Jakarta – Perkembangan peran wanita di dunia kerja dan kepemimpinan di Kawasan Asia Pasifik cenderung masih terhambat. Indeks terbaru dari MasterCard mengenai Perkembangan Wanita (Women’s Advancement) yang dikeluarkan bertepatan dengan International Women’s Day lalu meyebutkan, masih terdapat kesenjangan gender yang besar yang menghalangi wanita untuk mencapai potensi mereka secara penuh.
Di 12 negara dari 18 negara di Asia Pasifik, jumlah wanita yang mendaftar di universitas melebihi jumlah laki-laki, di mana Selandia Baru (141,8), Australia (137,5) dan Thailand (134,5) menempati peringkat teratas. Sementara itu, kemajuan yang signifikan terjadi di Indonesia di mana jumlah penerimaan di tingkat pendidikan tingkat lanjut tumbuh dari 87,2 di tahun 2007 menjadi 105,1 di tahun 2016. Namun demikian, pencapaian pendidikan tersebut tidak tercermin pada jumlah partisipasi tenaga kerja di banyak negara. Meskipun lebih banyak wanita yang melanjutkan pendidikan tinggi di beberapa negara seperti Selandia Baru, Tiongkok, dan Filipina, namun secara umum wanita masih memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk bekerja.
Secara keseluruhan, Selandia Baru berada di peringkat pertama (78,0) untuk kesetaraan gender, diikuti oleh Australia (76,0) dan Filipina (71,4). Di negara lainnya seperti Jepang (49,5), Bangladesh (45,5), Sri Lanka (44,3), India (38,0) dan Pakistan (23,4). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender.
Indeks ini mengukur tingkat sosial ekonomi wanita di 18 negara di Asia Pasifik dan terdiri dari tiga indikator utama yang berasal dari sub-indikator tambahan: Kemampuan-Capability (Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi), Pekerjaan-Employment (Partisipasi dalam Lingkungan Kerja, Pekerjaan Reguler) dan Kepemimpinan-Leadership (Pemilik Bisnis, Pemimpin Bisnis, Pemimpin Politik). Indeks skor di atas menunjukkan proporsi wanita terhadap setiap 100 pria. Skor 100 menunjukkan kesetaraan gender.
Georgette Tan, Group Head, Communications, Asia Pacific, MasterCard mengatakan, kesenjangan gender dalam hal akses pendidikan telah berkurang selama bertahun-tahun, namun tetap harus menempuh jalan yang panjang agar para wanita di seluruh Asia Pasifik memiliki kesetaraan yang sama dalam dunia bisnis dan politik. Kurangnya perwakilan wanita pada posisi-posisi penting di berbagai organisasi dan rendahnya partisipasi wanita dalam perekonomian – ditambah dengan implementasi undang-undang atau peraturan mengenai kesetaraan yang tidak tidak konsisten, menurut Tan, terus menjadi tantangan terbesar bagi para wanita dan hal ini terlihat di semua negara terlepas dari laju pembangunan ekonomi di masing-masing negara.
“Akses merupakan hal yang sangat penting untuk melibatkan wanita dalam perekonomian, mengingat bahwa wanita masih tidak memiliki akses yang sama pada berbagai kesempatan kerja atau bahkan jaringan sosial sebagaimana yang didapatkan oleh pria” terang Tan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi kontribusi ekonomi yang dilakukan oleh para wanita dalam lingkungan kerja, menurut Tan, juga perlu ditangani, termasuk faktor sosial budaya yang spesifik di masing-masing negara (country-specific socio-cultural), kepercayaan tradisional (traditional beliefs), dan kebijakan pemerintah.
“Mengatasi kesenjangan kesetaraan gender dan meratakan lapangan pekerjaan akan bermanfaat tidak hanya bagi wanita, namun juga berlaku bagi perekonomian global secara keseluruhan” imbuh Tan lagi.
Selama 10 tahun berturut-turut, Selandia Baru (78,0), Australia (76,0) dan Filipina (71,4) senantiasa memiliki nilai indeks tertinggi secara keseluruhan.
Dari tiga komponen, Kemampuan (Capability) tetap menjadi indikator terkuat dari perkembangan para wanita Asia Pasifik terhadap kesetaraan gender untuk 10 tahun berturut-turut dengan tujuh negara mencapai angka 100 poin (Selandia Baru, Filipina, China, Taiwan, Thailand, Sri Lanka dan Nepal).
Masih berdasarkan indeks MasterCard, perkembangan wanita dalam hal Pekerjaan tetap stagnan di seluruh Asia Pasifik. Dari 18 negara Asia Pasifik, Selandia Baru (91,4), Australia (91,0) dan Taiwan (90,7) terus menjadi negara yang paling aktif secara perekonomian dengan akses tertinggi untuk pekerjaan formal. Negara-negara tersebut merupakan negara yang paling mendekati kesetaraan dengan kelompok pria dalam hal Partisipasi Lingkungan Kerja (Workforce Participation) dan Pekerjaan Reguler (Regular Employment).
Kepemimpinan (Leadership) tetap menjadi komponen terlemah dari perkembangan wanita terhadap kesetaraan gender. Selandia Baru (51,9) dan Australia (50,2) adalah dua negara yang memiliki lebih dari 50 wanita yang menjadi pemilik bisnis/pemimpin bisnis/pemimpin di pemerintahan dari setiap 100 laki-laki pemilik usaha milik /pemimpin bisnis/pemimpin di pemerintahan. (*)