Jakarta – Perusahaan asuransi di Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan dari berbagai macam sektor. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Teknik dan Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero), Delil Khairat dalam acara webinar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) bertajuk “Menyongsong Tantangan dan Peluang Industri Asuransi di 2024” pada Jumat, 22 Desember 2023.
Menurutnya, setidaknya ada 5 tantangan yang siap “menyambut” perusahaan asuransi. Tantangan yang dimaksud, yakni perilaku dan budaya, risiko iklim, inovasi digital, keamanan siber, dan inklusi finansial. Untuk tantangan pertama misalnya, yakni perilaku dan budaya, Delil sendiri menjabarkan salah satu hal yang akan dihadapi oleh pelaku industri adalah terlalu banyaknya perusahaan asuransi.
“Indonesia bukan (pemilik) industri asuransi terbesar (di Asia Tenggara), tapi terlalu crowded. Bisa dilihat dari sisi life atau non-life, asuransi Indonesia itu paling banyak. Jadi bisa dikatakan kompetisi di pasar itu sangat-sangat tinggi, dan ini memengaruhi kekuatan kecukupan terms of condition dan level of services ke publik,” ujar Delil.
Baca juga: Inklusi Asuransi Masih Minim, Pengamat Ini Soroti Peran OJK Sebagai Regulator
Sebagai informasi, data menyebut kalau Indonesia saat ini mempunyai 126 perusahaan asuransi. Meskipun begitu, nyatanya total laba kotor yang diperoleh dari seluruh perusahaan asuransi ini per 2021 lalu “hanya” USD19,4 miliar.
Bandingkan dengan Singapura atau Thailand yang masing-masing memiliki 80 dan 44 perusahaan asuransi, tapi mampu meraup laba kotor USD27,6 miliar dan USD44,2 miliar di periode yang sama.
Delil juga berujar bahwa roadmap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penguatan industri asuransi dan Implementasi IFRS17 juga akan menjadi tantangan tersendiri.
Selain itu, ada juga dampak risiko perubahan iklim. Seperti yang sudah diketahui, suhu bumi semakin panas, membuat negara-negara turun tangan untuk menangani perubahan iklim yang nantinya membawa dampak negatif. Salah satunya yakni dengan menurunkan emisi karbon menjadi 0 persen
“Dari perspektif orang asuransi, kami melihat dampak dari climate change dan upaya mencapai target net 0 ini dari 2 perspektif, yaitu physical risk dan transition risk,” kata Delil.
Yang dimaksud physical risk di sini adalah pengaruh dari perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan kepada aset dan properti, sehingga pemilik asuransi mengajukan klaim untuk memperbaiki kerusakan tersebut.
Sementara, transition risk merupakan risiko dari perpindahan energi fosil menuju energi terbarukan. Ini juga bisa menyebabkan klaim untuk melindungi proyek transisi agar berjalan dengan lancar, membuat pelaku industri harus bisa memanfaatkan situasi.
Selanjutnya, ada hard market yang menurut Delil, sudah terjadi sejak 2018 lalu di berbagai negara, namun dampaknya baru terasa di Indonesia baru-baru ini. Hard market ini membuat proses negosiasi semakin sulit. Bahkan, peristiwa ini berpotensi berlanjut hingga 2024 nanti. Diperlukan strategi dan kebijakan khusus agar industri asuransi bisa melewati masa-masa ini.
Inklusi finansial juga menjadi salah satu tantangan yang dibahas. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki asuransi. Kabar baiknya, UU P2SK menetapkan agar orang-orang bisa memiliki asuransi untuk melindungi diri dari beragam skenario. Delil menjelaskan, ini bisa menjadi peluang bagi perusahaan asuransi untuk meningkatkan inklusi finansial.
“Ini merupakan kesempatan utama untuk meningkatkan inklusi keuangan, agar insurance penetration dan insurance density kita yang tertinggal dari negara sekawasan, bisa terkejar. Kita punya potensi yang besar, kita punya risiko yang besar, dan kita punya populasi yang besar,” jelas Delil.
Masalah kelima adalah transisi digital di industri asuransi. Delil mengutarakan Indonesia agak terlambat dan tertinggal dalam aspek ini. Apalagi, jika dibandingkan dengan industri lain seperti perbankan atau bisnis daring.
Baca juga: Potensi Industri Asuransi Besar, Tapi Masih Dihantui Tantangan Ini
Terakhir adalah risiko keamanan siber. Dengan semakin meningkatnya transaksi secara digital, ini akan menimbulkan risiko baru yang sebelumnya belum pernah ada.
“Keamanan siber ini adalah risiko yang baru muncul dan terus berubah. Tidak mudah bagi perusahaan asuransi untuk meng-cover seluruh cyber risks ini. Perlu banyak riset dan keberlanjutan bisa memahami risikonya dan meng-covernya. Bahkan di seluruh dunia, pasar keamanan siber ini masih sangat kecil,” katanya.
Di sini, Delil menyayangkan fakta banyak negara di Asia Tenggara yang notabene merupakan negara yang berorientasi digital, namun masih belum mampu memanfaatkan keamanan digital di sektor perasuransian. (*) Mohammad Adrianto Sukarso