Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengaku telah melakukan intervensi besar-besaran baik di pasar valuta asing (valas) maupun di pasar Surat Berharga Negara (SBG) sebagai upaya BI untuk menahan depresiasi nilai tukar rupiah yang sempat hampir menyentuh Rp14.000 per dolar AS.
Dengan upaya tersebut, menurut Gubernur BI Agus DW Martowardojo, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Senin kemarin (23/4) hanya melemah -0,12 persen dibandingkan di ahir pekan kemarin (20/4), laju rupiah sempat terdepresiasi sebesar -0,70 persen.
“BI telah melakukan intervensi dalam jumlah cukup besar. Perdagangan Senin hanya melemah -0,12 persen, lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara emerging market dan Asia lainnya,” ujar Agus dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Menurutnya, dengan upaya stabilisasi yang dilakukan BI, sejak awal April (mtd) 2018, nilai rupiah tercatat melemah -0,91 persen, atau lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti Thailand Baht -1,04 persen, India Rupee -1,96 persen, Mexico Peso -2,76 persen, South Africa Rand -3,30 persen.
Demikian pula, sejak awal tahun 2018 (ytd), tambah dia, nilai tukar rupiah yang melemah -2,35 persen, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain seperti Brazil Real -3,06 persen, India Rupee -3,92 persen, Philippine Peso -4,46 persen, dan Turkey Lira -7,17 persen.
“Mata uang AS, yang pada hari Jumat kemarin menguat tajam terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah, pada hari Senin juga mengalami penguatan secara meluas (broadbased),” ucapnya.
Baca juga: BI: Kondisi AS Buat Rupiah Melemah Hampir Rp14.000 per Dolar AS
Lebih lanjut dia mengungkapkan, penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang di dunia ini, masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills yang mendekati level psikologis 3 persen dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari 3 kali di 2018.
“Kenaikan yield dan suku bunga di AS dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yg terus membaik dan tensi perang dagang antara AS dan China yang berlangsung selama th 2018 ini,” paparnya.
Sejalan dengan itu, pada perdagangan Senin kemarin semua mata uang negara maju kembali melemah terhadap dolar AS, antara lain Japan Yen -0,25 persen, Switzerland Franc -0,27 persen, Singapore Dolar -0,35 persen, dan Euro -0,31 persen. Mayoritas mata uang negara emerging market, termasuk Indonesia, juga melemah.
Menurutnya, BI akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Infonesia,
“Maupun yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik (terkait kebutuhan pembayaran impor, ULN, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II). BI tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya,” tutupnya. (*)