Oleh Tim Infobank
TRANSAKSI antarbank lewat automatic teller machine (ATM) di jaringan bank-bank BUMN kembali berbayar. Ada yang protes, bahkan sampai ke lembaga perlindungan konsumen. Tidak sedikit yang marah-marah. Zaman pandemi COVID-19 kok bank-bank “pelat merah” menaikkan biaya transaksi lihat saldo dan tarik tunai. Para politisi pun bicara. Ada yang bilang, “ambyar”.
Berat. Bank-bank BUMN tidak punya sense of crisis, kata para netizen berserakan di berbagai media sosial (medsos). Sebagian besar media mainstream bahkan menyiarkan dengan tone yang sama, memberatkan nasabah. Intinya, banyak kalangan yang menyayangkan pengenaan biaya “intip saldo” dan tarik tunai di ATM Link (Himbara).
Seperti diumumkan, sejak 1 Juni 2021 mendatang, transaksi antarbank yang tergabung dalam ATM Link dikenai biaya. Atau, pemberlakuan kembali model tarif sebelumnya, pascapenerapan tarif perkenalan atau promosi untuk ATM Himbara Link di 2018.
Nah, tarif yang berubah hanya untuk cek saldo (menjadi Rp2.500) dan tarik tunai (Rp5.000) – yang sebelumnya gratis. Itu pun kalau transaksi dilakukan di ATM Himbara Link dari bank yang berbeda dari bank penerbit kartu (off us). Misalnya, nasabah kartu debit BRI bertransaksi di ATM Himbara Link milik BNI.
Namun, jika transaksi sesama bank, misalnya transaksi di ATM BRI dengan kartu debit BRI, ya tetap gratis. Mau ambil tunai, lihat saldo, atau transfer sesama bank sepanjang dilakukan di ATM BRI tetap gratis. Yang bayar kalau antarbank. Jadi, khusus transaksi antarbank.
Menurut catatan Infobank Institute, tarif baru yang dikenakan sekarang yang diributkan ini masih lebih rendah daripada tarif ATM Himbara Link praperkenalan 2018, dan tetap lebih rendah ketimbang tarif untuk transaksi serupa pada jaringan ATM antarbank lainnya. Intinya, masih lebih murah.
Lihat saja, di jaringan ATM Bersama untuk tarik tunai Rp7.500, transfer Rp6.500, cek saldo Rp4.000. Begitu juga di jaringan ATM Prima. Jalin (Link) untuk kartu non-Himbara juga sama. Sementara, Jalin (Link) untuk kartu Himbara (yang diributkan) masih lebih murah: untuk tarik tunai Rp5.000, transfer Rp4.000, dan cek saldo Rp2.500.
Melihat angka-angka itu, sebenarnya tidak ada yang perlu diributkan. Tarif untuk ATM Himbara Link masih lebih murah. Justru yang tarif promosi itu yang kurang patut – karena menimbulkan persaingan yang sangat tidak sehat. Selain Jalin (Link), ada ATM Bersama dan ATM Prima – yang juga harus diperhatikan keberlangsungan usahanya. Perusahaan switching sebagai bagian dari sistem pembayaran. Zamannya Menteri Rini Soemarno, sepertinya negara ingin menguasai semua lini bisnis. Tidak salah, tapi kurang memberi rangsangan bisnis swasta.
Begitu diminta bayar – yang berbayar tiba-tiba gratis. Nasabah senang, tapi belakangan kembali diminta bayar meski tidak sebesar tarif sebelum 2018. Tentu tidak nyaman. Inilah yang membuat ribut-ribut di publik. Banyak polemik di masyarakat karena mulai berbayar.
Ada yang mengajukan tuntutan. Ada yang ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan, ada pula yang ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Menurut catatan Infobank Institute, sebelum 2018, transaksi antar-ATM bank Himbara itu berbayar. Tidak serta-merta dari gratis lalu berbayar. Tarif normal seperti bank-bank swasta lainnya (non-Himbara). Namun, pada 2018, sewaktu Menteri Negara BUMN dijabat Rini Soemarno, pernah ditegaskan agar transaksi antarbank BUMN digratiskan.
Alasannya, untuk kemudahan pelayanan yang seragam dan lebih efisien. Bahkan, dalam penegasan itu Presiden Joko Widodo pun ikut mendukung. Alasannya, demi efisiensi nasional. Padahal, sebenarnya terjemahan efisiensi itu tidak demikian. Justru malah akan membuat guncangan baru.
Jujur saja, waktu itu, Infobank sudah mempertanyakan; bagaimana bank-bank Himbara dan juga dalam hal ini Jalin membiayai capital expenditure (capex) dan operating expenditure (opex)? Bagaimana dengan bank-bank yang sudah membeli ATM dalam bilangan banyak? Sementara, antarbank Himbara pun tidak seragam, baik ATM maupun menu di kartunya? Pendeknya, service level-nya tidak sama.
Namun, siapa yang berani menolak keputusan dengan alasan efisiensi nasional ini? Seluruh direksi bank BUMN pun wajib ikut program yang tidak fair ini. Direksi bank-bank BUMN tidak berani melawan. Bahkan, kabarnya, direksi BUMN ini tidak diajak bicara kalau gratis. Sudah diputuskan gratis dari Menteri BUMN waktu itu, lalu direksi bank-bank Himbara wajib mengikuti, meski banyak ruginya dari transaksi gratis ini.
Menurut catatan Infobank Institute, untuk biaya transaksi lewat ATM per transaksi di kisaran Rp2.000-Rp2.500 yang harus ditanggung bank. Nah, setiap ATM rata-rata digunakan untuk transaksi dengan kisaran 6.000-7.000 transaksi. Jumlah ATM yang tergabung dalam Link sebanyak 45.000 ATM. Satu ATM harganya berkisar Rp400 juta-Rp600 juta.
Untuk pengadaan infrastruktur ATM saja bisa merogoh kocek sangat dalam, berkisar Rp22,5 triliun-Rp25 triliun. Sementara, biaya transaksi seluruh ATM Link selama setahun berkisar Rp7,56 triliun-Rp8 triliun. Angka yang tidak kecil, yang harus dibebankan ke bank-bank Himbara.
Dihitung sendiri biaya capex dan opex dari bank-bank, dan itu sudah berlangsung sekitar tiga tahun. Sementara, antarbank Himbara juga berbeda jumlah ATM dan nasabahnya. Demikian pula perilaku nasabahnya. Ada yang masih suka ke ATM dan kini memang lebih banyak lewat mobile banking.
Jujur saja, beban ada di bank-bank Himbara jika transaksi lewat ATM digratiskan. Padahal, sebelumnya pun berbayar seperti nasabah-nasabah bank non-Himbara lainnya. Hal inilah yang perlu didukung, karena dengan begitu bank-bank Himbara tidak lagi dibebani. Soalnya bank-bank lain pun tidak. Justru bebas biaya itu persaingan yang tidak sehat.
Pengenaan tarif ATM Link antarbank Himbara masih lebih murah. Tidak perlu dirisaukan. Justru risau kalau gratis, karena akan mengurangi service level dari masing-masing bank yang tidak seragam. Misalnya, bank yang punya ATM lebih banyak harus menanggung beban infrastruktur dan biaya yang lebih banyak.
Belum lagi hal itu juga akan merusak persaingan antarperusahaan penyelenggara (switching) yang tidak adil. Harusnya dulu itu bukan langsung gratis, melainkan bertahap menurun hingga akhirnya berada pada titik impas biaya.
Namun, siapa berani melawan kata-kata efisiensi nasional – yang sebenarnya salah menerjemahkan – yang berakibat pada tidak sustainable (buktinya dikembalikan lagi berbayar). Transaksi gratis itu sebenarnya merupakan paradoks hukum ekonomi, dan untungnya sudah dikoreksi setelah tiga tahun. Efisiensi nasional tidak berhasil justru menimbulkan dampak buruk bagi bank-bank Himbara dan sekaligus tidak memberi ruang untuk bersaing secara sehat.
Hikmah dari kembalinya ATM Himbara berbayar ini adalah agar nasabah melakukan transaksi lewat mobile banking. Pendek kata, penyesuaian tarif dilakukan untuk menjaga komitmen layanan dan aksesibilitas ATM untuk seluruh nasabah bank Himbara. Selain itu, ini bentuk dukungan penggunaan transaksi nontunai yang lebih aman di masa pandemi ini.
Lebih cashless. Akan tetapi, itu juga harus diperhatikan. Transaksi mobile banking lebih murah daripada transaksi ATM. Sekarang justru transaksi mobile banking yang biayanya lebih murah malah dikenai biaya lebih mahal daripada transaksi lewat ATM.
Normal dan wajar jika transaksi ATM Link antarbank Himbara kembali berbayar. Apalagi masih lebih murah ketimbang tarif yang dikenakan bank-bank non-Himbara. Dengan pengenaan tarif, bank-bank Himbara diharapkan bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Karena memang, transaksi lewat ATM bank-bank harus berbayar per transaksinya. ATM-nya saja beli.
ATM bank-bank Himbara jumlahnya terus turun. Entah karena transaksi lewat ATM Link yang gratis itu lantas bank-bank Himbara malas beli ATM lagi – sehingga jumlah ATM bank Himbara terus turun. Tidak ada nilai tambah bagi bank-bank investasi beli ATM. Lah, yang tidak investasi bisa menikmati fasilitas ATM punya bank Himbara lainnya. Padahal, antar-ATM milik bank Himbara juga berbeda menunya.
Jadi, jika nasabah tidak mau membayar, lakukan transaksi lewat ATM bank di mana Anda menjadi nasabah. Itu tetap gratis, misalnya Anda nasabah BRI pakai ATM BRI. Anda nasabah Bank Mandiri ya cari ATM Bank Mandiri. Kalau Anda nasabah BNI ya cari ATM BNI. Demikian juga untuk nasabah BTN.
Namun, kalau yang beli ATM adalah BRI, tapi digunakan nasabah BTN, sementara laporan keuangan berbeda-beda tentu akan menurunkan service level. Transaksi ATM Link yang berbayar ini tidak melanggar prinsip persaingan tidak sehat. Justru yang sebelumnya gratis inilah yang menimbulkan persaingan tidak sehat.
Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Maunya efisiensi tapi bisnis modelnya justru paradoks dengan prinsip ekonomi yang berlaku. Hal ini juga perlu menjadi pelajaran penting bagi BI-Fast – jangan sampai regulator juga sekaligus menjadi pemain. Ambyar lagi kalau begini. (*)