Moneter dan Fiskal

Waspada! Mandiri Institute Beberkan 7 Risiko Mengintai Penerimaan Pajak di 2024

Jakarta – Head of Mandiri Institute, Teguh Yudo Wicaksosno mengungkapkan sejumlah tantangan bagi perekonomian Indonesia yang akan berdampak pada penerimaan pajak RI di tahun 2024.

“Jadi ada beberapa hal yang menjadi ancaman buat ekonomi kita dan tentu saja berdampak kepada perpajakan,” ujar Teguh dalam diksusi Sudah tepatkan arah kebijakan Pajak Kita dalam RAPBN 2024, Selasa 29 Agustus 2023.

Meskipun, pertumbuhan ekonomi RI sudah mulai pulih pasca pandemi Covid-19, yaitu sebesar 5,17 persen di kuartal II 2023. Di sisi lain, masih patut diwaspadai risiko dari post pandemi di tahun ini dan tahun depan.

Baca juga: Penerimaan Pajak Negara Sudah 64,56 persen dari Target APBN 2023, jadi Segini

7 Risiko Mengintai Penerimaan Pajak 2024

Teguh memaparan, risiko pertama, yaitu geopolitik yang belum stabil. Perang Rusia-Ukraina belum menemukan titik penyelesaian, ditambah kejadian baru-baru ini dimana pesawat Rusia jatuh yang menambah ketegangan geopolitik.

Kedua, inflasi dan suku bunga dari negara maju yang masih berada pada level yang cukup tinggi dan dikabarkan akan semakin hawkish mengikuti tingkat inflasi yang cenderung tinggi. Ketiga, krisis perbakan di Amerika Serikat (AS) di awal 2023 yang membuat The Fed agresif dalam menaikan tingkat suku bunganya. 

“Ada tiga bank yang kolaps walaupun termasuk dalam bank kecil atau pengertian banknya bank lokal regional, tetapi kita lihat risiko yang bisa terjadi yang menciptakan tantangan yang keempat, yaitu tentu saja global ekonomi slow down,” jelas Teguh.

Kelima, resesi yang terjadi di sejumlah negara maju yang memengaruhi permintaan kepada produk-produk ekspor Indonesia. Sehingga dampaknya adalah ke pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat.

“Keenam inflasi yang walaupun trennya mulai melambat tetapi kita melihat adanya potensi masih relatif tinggi kita akan melihat ke depannya BI rate atau suku bunga BI akan tinggi,” pungkasnya.

Baca juga: Penerimaan Pajak Digital Sudah Capai Rp13,87 Triliun dari 139 Perusahaan Pemungut

Terakhir, melambatnya surplus perdagangan Indonesia yang disebabkan oleh resesi global, sehingga berdampak pada permintaan eksternal di Indonesia. Tercermin, dari pertumbuhan ekonomi China yang melemah pasca pandemi di luar ekpektasi pasar yang diharapakan akan pulih tetapi malah sebaliknya.

“Trade surplus kita makin lama makin turun kemarin defisit itu yang menunjukkan bahwa beberapa risiko yang akan kita hadapi ke depannya. Ada tanda-tanda deflasi jadi di China berdampak kepada permintaan ekspor dari Indonesia,” terang Teguh. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

PLN Perkuat Kolaborasi dan Pendanaan Global untuk Capai Target 75 GW Pembangkit EBT

Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More

11 hours ago

Banyak Fitur dan Program Khusus, BYOND by BSI Raih Respons Positif Pasar

Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More

16 hours ago

Pekan Kedua November, Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Sentuh Rp7,42 Triliun

Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More

19 hours ago

IHSG Sepekan Turun 1,73 Persen, Kapitalisasi Pasar Bursa jadi Rp12.063

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More

20 hours ago

Top! Baru Setahun, Allianz Syariah Sudah jadi Market Leader

Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More

1 day ago

BPR Syariah BDS Serahkan Cash Waqf Linked Deposit Rp111 Juta ke Warga Yogyakarta

Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More

2 days ago