Ketika Musim Kemarau Kredit Tiba

Ketika Musim Kemarau Kredit Tiba

Oleh Paul Sutaryono

Cepat atau lambat, kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) 50 basis points (bps) dari 4,75% menjadi 5,25% pada 29 Juni 2018 akan mendorong kenaikan suku bunga kredit. Bagaimana efeknya bagi operasional bank?

Kenaikan BI 7 DRRR itu disebabkan oleh suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FRR) yang mengalami kenaikan 25 bps menjadi 1,75%-2% pada 14 Juni 2018. Jangan lupa bahwa pada saat yang sama Bank Indonesia (BI) juga meluncurkan relaksasi loan to value (LTV) sebagai insentif bagi bank, pengembang, dan calon debitur.

Lantas, efek apa saja yang bakal muncul yang dapat memengaruhi operasional bank? Bagaimana upaya bank untuk mengatasinya?

Pertama, dalam waktu sekitar tiga bulan ke depan, suku bunga deposito diprediksi akan segera mengalami kenaikan. Sebabnya, bank harus mengeluarkan biaya lebih tinggi dalam menghimpun dana dari masyarakat. Biaya itu berupa suku bunga deposito yang makin tinggi. Biaya dana (cost of fund) pun akan makin tinggi.

Kenaikan suku bunga deposito akan mendorong bank untuk menaikkan suku bunga kredit. Padahal, selama ini suku bunga kredit mulai meluruh. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 22 Juli 2018 menunjukkan, suku bunga rata-rata kredit bank umum (rupiah) menurun dari 11,17% per Mei 2017 menjadi 10,54% per Mei 2018 untuk kredit modal kerja.

Suku bunga rata-rata kredit investasi juga menurun dari 10,96% menjadi 10,29%, sedangkan kredit konsumsi turun dari 13,37% menjadi 12,34%. Kenaikan suku bunga acuan itu tentu saja akan menahan kecenderungan penurunan suku bunga kredit, paling tidak hingga akhir 2018.

Kedua, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akhirnya juga menaikkan suku bunga penjaminan (LPS Rate) 25 bps menjadi 6,25% untuk bank umum dan 8,75% untuk bank perkreditan rakyat (BPR). Kenaikan LPS Rate ini seolah memberi restu kepada bank untuk menaikkan suku bunga deposito dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sebagai pengingat saja, apa fungsi, tugas, dan wewenang LPS? LPS berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan sesuai dengan kewenangannya.

LPS bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan, melaksanakan penjaminan simpanan, serta merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. LPS pun bertugas merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik serta melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

Sementara itu, LPS berwenang menetapkan dan memungut premi penjaminan, menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta, melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, serta mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.

Awalnya, dalam menentukan suku bunga penjaminan (LPS Rate), LPS selalu mengacu pada suku bunga acuan. Namun, kini LPS melakukan perubahan dengan mengacu pada suku bunga rata-rata deposito, terhitung mulai perubahan nama suku bunga acuan dari BI Rate menjadi BI 7 DRR yang berlaku efektif 19 Agustus 2016.

Kenaikan LPS Rate itu bisa jadi akan mendorong munculnya kembali perang suku bunga deposito. Untunglah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum menghapus aturan batas atas (capping) suku bunga deposito. Pada 16 Maret 2016 OJK memutuskan batas atas suku bunga deposito maksimal 100 bps di atas suku bunga acuan untuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 (modal inti Rp5 triliun hingga kurang dari Rp30 triliun) dan maksimal 75 bps di atas suku bunga acuan untuk BUKU 4 (modal inti di atas Rp30 triliun).

Dengan demikian, manakala BI 7 DRRR mencapai 5,25%, suku bunga deposito BUKU 3 dan 4 masing-masing akan menjadi 6,25% dan 6%. Upaya itu dapat menekan kenaikan suku bunga deposito untuk tidak terlalu cepat naik dan tidak terlalu tinggi. Mengapa? Karena, BUKU 3 dan terutama BUKU 4 merupakan bank pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) yang menjadi agen pembangunan (agent of development) sekaligus pemimpin pasar (market leader) sehingga menjadi panutan dalam menentukan suku bunga deposito.

Ketiga, ketika suku bunga kredit mulai mendaki, pertumbuhan kredit perbankan bisa tertekan. Musim kemarau kredit. Padahal, SPI mencatat, kredit telah tumbuh dua digit (10,41%) dari Rp4.244,52 triliun menjadi Rp4.686,55 triliun per Mei 2018.

Untunglah ada proyek infrastruktur, seperti jalan tol, jalan kereta api, bandara, pelabuhan laut, irigasi, dan pembangkit listrik yang menjadi pendorong pertumbuhan kredit ke depan. Bank papan menengah-atas akan mengucurkan kredit sindikasi (syndicated loan) untuk membiayai proyek infrastruktur itu.

Sesungguhnya kredit sindikasi merupakan salah satu kiat bank untuk menekan potensi risiko dengan membagi risiko (risk sharing) dalam memberikan kredit jumbo. Proyek infrastruktur itu membutuhkan kredit yang mahabesar dan bertenor menengah-panjang. Artinya, makin besar jumlah kredit (pembiayaan) dan makin panjang tenor, akan makin tinggi pula potensi risiko yang dihadapi bank peserta sindikasi. Itulah sebabnya, bank papan bawah tidak memperoleh bagian karena modal yang cekak.

Keempat, ketika pertumbuhan kredit menurun, margin pendapatan bersih (net interest margin/NIM) juga akan menurun. SPI menggambarkan bahwa NIM bank umum sebagai representasi seluruh BUKU memang sudah mulai menipis dari 5,36% menjadi 5,09%, tapi tetap berada di level 5%.

Sesungguhnya angka NIM itu masih lebih tinggi daripada NIM bank-bank di negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia yang berkisar pada angka 3%-4%. Karena itu, OJK pernah mencoba membatasi NIM pada level 4%, tapi kurang memenuhi sasaran.

Sejatinya, NIM yang tinggi mengandung arti bahwa bank belum efisien. Tingkat efisiensi bank yang tersurat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) kini membaik (menurun) dari 79,70% menjadi 79,43%. Sekalipun rasio itu berada di tengah ambang batas 70%-80%, masih jauh dibandingkan dengan rasio BO/PO bank-bank di negara ASEAN yang tercatat 40%-60%.

OJK perlu menetapkan ambang batas BO/PO dari 70%-80% menjadi lebih rendah lagi. Katakanlah, menjadi 60%-70% pada semester pertama 2019 dan 50%-60% pada semester kedua 2019. Hal itu dapat “memaksa” bank untuk terus menaikkan tingkat efisiensi dalam menghadapi kelesuan ekonomi global.

Efisiensi yang tinggi merupakan kunci dalam memenangi persaingan yang makin tajam. Ini sejalan dengan kian banyaknya bank atau kelompok bank asing yang mengembangkan sayap bisnisnya ke Nusantara. Ketika rasio BO/PO makin ramping, NIM pun akan terdorong untuk meramping.

Kelima, meski bank akan mengalami musim kemarau kredit komersial, bank tidak akan mati angin. Pastilah bank akan menggeber kredit konsumsi, seperti kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), kredit kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit, kartu debit, dan kredit tanpa agunan (KTA).

Jurus andalan itu seiring dengan tekad BI untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor properti dengan melonggarkan loan to value (LTV) yang efektif per 1 Agustus 2018. Kredit konsumsi itu akan menjadi pendorong utama dalam mendongkrak pendapatan bunga (interest income) dari kredit komersial yang sedang merunduk.

Keenam, bank juga akan menggenjot pendapatan dari komisi (fee based income) yang terus melejit. Pendapatan yang makin gurih itu bersumber dari pengelolaan rekening tabungan dan deposito (current account and saving account/CASA), ATM banking, mobile banking, cash management, wealth management, foreign exchange, remitansi (remittances), dan ekspor impor (trade finance). Sungguh, pendapatan yang satu ini akan menjadi pilar penyeimbang (net off) dalam meraih pendapatan nonkredit (non interest income) terhadap pendapatan bunga kredit secara keseluruhan.

Namun, ingat bahwa bank wajib tetap menjaga rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang mencapai 2,79% per Mei 2018 atau membaik dari 3,03% per Mei 2017. Karena, NPL yang tinggi otomatis akan mendorong kenaikan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang akhirnya bisa menggerus modal. Padahal, bank mau tak mau justru harus meningkatkan modal untuk makin perkasa menghadapi persaingan yang kian tajam.

Berbekal aneka alternatif solusi demikian, bank bakal tetap berdiri sentosa dalam menghadapi musim kemarau kredit komersial ke depan.

Penulis adalah staf ahli pusat studi BUMN, pengamat perbankan, dan mantan Assistant Vice President BNI.

Related Posts

News Update

Top News