Jakarta – Untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi, khususnya di industri jasa keuangan, September lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan dua kebijakan terkait dengan stimulus bagi perbankan berupa perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 17/POJK.03/2021 dan POJK Nomor 18/POJK.03/2021.
Berdasarkan POJK 17, masa berlaku kebijakan stimulus perekonomian bagi debitur perbankan yang terdampak COVID-19 diperpanjang sampdengan 31 Maret 2023. Sedangkan POJK 18 menegaskan perpanjangan kebijakan stimulus bagi BPR dan BPRS.
Seperti diketahui, merebaknya pandemi COVID-19 di Tanah Air melemahkan perekonomian Indonesia hingga jatuh ke jurang resesi, sejak medio 2020 hingga awal 2021. Kebijakan pemerintah membatasi pergerakan masyarakat guna menekan penularan virus memberikan dampak negatif bagi dunia usaha, terutama di sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Merosotnya kinerja bisnis membuat income pelaku usaha dan masyarakat menurun, dan pada akhirnya sebagian debitur lembaga jasa keuangan kesulitan melakukan pembayaran utang atau kredit.
Untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian dan sektor jasa keuangan, OJK – yang pada 22 November mendatang akan genap berusia 10 tahun, telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satunya relaksasi restrukturisasi kredit. Dengan kebijakan ini, diharapkan lembaga jasa keuangan dapat mengelola risiko kredit lebih baik dan meminimalisasi kredit macet. Sedangkan, dari sisi debitur, khususnya pelaku usaha, bisa mengatur cash flow dengan lebih baik sehingga kegiatan usahanya tetap bisa berjalan.
Kebijakan OJK terkait pemberian stimulus kepada lembaga jasa keuangan sebagai quick response atas terjadinya pandemi COVID-19 di Tanah Air, pertama kali diterbitkan pada Maret 2020, yakni POJK Nomor 11/POJK.03/2020. Poin penting dalam POJK 11 ini ialah penilaian kualitas kredit atau pembiayaan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga dengan plafon hingga Rp10 miliar. Dan, peningkatan kualitas kredit atau pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya POJK 11.
Kondisi ekonomi yang belum menunjukkan perbaikan di akhir 2020 membuat masa berlaku POJK 11 itu diperpanjang satu tahun, dari sebelumnya hingga 31 Maret 2021 menjadi hingga 31 Maret 2022 melalui POJK Nomor 48/POJK.03/2020. Agustus 2021, OJK kembali memberikan stimulus perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit untuk perbankan hingga Maret 2023 melalui POJK 17.
Sedangkan, untuk sektor industri jasa keuangan nonbank (IKNB), OJK mengeluarkan kebijakan restrukturisasi untuk sektor perusahaan pembiayaan melalui 14/POJK.05/2020. POJK ini merupakan kebijakan yang diberikan bagi IKNB untuk memberikan keringanan kepada para debitur khususnya perusahaan pembiayaan dengan nilai di bawah Rp10 miliar. Masa berlaku restrukturisasi pembiayaan ini kemudian diperpanjang dari 31 Desember 2020 menjadi 17 April 2022 berdasarkan POJK 58/POJK.05/2020.
Heru Kristiyana, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, mengatakan, kebijakan restrukturisasi kredit yang dikeluarkan sejak awal 2020 sangat membantu perbankan dan para debitur, termasuk pelaku UMKM. Perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit juga merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan menjadi salah satu faktor pendorong yang diperlukan untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum. Perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga diharapkan bisa memberikan kepastian bagi perbankan maupun pelaku usaha dalam menyusun rencana bisnis, khususnya untuk 2022, terutama mengenai skema penanganan debitur re strukturisasi dan skema pencadangan.
“Perpanjangan restrukturisasi hingga 2023 diperlukan dengan tetap menerapkan manajemen risiko, mengingat adanya perkembangan varian Delta dan pembatasan mobilitas, sehingga butuh waktu yang lebih bagi perbankan untuk membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dan bagi debitur untuk menata usahanya agar dapat menghindari gejolak ketika stimulus berakhir,” ujar Heru, awal September lalu.
Berdasarkan data OJK, per Agustus 2021, outstanding restrukturisasi COVID-19 mencapai Rp770,76 triliun dengan jumlah debitur mencapai 5,81 juta dan 59,55% atau 3,46 juta debitur merupakan pelaku UMKM dengan outstanding kredit yang direstrukturisasi Rp282,19 triliun.
Program restrukturisasi kredit bagi bank-bank dan perusahaan pembiayaan mengamankan kualitas kredit agar tidak tercoreng oleh kredit macet. Terbukti, profil risiko lembaga jasa keuangan pada Agustus 2021 masih relatif terjaga dengan rasio non performing loan (NPL) gross tercatat sebesar 3,35% untuk perbankan dan non performing financing (NPF) gross 3,90% untuk industri perusahaan pembiayaan.
Kebijakan relaksasi kredit selama masa pandemi oleh OJK, mulai 2020 yang kemudian diperpanjang hingga 2023, diapresiasi dan disambut baik oleh pelaku industri jasa keuangan. Kepada Infobank, Sunarso, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang juga Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pernah menyampaikan, dengan restrukturisasi kredit, pihak bank bisa membantu debitur untuk bertahan di masa sulit. “Fokus kami adalah mencari selamat dulu daripada mengejar untung. Ini UMKM berat (karena pandemi), maka kreditnya kami restrukturisasi,” ucap Sunarso, beberapa waktu lalu.
Sementara, Yuddy Renaldi, Direktur Utama Bank BJB yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), mengungkapkan stimulus perpanjangan restrukturisasi kredit hingga 2023 akan berdampak terhadap rentabilitas dan kualitas kredit perbankan secara umum. “Dengan adanya perpanjangan restrukturisasi ini akan menekan potensi relapse dari restrukturisasi yang telah dilakukan oleh perbankan akibat pandemi, karena sektor yang slow starter masih membutuhkan waktu untuk pulih dari efek pandemi,” tukasnya kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Dalam perpanjangan stimulus restrukturisasi kredit, OJK tetap akan menerapkan empat manajemen risiko yang harus dilakukan oleh bank dalam penerapan restrukturisasi. Pertama, kriteria debitur restrukturisasi yang layak mendapatkan perpanjangan. Kedua, pembentukan CKPN (cadangan kerugian penurunan nilai). Ketiga, prasyarat pembagian dividen. Keempat, stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas bank.
Berbagai “jamu” yang diracik OJK dalam merespons dampak pandemi COVID-19 dan mendorong pemulihan ekonomi Indonesia, khususnya di industri jasa keuangan, terbukti manjur. Setidaknya terlihat dari kinerja industri jasa keuangan yang mulai pulih. Berdasarkan data OJK, per Agustus 2021, kredit perbankan tumbuh 1,16% secara tahunan atau menjadi Rp5.586,0 triliun. Capaian ini lebih baik dibandingkan dengan akhir 2020, yang terkontraksi 2,41%.
Tak hanya perbankan, kinerja industri IKNB pun menunjukkan perbaikan. Meskipun pertumbuhan piutang perusahaan pembiayaan masih terkontraksi -8,5% secara tahunan, di Agustus 2021, itu sudah lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan 2020 yang negatif 17,1%. Di sektor lain, premi asuransi juga mulai rebound. Premi bruto asuransi jiwa tumbuh 10,6% di Agustus 2021. Padahal, di akhir 2020 premi asuransi jiwa drop -7,2%. Untuk premi bruto asuransi umum tumbuh moderat sebesar 2,1%, dari yang tadinya anjlok -3,6% di 2020. (*) Dicky F. Maulana
*Laporan selengkapnya mengenai 10 Tahun OJK dapat dibaca di Majalah Infobank No.523, edisi November 2021