Oleh: Eko B Supriyanto
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) saat ini menghadapi gugatan dari Sjamsul Nursalim. Lewat pengacaranya, Otto Hasibuan, Sjamsul menggugat BPK dan Nyoman selaku auditor BPK di PN Tangerang. Gugatan itu telah didaftarkan sejak Selasa (12/2) dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2019/PN Tng. Gugatan ini wajar, karena hasil audit BPK double standard dan tidak kredibel.
Selain menyangkut prosedur yang “cacat” dalam melakukan audit, seperti diungkapkan oleh beberapa auditor, wajar jika pihak Sjamsul Nursalim melakukan gugatan karena sebelumnya BPK juga sudah mengeluarkan audit. Pendek kata, dalam objek yang sama BPK mengeluarkan dengan hasil yang berbeda.
Sebelumnya, BPK sudah pernah mengeluarkan audit hasil pemeriksaan Penyelesaikan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), audit BPK No 4/XII/11/2006 Tanggal 30 November 2006 atas PPA dan SKL terhadap 21 Obligor; BPK-RI berpendapat bahwa PPA dan SKL telah sesuai dengan kebijakan pemerintah, Inpres No.8 Tahun 2002 dan Kebijakan KKSK serta Layak diberikan kepada obligor tersebut (hal 11 dari 212 hal).
Nah, khusus untuk PKPS BDNI, BPK-RI berpendapat bahwa SKL tersebut diberikan karena Pemegang Saham BDNI telah menyelesaikan Seluruh Kewajiban yang Disepakati dalam Perjanjian MSAA dan perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Intruksi Presiden No.8 Tahun 2002 (hal 63 dari 212).
Namun hasil audit BPK Tahun 2006 dianggap tidak ada, atau tidak dianggap sama sekali, dan hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017 yang dipakai. Lebih runyam lagi tata cara auditnya tidak proper – yang diaudit tidak ditanya. Lebih celaka lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjafruddin A. Tumenggung lebih dulu baru dihitung berapa kerugian Negara oleh BPK. Aneh. Lazimnya berapa kerugian negera baru menetapkan tersangka.
Halaman 37 dari laporan audit BPK No.12/LHP/XXI/08/2007 menyebutkan tentang hasil perhitungan kerugian Negara. Kerugian Negara yang terjadi adalah sebagai berikut; nilai piutang BDNI kepada Petambak yang salah direpresentasikan oleh SN Rp4.800.000.000.000.00 dikurangi hasil penjualan piutang oleh PT PPA Tahun 2007 Rp220.000.000.000,00, jadi kerugian Keuangan Negara Rp4.580.000.000.000,00.
Sederhana sekali cara perhitungannya, tidak ditelusuri siapa yang menjual, kenapa dijual tahun 2007. Bagaimana jika itu dijual sekarang yang sudah pasti tambak itu hasilnya akan sekitar Rp6-7 triliun dengan harga tanah wajar sekarang ini. Lebih runyam lagi, pihak-pihak yang diaudit tidak ditanya sama sekali.
Salah satu petitumnya ialah agar pengadilan menyatakan ‘Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sdr. Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004, Sehubungan dengan Pemenuhan Kewajiban Penyerahan Aset oleh Obligor BLBI kepada BPPN Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017’ tidak sah, cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pihak Sjamsul melalui Otto menjelaskan gugatan itu diajukan karena hasil audit dianggap mereka tidak kredibel. Alasannya, pihak Sjamsul selaku auditee, disebut Otto, tak pernah dimintai konfirmasi terkait data-data selama proses audit.
“Jadi KPK minta BPK, tolong periksa ini, tapi bukti dari KPK. Mestinya prosedurnya itu BPK harus mengkonfirmasi bukti-bukti ini kepada pihak terkait, benar atau nggak bukti ini, umpamanya ada di dalam proses BPK itu ada audit, ada auditee. Dikatakan, auditee itu yang diperiksa harus ditanya, dong,” kata Otto Hasibuan kepada media beberapa waktu lalu.
Kasus SKL-BLBI yang ditangani KPK ini menjerat mantan Ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Kini, Syafruddin sudah divonis penjara selama 13 tahun, yang kemudian meningkat menjadi 15 tahun di tingkat banding. Menurut, hakim Syafruddin bersalah melanggar hukum terkait pemberian SKL-BDNI dan menyebabkan kerugian keuangan negara Rp 4,5 triliun serta menguntungkan Sjamsul sebesar Rp 4,5 triliun.
Menurut kalangan keuangan yang tahu persis kondisi di saat krisis – apa yang dilakukan saat itu sudah sesuai kaidah dan proper. Sementara banyak pihak yang tidak menyelesaikan kewajiban BLBI justru tidak diutak atik. Sehingga, SKL-BDNI ini dinilai banyak unsur politis semata. Kasusnya sudah sejak tahun 1998, atau sudah 20 tahun lalu.
Tidak ada kepastian hukum. Kasus masa lalu dilihat dengan kacamata sekarang. Bahkan, di publik sekarang banyak pertanyaan, mengenai kredibilitas hasil audit BPK ini. Apakah auditor BPK merasa merinding dengan KPK, karena pada saat itu, ada operasi tangkap tangan KPK ke auditor utama BPK?
Apakah ada pihak-pihak BPK yang namanya sempat nyaring ke publik merasa harus barter hasil ini? Tidak ada yang bisa memastikan, namun menurut norma audit yang berlaku, tentu ada pihak yang diaudit yang juga harus diperiksa. Jika tidak ada, seperti yang disebut Otto Hasibuan, maka hasilnya bisa disebut audit yang tidak kredibel, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sulit untuk tidak mengatakan jika BPK menerapkan double standard, dan ini tentu mengerikan bagi siapa saja, termasuk kepastian berusaha.
Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank