Oleh Eko B. Supriyanto Pemimpin Redaksi Infobank
BANK itu berbeda dengan perusahaan asuransi. Bank menepati janji, sementara perusahaan asuransi tersohor suka membuat janji. Dan, kini banyak janji perusahaan asuransi tak terpenuhi, seperti terakhir WanaArtha Life. Uang premi yang dipungut dari perbankan sejak 17 tahun lalu, yang kini mencapai Rp172 triliun, bisa saja dipakai untuk membayar penjaminan polis dari asuransi – maaf – yang governance-nya dibandingkan dengan perbankan masih cenderung hitam.
Itu tertuang dalam Pasal 85 Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pasal 85, Ayat (2), ”… Adanya pinjaman antarprogram (cross/inter borrowing fund), diharapkan Lembaga Penjamin Simpanan dapat memaksimalkan dana internal Lembaga Penjamin Simpanan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam melaksanakan fungsi, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan”.
Nah, jika hari pertama UU P2SK ini berlaku, untuk program penjaminan polis di 2028, maka kalau ada perusahaan asuransi bangkrut, polisnya dijamin dan dibayar oleh LPS dengan metode pinjaman antarprogram. Anehnya, pemerintah (Kemenkeu) menyetujui pasal ini. Dan, tampaknya LPS tergagap dengan pasal “maut” ini, atau memang LPS tidak diajak bicara. Justru, membiarkan DPR menjadi tempat konsultasi bagi LPS mengurus ini.
Bank saja sulit memakai duit yang dikumpulkan lewat preminya sendiri. Jika mau memakai, prosedurnya panjang, sampai bank itu mati sendiri kehabisan likuiditas karena harus melewati jalan berliku. Lewat OJK, BI, dan tentu KSSK. Rumit dan saling lempar bola panas. Itu pernah terjadi pada 2020 ketika ada bank kehabisan likuiditas karena isu rush sehingga bank itu harus diambil alih kepemilikannya.
Pendirian Lembaga Penjamin Polis (LPP) yang ditempelkan di LPS ini untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, paling tidak penjaminan polis ini harus ada prinsip-prinsip yang mesti disepakati. Satu, LPP menjadi bagian jaring pengaman sistem keuangan melalui perlindungan yang memadai kepada pemegang polis dengan tetap memperhatikan mitigasi risiko atas dampak dari moral hazard.
Dua, berkontribusi pada pertumbuhan industri asuransi yang prudent. Tidak ugal-ugalan. Tiga, memberikan nilai perlindungan yang memadai dengan memperhatikan kebutuhan konsumen dan perlindungan di sektor keuangan lainnya. Empat, mendorong praktik manajemen risiko yang baik.
Banyak perusahaan asuransi yang bangkrut, seperti Jiwasraya, Wanartha Life, dan Kresna Life. Asuransi Bumiputera tengah berjuang untuk segar kembali. Bahkan, menurut OJK ada 13 perusahaan asuransi yang tidak baik-baik saja. Pengalaman, perusahaan asuransi yang menemui ajal dikarenakan urusan moral hazard, meski secara produk juga sudah bermasalah sejak awal.
Bisa jadi, dengan adanya LPP ini, insentif untuk mengambil risiko berlebih menjadi lebih besar. Itu karena penyerapan risiko downside – dalam terealisasi sebagian atau seluruhnya (tergantung cakupan penjaminan) – bergeser ke skema penjaminan. Derajat moral hazard tergantung pada kemampuan pasar melakukan disiplin pasar (Gropp & Vesala, 2010).
Hal lain – program penjaminan polis dapat mengecualikan subproduk tertentu yang tidak sesuai dengan public policy objective dari LPP. Sebagai contoh, program penjaminan polis dapat mengecualikan penjaminan porsi investasi. Seperti, produk unit link yang dijamin adalah porsi asuransinya saja, sedangkan porsi investasinya tidak termasuk yang dijamin.
Juga, fokus pada produk khusus konsumen perorangan yang memiliki keterbatasan untuk mengelola dan melakukan evaluasi risiko. Berbeda dengan korporasi yang lebih mampu melakukan asesmen risiko sebelum menentukan perusahaan asuransi dan polisnya.
Banyak pertanyaan, bagaimana menghitung premi? Industri asuransi merupakan industri paling berisiko soal iuran OJK, dan sekarang iuran premi LPP. Tentu makin berisik. Namun, harusnya basis premi – antara industri asuransi jiwa dan umum dapat berbeda. Salah satu alternatif dasar pengenaan premi adalah cadangan teknis (jiwa) dan penerimaan premi bruto (umum) sebagai dasar kalkulasi. Namun demikian, perlu dipelajari dampak implementasi IFRS 17 pada kesesuaian aspek iuran ini.
Sedangkan, untuk menentukan besarnya persentase iuran dan metode pendanaan dapat mempertimbangkan, antara lain target pendanaan. Juga, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan polis, kemampuan industri asuransi. Paling utama jika kemungkinan kegagalan perusahaan asuransi.
Jadi, sangatlah tidak pantas memakai uang premi yang dikumpulkan perbankan, yang kini sudah mencapai Rp172 triliun dari modal awal Rp4 triliun, untuk membayar pemegang polis perusahaan asuransi yang “amburadul”. Bahkan, ada 13 perusahaan asuransi yang perlu penyehatan dan bukan tidak mungkin akan segera dikirim ke LPP.
Jangan sembarang memakai uang premi yang dikumpulkan bank untuk menjamin pemegang polis. Jalan keluarnya, “dibereskan” dulu perusahaan asuransinya – “bersih-bersih” sejak awal, dan tentu sudah terkumpul jumlah premi yang memadai. Sejatinya, cross borrower fund itu bisa mengandung moral hazard, karena di hari pertama bisa saja mengirim “jenazah” ke LPS/LPP – karena bisa jadi saat ini dibiarkan jadi zombi menunggu LPP berdiri efektif 2028 nanti.
Jangan sampai LPP yang tujuannya melindungi pemegang polis ini menjadi “kuburan massal” bagi perusahaan asuransi dan menggerus uang premi yang sudah dikumpulkan perbankan selama 17 tahun. Yang mulia, jangan sampai duit LPS terkikis habis untuk bailout asuransi. Ambyar!