Jakarta – Hal-hal yang berbau teknologi digital selalu menjadi sorotan. Apalagi banyaknya populasi masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh layanan keuangan formal (underserved segment), tetapi memiliki akses internet dan ponsel cerdas.
Fakta ini menjadi potensi dan kesempatan besar bagi institusi keuangan untuk melebarkan sayapnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, beberapa bank kecil dan kelas kakap telah mengajukan izin menggarap bank digital. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa bisnis bank digital sangat menjanjikan kedepan dan akan menjadi primadona.
Pengamat Institute for Development of Economics ( Indef) Bhima Yudhistira bahkan menyebutkan bisnis bank tradisional saat ini sudah mulai terancam. Pasalnya potensi bank digital di Indonesia diperkirakan bisa merebut 20%-30% pangsa pasar bank tradisional dalam kurun waktu 5 tahun kedepan.
Bhima menyebut, segmen yang pertama kali bergeser adalah retail banking dimana sasarannya adalah pinjaman konsumsi, dan modal usaha skala kecil.
“Sekenarionya akan garap dua pasar secara paralel, merebut bisnis bank tradisional sekaligus masuk ke segmen unbakable yang selama ini memang belum disentuh bank tradisional. Apalagi di Indonesia masih terdapat 91,3 juta masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan,” jelas Bhima.
Faktor kuncinya, kata Bhima, adalah keamanan sistem, bunga yang kompetitif, dan efisiensi biaya operasional. Karena bank digital tidak perlu buka banyak kantor cabang, dan menggunakan teknologi big data hingga AI. Pemanfaatan big data dan AI bakal efektif untuk melakukan credit scoring/ analisa kredit, penagihan, hingga layanan customer service.
Melihat potensi bisnis bank berbasis teknologi di masa depan, Bhima menganjurkan sebaiknya OJK mendorong akuisisi dan merger bank bank kecil plus startup agar menjadi bank digital. Karena tujuan kehadiran bank digital untuk mendorong persaingan bank yang lebih sehat, sekaligus mengakselerasi inklusi dan literasi finansial.
Seperti diketahui, fenomena bank digital ramai diperbincangkan belakangan ini. Khususnya di pasar modal. Bagaimana tidak, pergerakan saham emiten bank yang digadang-gadang jadi bank digital sempat melesat, dan bahkan masih ada yang konsisten bergerak di harga yang fantastis dan bukan tidak mungkin masih akan terus bergerak naik.
Sebut saja saham berkode emiten ARTO atau bank Jago. Saham bank yang dulunya bernama Bank Artos ini sempat mencapai harga tertinggi Rp11.375 tahun ini dan secara year to date (YTD) sudah naik sebesar 158,52%. Dalam 3 tahun bahkan sudah naik 1.461,55%. Padahal, ARTO mencatatkan saham perdana di BEI pada 12 Januari 2016 dengan harga IPO Rp132 per saham. Tidak berlebihan jika Hasan Zein Mahmud, direktur bursa efek Jakarta periode 1991 – 1996, menyebut “Arto boleh jadi ditakdirkan menjadi distributor harta karun zaman modern,”.
Lalu, apakah harga saham ARTO ini wajar? Secara hitung hitungan rasio nilai harga terhadap nilai buku alias PBV (price to book value) tentu sangat tidak wajar, karena sudah mencapai angka 88,32x alias sangat mahal sekali.
Seperti diketahui, Nilai PBV ini digunakan untuk menilai apakah harga dari saham yang ditawarkan perusahaan adalah harga saham yang mahal atau murah. Apabila nilai PBV berada di atas nilai 1, maka sudah dipastikan harga saham mahal, begitupun sebaliknya.
Namun hal tersebut nampaknya tidak berlaku buat Bank digital seperti ARTO. Sampai dengan penutupan perdagangan hari Jumat, harga saham ARTO masih saja naik, ke Rp10.025 atau naik Rp125 (1,26%).
Apa yang membuat saham ARTO masih saja bergerak konsisten dikisaran Rp9000-Rp10.000an dan bahkan cenderung menguat belakangan ini diatas 10.000?
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengungkapkan, kenaikan saham ARTO atau bank Jago karena ekspetasi pasar kedepan. Investor, katanya punya keyakinan kinerja ARTO akan cerah di masa yang akan datang, karena didukung Gojek.
Artinya hitung-hitungan harga dari saham yang ditawarkan perusahaan adalah harga saham yang mahal atau murah sudah tidak berlaku bagi investor. “Jadi kita kesampingkan hitung-hitungan valuasi PER, PBV apapun itu. Karena kita bicara potensi kedepan,” kata Maximilianus.
Ia menjabarkan, yang membedakan ARTO dengan bank yang digadang-gadang bakal jadi bank digital lainnya, ARTO saat ini sudah dimiliki Gojek yang punya ekosistem luar biasa besar.
Bayangkan saat ini ujarnya ada sebanyak 40 juta user aktif di Gojek. Potensi user aktif itu sangat besar menjadi nasabah bank JAGO. Sehingga tidak heran saham ARTO terus melonjak.
Belum lagi ditambah kabar merger dengan Tokopedia. Hal tersebut menjadi landasan kuat buat investor terus berburu saham ARTO.
“Kita tahu Tokopedia punya 70-80 juta user aktif setiap hari. Bayangkan jika keduanya bergabung, kita berbicara bank yang notabene melakukan funding dan lending. Katakanlah ada 100 juta user keduanya yang masuk menjadi nasabah bank Jago, akan sangat luarbiasa besar pengaruhnya. Inilah yang membedakan bank Jago dengan bank-bank lain,” jelasnya.
Sekedar informasi, hari ini saham ARTO sempat tembus Rp11.000 atau hampir menguat sebesr 10%. Bukan tidak mungkin saham ini bisa kembali menyentuh level tertingginya hari ini. (*)