasang harga tinggi seperti bank multinasional, konsultan strategik ataupun perusahaan digital unicorn. Akan tetapi sebagian besar masih memberikan gaji pertama di bawah 8 juta rupiah. Penjelasan itu saya berikan kepada salah satu coachee (orang yang diberikan coaching) yang merupakan assistant manager baru lulusan program MT yang kebetulan menanyakan perihal ini dalam coaching session pagi Jumat dengan saya. Di tengah-tengah diskusi, anak ini menimpali, “kok dia masih mengeluh ya pak?”. Pertanyaan serupa yang juga banyak dilontarkan nitizen di media sosial.
Jawaban saya kepada coachee itu sederhana saja, “manusia memang raja nya mengeluh!”. Manusia diciptakan untuk selalu tidak puas atas apapun yang dia peroleh di bumi ini. Tidak pernah berhenti untuk “menambah” sesuatu yang dikuasainya. Puas sebentar setelah mendapatkan sesuatu, tak berapa lama lagi akan mengeluhkan bahwa “ini kurang, itu kurang”.
Lulusan fresh graduate yang tidak puas atas tawaran gaji 8 juta ini pun tidak akan pernah berhenti mengeluh dalam perjalanan hidupnya “mengumpulkan benda-benda”. Kalaupun dia terima gaji 10 juta sebulan sebagai fresh graduate seperti yang dia minta, tak lama kemudian dia akan merasa itu kurang. Dengan dalih macam-macam, membandingkan dengan karyawan lain yang kinerjanya biasa aja, membandingkan dengan karyawan lain yang baru tapi gajinya lebih besar, merasa bahwa he has good briliant performances, dia akan segera minta untuk dapat gaji yang lebih lagi: 12 juta, 15 juta, kemudian 30 juta, kemudian 75 juta. Tidak akan pernah berhenti meminta tambah, selalu merasa kurang, selalu merasa tidak cukup.
Sama seperti keserakahan atas kepemilikan mobil. Pertama kerja belum dapet mobil merasa bahwa kalau punya mobil sekelas Avanza aja rasanya sudah cukup, bisa membebaskan dari kepadatan naik kendaraan umum. Baru aja sebulan dapet Avanza, sudah ngiler lihat mobil yang lebih mulus di jalan. Maunya setidaknya sekelas Honda CRV atau Mitsubishi Pajero atau Nissan Xtrail. Alasannya lebih gagah. Dapet SUV, tak lama kemudian mikirnya kapan dapet Mercy, BMW, Alphard. Tidak habis-habis.
Manusia itu memang dihantui oleh ketidakpuasaan atas apapun yang dimilikinya. Tabiatnya adalah mengumpulkan dan menaklukkan untuk mendapatkan “kepuasaan hidup”. Tapi itu tidak akan terjadi, “perut” manusia terlalu besar untuk dipenuhi semua hasratnya. Sudah banyak, selalu ingin banyak. Dan kepuasaan yang dicari menjadi semakin jauh jaraknya.
Bahkan kalau diberikan kekuatan super power, seorang manusia yang diberikan kekuasaan seluruh dunia pun, akan kepengen untuk segera memperluasnya menjadi menguasai planet Bulan dan Mars, sebelum mengintai untuk nantinya menaklukkan seluruh jagad raya dengan semua planet-planet di dalamnya.
Coachee yang duduk di depan saya hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan. Saya tak berhenti berceloteh, “lha memamg begitu, tidak ada batasnya, selagi manusia itu mencari kepuasaan dari benda-benda material”.
Sesuatu yang membuat kita puas dan bahagia yang datang dari luar diri kita, nggak akan pernah sustain. Sebentar dia akan menjadi barang rongsokan “yang sudah tidak memuaskan”. Termasuk gaji, berapapun jumlah yang dikasih, tidak akan pernah dirasa cukup. Tidak akan pernah memuaskan. Manusia yang mencari kepuasaan dan kebahagiaan dari mengumpulkan benda-benda yang ada di sekitarnya, akan terperangkap ke dalam “keserakahan abadi”.
Coachee saya keliatan agak kuatir mendengarkan penjelasan saya yang sinikal. Sambil mengerenyit dahit bertanya, “kenapa begitu ya pak?”. Saya menoleh kepadanya dengan merasa hakkul yakin mengangkat tangan sambil menunjuk berkata, “karena manusia itu di dalam dirinya yang paling dalam merindukan kebebasan!”. Seseorang mendapatkan kepuasaan atas “perasaan bebas” ketika mendapatkan gaji 10 juta rupiah sebulan, karena bisa membeli banyak kebutuhan duniawinya, yang tak lama akan menyadari bahwa kebebasan itu menjadi tidak berarti karena masih banyak barang-barang lain yang belum terbeli dengan gaji sebanyak itu.
Ada sesuatu di dalam diri kita yang menuntut kebebasan. Manusia mencoba mencari kebebasan itu dengan “menambah kekuasaan” apakah itu duit, apakah itu kepangkatan/karir, apakah itu jabatan; hanya untuk tahu bahwa semua itu tak ada batasnya. Bahwa kepemelikan dan kekuasaan tidak pernah membawa kita sampai kepada “kebebasan hakiki”, kebebasan yang akan mengantarkan kita kepada ketenangan jiwa dan raga.
Pencarian jiwa kita untuk mendapatkan “pembebasan” dari kunkungan badan dan jasmani tidak akan pernah selesai dengan menumpuk harta, kekuasaan dan barang-barang. Memperoleh teritori yang lebih besar dalam hidup di dunia bukanlah caranya yang substantif dan sustainable untuk pembebasan jiwa, yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kepuasaan dan ketenangan hidup. Malah akan semakin merasa sunyi, terjepit dan tak terpuaskan.
Karena itu kebebasan sejati adalah melepaskan diri dari kompulsif badan-jasmaniah. Dengan terbebas dari kunkungan fisik badan, maka jiwa dan ruhani kita akan merdeka dan mendapatkan ketenangan, yang merupakan prasyarat kehidupan surgawi.
Kita mesti mulai memberikan ruangan yang lebih sedikit bagi jasmani kita supaya jiwa ruhani lebih digdaya. Melepaskan diri dari kompulsif badan, misalnya dengan mengurangi makan dari 3 kali sehari menjadi 1 atau 2 kali sehari, mengurangi kebutuhan jam tidur dari 8 jam sehari menjadi cukup hanya 5 jam sehari.
Membebaskan jiwa dan ruhani dengan keluar dari kunkungan kewajiban memenuhi kompulsif fisik yang tidak permah berhenti. Memberikan peran yang lebih sedikit bagi panca indera jasmaniah dalam menciptakan kebahagiaan dan kepuasaan yang hanya palsu, menipu dan fiktif dalam hidup kita. Memberikan ruangan bagi jiwa ruhani untuk menumbuhkan kebahagiaan sesungguhnya.
Insyallah gaji 8 juta bagi fresh graduate-pun akan tetap menentramkan jiwa.(*)