Akankah Kegemilangan Emas Sebagai Safe Haven Berlanjut?

Akankah Kegemilangan Emas Sebagai Safe Haven Berlanjut?

oleh Agung Galih Satwiko

 

INVESTOR global yang memegang US Treasury bonds (UST), Yen dan emas memperoleh return positif dihitung sejak awal tahun 2016. Yield UST tenor 10 tahun telah turun 53 bps dari 2,27% akhir tahun 2015 menjadi 1,74% tanggal 29 Feb 2016. Dalam bentuk price return, pemegang UST tenor 10 tahun, misalnya untuk seri UST yang jatuh tempo tanggal 15 Februari 2026 dengan kupon 1,625%, memperoleh return sebesar 3,9% year to date (ytd). Demikian juga dengan mata uang Yen yang dipersepsikan sebagai safe haven currency. Bahkan pengumuman kebijakan tingkat bunga negative oleh Bank of Japan akhir Januari lalu tidak mampu melemahkan mata uang Yen, bahkan mata uang Yen menguat sekitar 2,2% terhadap USD ytd. Sementara itu untuk emas sendiri, harganya sudah naik lebih signifikan, yaitu dari USD1.061,42 per ounce (sekitar 28,35 gram) pada akhir tahun 2015 menjadi USD1.238,74 per ounce pada tanggal 29 Feb 2016, atau kenaikan sebesar 16,7% hanya dalam waktu dua bulan.

Financial Times bahkan menyebutkan bahwa emas layak memperoleh piala Oscar sebagai safe haven asset terbaik diikuti oleh mata uang Yen dan UST. Hal tersebut berbanding terbalik dengan asset class lain terutama saham yang membukukan penurunan, seperti DJIA yang secara year to date membukukan kerugian 5,2%, FTSE 100 turun 2,3% ytd, Nikkei turun 15,8% ytd, dan Shanghai Composite yang bahkan turun 24,0% ytd!

Investor banyak membeli emas karena pelaku pasar skeptis terhadap upaya bank sentral dalam memulihkan pertumbuhan ekonomi global. Ekspektasi pelaku pasar mengenai kenaikan tingkat bunga acuan the Fed yang menurun, ditambah dengan aksi bank sentral Jepang dan Eropa yang tengah berlomba menurunkan tingkat bunga acuan melalui kebijakan tingkat bunga negatif, dan ketidakyakinan pelaku pasar akan efektivitas kebijakan moneter membuat investor banyak membeli emas.

Kepemilikan emas oleh investor, baik investor yang membeli emas secara langsung atau membeli instrumen investasi yang mendasarkan nilainya pada emas (seperti exchange traded funds/ ETF berbasis emas), terus meningkat. ETF berbasis emas telah memiliki nilai underlying emas sebanyak 1.700 ton, naik dari sekitar 1.450 ton pada akhir 2015. Walaupun demikian, masih banyak pula investor yang memposisikan dirinya wait and see, menunggu aksi investor lain khususnya pembeli emas dalam jumlah besar seperti investor India dan China. Biaya memegang emas yang selama ini menjadi hambatan telah menjadi berkurang karena tingkat bunga negatif yang banyak berlaku di negara maju. Jika menyimpan dana dalam obligasi menghasilkan bunga negatif, di mana investor justru harus membayar untuk menyimpan dananya, maka biaya tersebut kira-kira setara dengan biaya penyimpanan emas.

Namun demikian sejauh mana harga emas akan terus meningkat? Tampaknya secara fundamental dan secara teoritis kondisi ke depan tidak menunjang kenaikan harga emas yang persisten. Terdapat dua hal yang membatasi harga emas dan bahkan berpotensi menurunkan harga emas di kemudian hari yaitu: (1) potensi kenaikan tingkat bunga Fed Fund, dan (2) rendahnya inflasi global. Tail risk terhadap kenaikan tingkat bunga Fed Fund, walaupun oleh banyak pelaku pasar kemungkinannya telah turun, tetap ada.

Kalaupun kenaikan Fed Fund rate diperkirakan tidak akan menjadi empat kali sebagaimana direncanakan sebelumnya, masih banyak pelaku pasar yang memprediksikan akan adanya kenaikan Fed Fund rate tahun 2016 paling tidak dua kali. Solidnya sektor ketenagakerjaan US menjadi salah satu faktor dalam pertimbangan kenaikan Fed Fund rate.

Faktor lainnya yaitu ekspektasi inflasi yang tampaknya masih akan sulit dicapai. Namun belajar dari kenaikan Fed Fund rate bulan Desember lalu, the Fed tidak ragu menaikkan Fed Fund rate meskipun ekspektasi inflasi masih jauh di bawah 2% dengan pertimbangan kuatnya sektor ketenagakerjaan. Kenaikan Fed Fund rate akan memperkuat nilai tukar USD. Dan mengingat emas, minyak dan juga harga komoditas lainnya dinyatakan dalam USD, maka kenaikan nilai USD akan menurunkan harga emas, minyak dan komoditas yang dinyatakan dalam USD (harga dalam mata uang asal tetap, namun karena USD menguat, maka harga dalam USD turun).

Faktor kedua yaitu rendahnya inflasi global berpengaruh pada harga emas, karena pada dasarnya emas adalah instrumen investasi terhadap inflasi (hedge against inflation). Dengan tingkat bunga acuan yang rendah dan level inflasi yang sehat yang sulit dicapai oleh negara maju, bahkan beberapa bank seperti Citi telah memprediksi global resesi, maka pertumbuhan ekonomi dan inflasi ke depan masih akan rendah. Hal ini tentunya membuat harga emas seharusnya juga ikut turun.

Deutsche Bank memperkirakan harga emas akan turun hingga USD1.000 per ounce pada akhir 2016, akibat kenaikan Fed Fund rate dan menguatnya USD. Analis Societe Generale juga memprediksikan harga emas akan turun karena rally yang terjadi saat ini tidak ditopang oleh fundamental. Kejayaan emas di atas harga komoditas lainnya dan anomali pergerakan harga terhadap nilai USD membuat harga emas diperkirakan tidak sustainable.

Namun di sisi lain, Taurus Wealth Advisor merekomendasikan untuk membeli emas, karena berdasarkan analisisnya harga emas akan naik hingga ke level USD1.400 per ounce, dengan pertimbangan bank sentral akan kehabisan amunisi dalam meningkatkan perekonomian, dan perekonomian tidak akan pulih dalam waktu cepat.

Kembali ke pertanyaan dalam judul analisis hari ini, apakah kegemilangan emas sebagai safe haven akan berlanjut? Menurut hemat kami hal tersebut sulit terwujud. Sekedar statistik, dalam 10 tahun terakhir, harga emas menyentuh level tertinggi pada pertengahan tahun 2011 yaitu mencapai sekitar USD1.900 per ounce. Kemudian harga terus menurun, dan menyentuh level terendah pada bulan Desember 2015 yaitu di sekitar USD1.050 per ounce, sebelum meningkat drastis pada tahun 2016. Tren harga emas dalam jangka panjang terus menurun sebelum 2016. Selain itu kans penguatan harga emas di suatu bulan, yang diikuti oleh penguatan harga emas di bulan selanjutnya dalam 10 tahun terakhir hanya sekitar 25%.

Regulator di Indonesia tentu perlu mencermati perkembangan safe haven asset termasuk emas, karena hal ini berdampak pada prospek pengembangan dan pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Produk-produk turunan seperti ETF berbasis emas, gold futures (di bursa berjangka), harus diatur dengan seksama. Di sisi lain perlu diantisipasi juga apabila peningkatan harga emas ternyata berlanjut, dimungkinkan adanya shifting dari produk pasar keuangan seperti saham ke investasi emas. (*)

 

Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK

Related Posts

News Update

Top News