Sedangkan kesulitan likuiditas sebagaimana dimaksud merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha. Dan bencana alam sebagaimana dimaksud merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor.
“Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dapat diberikan: a. sebesar paling tinggi 75 persen dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau b. sebesar paling tinggi 100 persen dari PBB yang terutang dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa,” bunyi Pasal 4 ayat (1a,b) PMK ini.
PBB yang terutang sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, yaitu: a. jumlah pokok pajak yang tercantum dalam SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang); b. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam SKP (Surat Ketetapan Pajak( PBB; atau c. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam STP (Surat Tagihan Pajak) PBB.
Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditujukan kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP (Kantor Pelayanan Pajak).
Ditegaskan dalam PMK ini, bahwa permohonan pengurangan pajak karena kondisi tertentu harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT, satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB, satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, atau satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keputusan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan. (Bersambung ke halaman berikutnya)