EKONOMI global mengguncang dunia, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah perlu segera mewaspadai tekanan global, termasuk otoritas perbankan, baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika tidak, sektor keuangan, terutama perbankan, akan terkena dampak buruk karena genetik kerawanan sektor keuangan yang sudah ada, seperti soal utang luar negeri, likuiditas, dan saving gap antara tabungan dan kebutuhan investasi yang masih menganga lebar.
Perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok yang berlarut-larut merambat ke perdagangan dunia. Dampaknya, ekonomi global diprediksi melambat. Proses pemulihan diperkirakan akan lebih lama daripada perkiraan sebelumnya akibat ketidakpastian pasar keuangan. Kecemasan menjalar ke seluruh dunia.
Tekanan global mulai terasa sejak awal bulan lalu. Pasar modal sudah lebih dulu terkena imbasnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok. Kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah kempis lebih dari Rp400 triliun. Nilai tukar rupiah sedikit tertekan.
Kabar buruk lain, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit, terparah sepanjang sejarah Indonesia, yaitu US$2,564 miliar. Penerimaan negara juga mengalami penurunan. Sri Mulyani Indrawati (SMI), Menteri Keuangan RI, pun sempat berucap. ”Ekonomi mengalami tekanan dan melemah, tetapi tidak masuk zona negatif. Kita harus mulai waspada,” katanya dalam konferensi pers tentang kinerja APBN April 2019, awal bulan lalu.
Wajar saja SMI berkata begitu melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan, yang terefleksi dari penerimaan pajak yang tumbuh melemah. Dibandingkan dengan tahun lalu, pada periode April 2018 pertumbuhannya memang melemah. Kondisi ini mengingatkan pada 2014-2015, situasinya mirip, tekanan global menyebabkan kinerja ekspor dan impor tumbuh negatif sehingga berimbas pada penerimaan negara.
Pemerintah harus waspada akan efek tekanan global ini, setidaknya agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga pada angka 5%, dan diperlukan antisipasi, karena diperkirakan defisit transaksi berjalan membengkak dari 2,5% menjadi ke kisaran 2,5%-3%. Sektor perbankan juga akan mengalami tekanan karena harga komoditas slowdown.
Di lain sisi, aksi wait and see pengusaha setelah pilpres diperkirakan makin lama. Situasi politik yang diharapkan selesai adem ayem, ternyata masih menyisakan kerawanan. Kondisi politik tidak mendukung untuk mengantisipasi tekanan global. Para menteri Kabinet Kerja pun terlihat lesu darah, apalagi menteri-menteri dari partai politik yang tidak lolos ke Senayan. Elite politik sedang mengurus kursi masing-masing.
Harapan tetap pada menteri ekonomi nonpartai agar tetap bekerja profesional di ujung masa tugasnya yang hampir selesai. Tekanan global akan melumat ekonomi Indonesia jika tidak diantisipasi dengan benar. Jangan biarkan bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Bank-bank BUKU 4 sudah memiliki loan to deposit ratio (LDR) di atas ambang batas 92%.
Indonesia ini aneh. Kredit dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) masih rendah (40%), tapi LDR sudah mentok. Karena itu, untuk ketentuan LDR ini perlu diubah. Perbankan perlu diberi stimulus agar tidak menabrak rambu-rambu. Likuiditas diperkirakan akan paceklik, terbang ke luar negeri mencari induknya. Ada baiknya kebijakan makroprudensial menetapkan kembali LDR, tidak 85%-92%, tapi ke angka 85%-110%. Penetapan LDR 110% pernah dilakukan BI, jauh sebelum krisis 1998/1999.
Pertimbangan lain, kondisi permodalan, dilihat dari capital adequacy ratio (CAR) yang dalam kisaran 22%-23% sangatlah kokoh. Jika bank punya CAR sebesar itu, lalu LDR sudah mentok, apa artinya buat perekonomian? Bank-bank di Indonesia tampak terlalu hati-hati dengan bayangannya sendiri.
Untuk itu, ada baiknya OJK juga perlu menerapkan kebijakan mikroprudensial dengan menerapkan LDR sektoral. Sektor mana yang sedang berkembang dikasih LDR yang lebih longgar. Sementara, kebijakan makroprudensial dengan menerapkan LDR menjadi 110%.
Semoga tekanan global tidak menelan korban bank. Karena itu, bank-bank perlu diberi stimulus agar bank-bank tidak berhenti memberikan kredit dengan kebijakan “doping” LDR sektoral sampai dengan 110%. (*)