Oleh Sandford Jonathan: Founder of PT Teradata Megah, Bandung
Jakarta – Selama 10 tahun terakhir, digital banking atau perbankan digital menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Jauh lebih tajam dari dekade-dekade sebelumnya.
Hal itu ditandai dengan munculnya produk-produk perbankan berbasis digital. Dimulai dari mobile banking, digital money atau electronic money, cashless transaction melalui QR Code, transaksi berbasis biometric dan transaksi berbasis blockchain.
Pesatnya perkembangan teknologi digital perbankan menjadi tantangan baru. Industri perbankan dihadapkan pada dua pilihan: ikut mengadopsi teknologi digital agar bank bertahan “hidup” atau tetap konvensional, namun perlahan-lahan “gugur”.
Bank perlu terus meningkatkan pelayanan nasabah melalui transformasi digital. Namun, transformasi tersebut juga harus jeli dan tepat sesuai kebutuhan pasar. Misalnya, perbankan sebaiknya fokus mengembangkan dan melengkapi berbagai fitur untuk mobile banking kepada nasabah individual daripada internet banking.
Hal ini karena, selain pertumbuhan pengguna smartphone di Indonesia yang meningkat pesat setiap tahunnya, karakter masyarakat, khususnya masyarakat milenial saat ini cenderung lebih memilih layanan perbankan yang memberikan kemudahan dan kecepatan bertransaksi setiap saat dan dimana saja.
Selain itu, masyarakat milenial pun tidak terlalu tertarik dengan persaingan suku bunga. Persaingan suku bunga hanya akan mengakibatkan net interest margin atau NIM rendah karena bank perlu membayar cost of fund yang lebih tinggi, sedangkan lending rate yang lebih rendah untuk menggaet nasabah.
Lebih lanjut, kesan transformasi digital banking memerlukan investasi yang sangat besar perlu dikaji ulang. Implementasi digital banking seharusnya dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan masing-masing bank.
Investasi delivery channels untuk digital banking, misalnya transaksi berbasis biometric, mobile banking, internet banking, cardless ATM dan QR Code yang tepat sasaran justru akan menghemat biaya operasional bank sekaligus memitigasi resiko operasional bank.
Penyediaan fasilitas transaksi digital banking yang lengkap akan mengurangi kegiatan operasional kantor bank. Bank bisa menghemat biaya operasional karena bank tidak perlu membayar biaya untuk transaksi melalui internet. Biaya internet, smartphone dan personal computer (PC) ditanggung sepenuhnya oleh nasabah.
Perlu diketahui oleh para pelaku industri perbankan, bahwa konsep digital banking yang lengkap terdiri atas tiga komponen, yaitu frontend delivery channel, middleware dan backend system. Yang diulas di atas adalah sebagian contoh dari frontend delivery channels. Komponen middleware digital banking tidak berhadapan secara langsung dengan nasabah.
Komponen middleware merupakan komponen penting untuk menunjang pengembangan lanjutan digital banking melalui berbagai modul lainnya, termasuk inovasi modul baru. Misalnya, modul Customer Relationship Management (CRM) yang ditunjang lewat media sosial, Loan Origination System (LOS) melalui formulir elektronik, berbagai Application Program Interface (API) untuk menunjang fasilitas Bank as a Service (BaaS) dan Bank as a Platform (BaaP).
Fasilitas BaaS dan BaaP merupakan komponen layanan open banking yang sangat dibutuhkan untuk menunjang transaksi electronic commerce (ecommerce), financial technology (fintech), dan digital money.
Komponen backend digital banking merupakan komponen utama yang bersifat mission critical dan dirancang untuk otomasi berbagai proses. Bank mutlak memerlukan support yang berkelanjutan dari vendor yang kompeten setiap saat. Komponen backend digital banking yang andal, fleksibel, dan siap untuk dilakukan berbagai enhancement untuk mendukung bisnis perbankan. (*)