Jakarta – Pengamat ekonomi syariah, Syakir Sula berpendapat, merger bank syariah harus diperjuangkan untuk masuk kategori BUKU IV jika ingin hasilnya optimal.
Penambahan modal bisa jadi solusi. Bila hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin bank BRI Syariah (BRIS) pasca merger akan menjadi bank Himbara ke 5, setelah BRI, Mandiri, BNI dan BTN. Dengan catatan, penambahan modal inti itu sendiri harus dilakukan minimal Rp10 triliun.
“Kalau bisa masuk BUKU IV dan bisa menjadi Bank Himbara ke-5, ya bagus. Dengan catatan harus nambah modal inti Rp10 Triliun lagi,” kata Syakir, Kamis, 19 November 2020.
Hal itu sendiri bisa saja terjadi dan bisa dilakukan oleh Bank syariah BUMN itu. Secara khusus Syakir menambahkan, tanpa penambahan modal inti, bank merger syariah BUMN ini hanya menjadi “anaknya” bank Mandiri yang diketahui memiliki saham terbesar yaitu 51,2%.
“Itu dua hal yang berbeda. Kalau malah menjadi anaknya Bank Mandiri,”pungkasnya.
Sementara itu, anggota DPR-RI Komisi VI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Marwan Ja’far, mengatakan, terkait proses penggabungan bank syariah BUMN yang sedang berlangsung saat ini, Kementerian BUMN diminta transparan mempresentasikan roadmap proses merger.
“Ini bukan sekadar merger biasa. Holdingisasi bank-bank syariah sekarang butuh penataan ekosistem yang berbeda dengan ekosistem perbankan biasa. Di sini harus ada roadmap yang jelas, dicari SDM yang benar-benar mumpuni, dan semua sesuai dengan KPI (Key Performance Index) masing-masing,” kata Marwan.
Marwan berharap, bank syariah hasil merger yang terbentuk nantinya, benar-benar menganut sistem syariah sesuai aturan fiqih yang benar.
“Kalau konsep fiqih nya benar-benar diterapkan, itu bagus dan merupakan pasar yang sangat prospektif,” tegasnya.
Potensi bisnis bank syariah, menurut Marwan, sangat prospektif. Apalagi dalam situasi ekonomi yang lesu seperti sekarang, di mana banyak bank konvensional yang kinerjanya jeblok, menurut Marwan, bank syariah merupakan salah satu pilihan bisnis yang potensial.
Bukan hanya untuk segmen konsumen muslim, potensi bisnis bank syariah juga prospektif menyasar konsumen universal. Prospek ini sudah diakui secara global.
Di luar negeri, seperti di Eropa, bank-bank berkonsep syariah banyak dipercaya oleh konsumen non muslim. Oleh karena itu, menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mempromosikan bank merger syariah BUMN ini kepada investor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri.
Seperti diketahui, gabungan 3 bank syariah Himbara itu sekarang belum bisa masuk ke kategori BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) IV karena modal intinya baru Rp20,2 Triliun, dan belum memenuhi persyaratan Rp30 Triliun.
Marwan mengingatkan agar proyek holdingisasi bank syariah BUMN ini jangan sampai gagal, karena taruhannya adalah turunnya kepercayaan dari masyarakat hingga investor global.
Bisnis di tengah pandemi hari ini, kata Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu, yang paling penting adalah faktor kepercayaan.
Karena itu, menurutnya, dalam mewujudkan merger bank syariah himbara ini, semua tergantung kepada itikad Pemerintah.
“Saya sih optimis masih bisa. Yang penting carikan polanya dan secara mandatory harus ditata dengan baik dari awal. Mungkin butuh konsultan khusus, agar nantinya bank ini benar-benar dipercaya masyarakat dan investor, “ujarnya lagi. (*)