Jakarta – Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Eko Putro Sandjojo mengaku terus berupaya untuk mengawal penyaluran Dana Desa hingga tahap pemanfaatannya. Untuk itu, beberapa strategi diterapkan untuk memastikan Dana Desa benar-benar diperuntukkan bagi pemberdayaan potensi ekonomi desa.
Setidaknya, kata dia, ada dua hal yang menyita perhatian Menteri Eko terkait hal ini, yakni potensi penyalahgunaan Dana Desa dan kualitas para Pendamping Desa.
“Kedua hal ini memang sempat menjadi sorotan publik lantaran mencuatnya sejumlah kasus penyimpangan yang terjadi di sejumlah daerah, beberapa waktu lalu.Apalagi berbagai penyimpangan tersebut tidak hanya melibatkan aparat desa, tapi juga pejabat daerah, bahkan penegak hukum,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 2 Maret 2018.
Menurutnya, Dana Desa sudah mengucur ke sebagian besar desa. Dalam tiga tahun sejak 2015 alokasi Dana Desa terus menanjak signifikan. Dari Rp20,67 triliun atau sekitar Rp280,3 juta perdesa pada 2015 hingga menjadi Rp60 triliun atau sekitar Rp800,4 juta perdesa pada 2017. Sedangkan ditahun ini penyaluran Dana Desa sama dengan tahun 2017, yakni Rp60 triliun.
Bersamaan dengan itu, program pemberdayaan potensi desa juga telah bergulir cukup jauh, bahkan sudah mengarah ke pembentukan Budan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berpayung hukum. “Karena itu pengawasan menjadi hal yang secara terus menerus harus ditingkatkan,” ucapnya.
Dalam hal pengawasan terhadap kemungkinan tindak penyalahgunaan Dana Desa, lanjut Eko, saat ini sudah ada nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kemendes, Kemendagri dan Kepolisian Republik Indonesia.
Sementara itu, bila mengacu pada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis tahun lalu, data penyalahgunaan anggaran pada tahun 2017 mencapai 576 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.298.
Dari jumlah kasus korupsi tersebut, untuk persoalan penyalahgunaan anggaran desa sebanyak 98 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp39,3 miliar. Ini merupakan indikasi bahwa anggaran pemerintah yang disubsidi langsung ke masyarakat contohnya dana desa sangat rentan dikorupsi.
Itulah sebabnya dalam MoU tiga lembaga tersebut, pihak Polri mendapat tugas untuk menerjunkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), Kepala Kepolisian Sektor (kapolsek) hingga Kepala Kepolisian Resor (Kapolres). Ini artinya, polisi terjun hingga ke tingkatan paling bawah.
Tapi sayangnya, sebagaimana dikatakan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, beberapa waktu lalu, Polri belum mampu mencukupi rasio keterwakilan aparatnya 1 Bhabinkamtibmas untuk 1 desa.
Jumlah personel Bhabinkamtibmas saat ini sebanyak 54.285 personel. Itupun masih ada 14.956 personel yang merangkap tugas. Untuk target program kamtibnas Polri yang menjangkau 81.711 desa di seluruh Indonesia, berarti Polri masih masih kekurangan 27.426 personel Bhabinkamtibnas.
Baca juga: Pemerintah Turunkan Angka Kemiskinan Papua Dengan Dana Desa
Sedangkan untuk program dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polri memiliki kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas. Selain kekurangan personel pelaku pengawas dana desa, infrastruktur penunjang kinerja kepolisian juga kurang. Terbukti bahwa hingga hari ini banyak daerah yang tidak memiliki pos polisi. Data statistik kriminal BPS menunjukkan, pada 2014 hanya sekitar 10,6 persen desa atau kelurahan di Indonesia yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, polres, dan polda.
Menurut Eko, perihal penyalahgunaan Dana Desa lebih menjadi kewenangan aparat penegak hukum, baik Polri maupun KPK. Sedangkan Kemendes bersama-sama pemerintahan daerah lebih terfokus pada pengawasan agar program pemberdayaan potensi desa berjalan sesuai yang ditargetkan.
Dalam hal ini, Pendamping Desa memiliki peran sentral. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pendamping Desa bertugas memfasilitasi dan mendampingi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Tenaga Pendamping bukanlah pengelola proyek pembangunan di Desa. Kerja Pendampingan Desa difokuskan pada upaya memberdayakan masyarakat Desa melalui proses belajar sosial.
Pendamping Desa terdiri dari Pendamping Lokal Desa (PLD), Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP), Pendamping Desa Teknik Infrastruktur, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa (TA-PMD), Tenaga Ahli Infrastruktur Desa (TA-ID).
Sayangnya, Pendamping Desa sempat menjadi gunjingan, beberapa waktu lalu.Ditengarai banyak tenaga titipan dan bahkan sejumlah partai politik berebut memasukkan kadernya.Walhasil, Pendamping Desa pun dianggap tidak memberi kontribusi, melainkan justru merugikan Desa karena memakan gaji buta.
“Siapapun berhak jadi pendamping desa. Tapi yang paling penting, pendamping desa tidak boleh rangkap jabatan agar fokus menjalankan tugasnya. Rangkap jadi kepala desa tidak boleh, wartawan aktif juga tidak boleh,” tegas Eko.
Tahun ini, lanjut Eko, Kemendes butuh pendamping desa sekitar 40 ribuan. Sedangkan yang tersedia baru 34.000.Jumlah ini sebenarnya masih jauh dari ideal, karena jumlah desa di seluruh Indonesia sebanyak 74.910. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, rekrutmen akan terus dilakukan secara berkala. (*)