Potensi debt collector dari kredit perbankan dan pembiayaan multifinance yang berpotensi tak tertagih mencapai Rp484 triliun. Apa yang dilakukan debt collector adalah akibat perilaku nasabah yang tidak membayar cicilan kreditnya. Hati-hati untuk tidak mengajari masyarakat ngemplang utang sebab besarnya kredit macet bisa menyeret industri perbankan dan perekonomian jatuh ke jurang krisis seperti 1998. Berapa potensi komisi yang dipetik penyedia jasa penagihan?
Lima belas bulan sudah masyarakat mengarungi masa sulit akibat pandemi COVID-19. Sejak bulan kedua pandemi, banyak pelaku bisnis mulai mengalami pendarahan cash flow sehingga tak mampu membayar angsuran bank dan harus memangkas karyawan. Kredit berkualitas rendah membesar dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit. Menurut data OJK, per Maret 2021, kredit perbankan yang direstrukturisasi sebesar Rp808,75 triliun dari 5,55 juta debitur. Sedangkan, pembiayaan yang direstrukturisasi industri multifinance sebesar Rp198,27 triliun dengan 5,09 juta kontrak.
Biro Riset Infobank (birI) mencatat, ada dua isu penting dari dampak pandemi COVID-19 yang memukul perekonomian dalam negeri. Satu, membesarnya angka pengangguran yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi penambahan 1,82 juta orang dalam kurun waktu setahun menjadi 8,75 juta orang pada Februari 2021. Itu baru pengangguran terbuka di sektor informal. Belum termasuk 7 juta pengangguran baru dari sektor informal akibat kebangkrutan 34 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Banyaknya orang yang kehilangan mata pencaharian ini memperlemah daya beli atau belanja masyarakat yang kontribusinya mencapai 56% terhadap produk domestik bruto (PDB). Alhasil, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 terkontraksi 2,19% dan ekonomi Indonesia kuartal satu masih minus 0,74%.
Dua, membesarnya kredit tak tertagih akan memengaruhi neraca bank sebagai lembaga kreditur utama sehingga kemampuannya dalam mengucurkan kredit akan menurun. Ingat, krisis moneter 1997/1998 meletus salah satunya karena menggunungnya kredit tak tertagih. Sekarang, kendati didorong-dorong dengan berbagai stimulus moneter dan makroprudensial, bank sangat berhati-hati mengucurkan kreditnya sebab risiko kredit tak tertagih makin besar. Itu terindikasi dari loan at risk (LAR) yang meningkat dari 11,98% pada 2018, 12,93% pada 2019, 22,65% pada 2020, dan 23,71% per Februari 2021.
Makanya, perbankan dan multifinance berusaha keras bagaimana menjaga kualitas aset produktifnya. Sambil mencermati perkembangan restrukturisasi kredit yang terdampak pandemi COVID-19, bank-bank yang tidak mau diguyur hujan non performing loan (NPL) pun berusaha “mengejar” debitur-debitur yang kreditnya nunggak. Begitu juga perusahaan-perusahaan pembiayaan (multifinance) yang “memburu” nasabahnya yang sudah tiga bulan tidak membayar angsuran. Sebab, multifinance sendiri juga harus melaksanakan kewajibannya kepada perbankan yang menjadi kreditur utamanya.
Untuk debitur yang sudah nunggak 90 hari lebih, lembaga perbankan maupun pembiayaan biasa menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan penagihan maupun eksekusi aset jaminan bagi debitur yang sudah menyatakan tidak sanggup melaksanakan kewajibannya. Sayangnya, debt collector sendiri sering menjadi bulan-bulanan pihak debitur yang macet meskipun sudah bersertifikat dan mengantongi surat tugas lengkap dengan dokumen lain, seperti surat somasi dan sertifikat fidusia. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal pandemi COVID-19 yang menginstruksikan agar masyarakat tidak dikejar angsuran kredit, apalagi menggunakan debt collector, seolah menginspirasi para debitur untuk tidak membayar angsuran kredit dan berani melawan penagih utang.
Awal Mei lalu Pangdam Jaya sampai mengatakan debt collector sebagai profesi yang harus ditumpas sebagai buntut dari viralnya video 11 debt collector yang mengadang Honda Mobilio yang nunggak delapan bulan di Clipan Finance. Padahal, peristiwa tersebut hanya sebuah akibat yang disebabkan oleh rentetan kejadian karena mobil yang menjadi aset jaminan fidusia sudah berpindah tangan dan eksekusinya pun sulit. Apa yang dilakukan debt collector adalah akibat dari perilaku nasabah yang tidak membayar cicilan kreditnya. Dan, jika aksi debt collector tersebut melanggar prosedur, itu bukan wajah dari industri multifinance. Termasuk industri jasa penagihan yang sudah dinaungi payung hukum dan mereka juga membayar pajak kepada negara.
Apa saja isu selanjutnya, simak di Majalah Infobank terbaru, edisi 518 Juni 2021. Ayo Berlangganan Majalah Digital
Jakarta – Dolar Amerika Serikat (USD) mengalami penguatan setelah Donald Trump memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) AS 2024.… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (MenKop) Budi Arie Setiadi memaparkan 12 program prioritas koperasi yang akan dilaksanakan… Read More
Jakarta – Donald Trump berhasil mengalahkan Kamala Harris dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS).… Read More
Jakarta – Harga minyak dunia mulai merangkak naik pada Kamis (7/11) menyusul efek kemenangan Donald… Read More
Jakarta - PT VENTENY Fortuna International Tbk (VTNY) berhasil membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp186 miliar… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melanjutkan proses likuidasi atau pembubaran terhadap perusahaan fintech lending… Read More