Jakarta – Tahun lalu bank-bank telah melakukan langkah restrukturisasi kredit macetnya. Namun tidak semua bank berhasil mencuci kredit macetnya karena masih tergantung kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kondisi ekonomi serta sejumlah alasan lain seperti itikat kuang baik dari debitur.
Demikian diungkapkan oleh The Triana, Managing Director, The Consumer Banking School, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (27/2/2018)
Secara nasional, kredit yang direstrukturisasi setidaknya Rp250 triliun atau naik dari tahun sebelumnya yang Rp230 triliun. “Hal ini artinya credit at risk masih sekitar 11 persen. Jadi masih penuh risiko pemburukan dari posisi NPL yang hanya 2,59 persen. Jadi potensi pemburukan masih ada,” lanjut Thea Triana.
Kelompok bank-bank BPD yang juga melakukan restrukturisasi kredit juga akan menghadapi masalah yang sama. Bahkan, menurut Thea Triana lebih rumit, karena banyak kualitas kredit yang tidak kunjung membaik selama tahun 2017 lalu.”Kredit at risk beberapa BPD juga masih juga besar, yaitu di atas 5 persen,” lanjut Thea Triana.
Baca juga: Bank Sibuk Restrukturisasi, Laju Kredit Terhambat
Menurut Thea Triana, hal ini selain ada potensi pemburukan kredit baru dan dapat dipastikan kredit yang direstrukturisasi kembali “batuk-batuk”. Apalagi, masih banyak BPD yang melakukan restrukturisasi dengan 1 pilar karena baru melakukan penyesuaian.
Pemburukan bisa terjadi karena kondisi ekonomi juga masih belum tumbuh secara berkualitas. Pertumbuhan ekonomi secara makro yang tumbuh 5,1 persen tapi tidak diikuti dengan pertumbuhan kredit.”Ini kan signal yang bisa dilihat dengan kasat mata. Kita masih sering mendengar signal wait and see,” tegas Thea Triana
Thea Triana menyarankan agar bank-bank termasuk BPD melakukan restrukturisasi dengan benar agar dalam perjalanan kredit tidak memburuk. Di samping itu, apakah kredit perlu direstrukturisasi atau tidak, karena tidak semua kredit bisa direstrukturisasi dengan kebijakan yang baru.
”Bank-bank harus secara dini dapat mendeteksi apakah kredit sudah macet sebelum disalurkan, baik karena fraud atau karena risiko bisnis. Jangan sampai bank bank salah melakukan restrukturisasi kredit hanya sekadar mengobati sakit secara sementara,” lanjut Thea Triana yang menyarankan menyiapkan SDM dalam merestrukturisasi dengan tepat.(*)