Oleh: Tim Biro Riset Infobank
“DI lautan bisnis perbankan yang luas, aku pasrahkan segala nasib para bankir kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sang penjaga keadilan. Hanya kepada OJK, aku pasrahkan”. Itulah sepenggal doa yang pernah diucapkan oleh seorang bankir dalam sebuah seminar tentang maraknya penjabat (pj) gubernur melakukan abuse of power. Jangan ditanya soal pilkada. Dan, ini bukan soal pilkada, melainkan soal “bongkar pasang” direksi dan komisaris di bank pembangunan daerah (BPD). Bank-bank daerah kembali “diobok-obok” di saat injury time.
Bahkan, di saat injury time masa jabatannya pun masih ada pj gubernur yang meminta BPD untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Padahal, gubernur terpilih sudah diketahui. Para pj gubernur ini di saat-saat injury time sikapnya seperti Ahmed Al-Kaf, wasit asal Oman yang memimpin pertandingan Indonesia versus Bahrain di kualifikasi Piala Dunia 2026 untuk zona Asia, dengan menambahkan waktu dari yang sudah ditetapkan. Curang benar.
Sebelumnya beberapa BPD, seperti Bank Aceh, di awal 2024, sudah “diintervensi” dengan melakukan perombakan direksi oleh pj gubernur. Nah, kali ini lewat keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Bank BJB yang sudah go public diminta untuk melakukan RUPSLB, dan RUPSLB akan dilakukan pada 24 Januari 2025. Padahal, pada September 2024 lalu, Bank BJB sudah melakukan RUPSLB dengan mengangkat Taswin Zakaria, mantan Direktur Utama (Dirut) Maybank Indonesia, sebagai komisaris utama (komut) independen.
Sementara, pj gubernur Jawa Barat (Jabar), Bey Machmudin, akan habis masa jabatannya di 5 Februari 2025. Jadi, bisa diartikan, pj yang tidak mendapatkan mandat dari rakyat Jabar ini justru malah mengambil langkah untuk mengganti beberapa direksi Bank BJB. Gubernur terpilih pun tampak dipaksa untuk menerima paket direksi dan bisa jadi komisaris dari pj gubernur yang melakukan “manuver” dengan mengganti beberapa direksi ini.
Sebelumnya, dalam RUPS Tahunan (RUPST) 2024, juga terjadi pergantian komut yang waktu itu dijabat Farid Rachman diganti oleh Ventje Rahardjo yang kemudian Ventje Rahardjo mengundurkan diri. Pengunduran diri Ventje pun mengundang tanda tanya, karena harusnya sudah clear lebih dulu urusan tata kelola ini ketika diminta menjadi komut. Dan, akhirnya mengangkat Taswin Zakaria – yang kapasitasnya menjadi komut dengan menulis surat ke direksi untuk melakukan RUPSLB di 24 Januari 2025 mendatang.
Jika membaca keterbukaan informasi dari laman BEI, antara waktu RUPSLB ketika Taswin Zakaria diangkat menjadi komut, lalu RUPSLB tanggal 24 Januari 2025 dan RUPST 2025, sebulan, atau dua bulan berikutnya antara Februari 2025 atau Maret 2025. Jika melihat rentetan waktu tampak “tergesa-gesa”. Seperti ada “agenda” tersembunyi – meski tampak jelas agendanya, ada perubahan pengurus.
Tidak ada angin dan tidak ada hujan. Padahal, menurut data Biro Riset Infobank (birI), kinerja Bank BJB tidak ada masalah. Sejak 2019, Bank BJB terus mengalami pertumbuhan. Pada September 2024, aset Bank BJB mencapai Rp201 triliun. Lima tahun lalu (2019) asetnya masih di angka Rp123,5 triliun. Pertumbuhan yang fantastis, mengingat di rentang 2020-2022 ada COVID-19.
Bandingkan dengan bank-bank di kelasnya (per September 2024), seperti Maybank Indonesia yang asetnya Rp189,32 triliun, Bank UOB Indonesia dengan aset Rp168,26 triliun, dan DBS Indonesia dengan aset Rp133,2 triliun. Tidak kalah dari bank-bank milik asing. Hebatnya lagi, Bank BJB merupakan bank terbesar di jajaran bank-bank milik pemda. Bank BJB masuk dalam jajaran elite perbankan nasional yang mampu menyalip bank-bank milik asing. Terus tumbuh.
Kini boleh jadi Bank BJB menjadi andalan OJK dalam menyelamatkan kebijakan tentang Kelompok Usaha Bank (KUB) bagi BPD yang cekak modal. Tercatat ada tiga BPD yang masuk dalam KUB dengan Bank BJB. Bank-bank itu adalah Bank Maluku Malut, Bank Bengkulu, dan Bank Jambi. Boleh jadi, Bank BJB menjadi role model bagi BPD lainnya.
Menurut catatan Biro Riset Infobank, problem terbesar BPD adalah shareholder. Banyak shareholder tidak memahami bisnis bank yang harus dikelola dengan sangat prudent dan penuh dengan regulasi. Banyak kasus, BPD terjerumus karena masalah-masalah shareholder ini. Pergantian direksi dan komisaris memang hak pemegang saham. Namun, mengapa selalu menimbulkan banyak pertanyaan. Sebab, pergantian direksi dan komisaris tidak berdasar pada key performance indicator (KPI)?
Nah, karena itu, OJK membuat benteng pengaman berupa POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Umum. Menurut Infobank Institute ini sangat penting, dan OJK harus punya nyali untuk menerapkannya.
“OJK harus fair dalam menilai. Jangan tunduk begitu saja dengan pj gubernur, meski terkadang OJK daerah tampak kalah wibawa dengan pj kepala daerah. Padahal, OJK itu independen, dijamin UU, dan berhak menolak dan menganulir usulan yang tak masuk akal. Saya percaya, OJK punya nyali dan keberanian,” kata seorang mantan direksi bank peserta diskusi terbatas Infobank.
Jujur. POJK Nomor 17 Tahun 2023 itu salah satunya dimaksudkan untuk menjadi pengaman, dan menjaga tata kelola. Simak saja! Pemberhentian direktur utama, direktur kepatuhan, dan komisaris independen sebelum masa jabatan berakhir wajib mendapatkan persetujuan OJK. Bahkan, OJK berwenang melakukan tindakan korektif, dan evaluasi melalui perintah tertulis. Juga berhak melakukan penilaian kelayakan terhadap rencana pemberhentian atau penggantian.
POJK Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan menjadi benteng terakhir terhadap kesewenang-wenangan pemegang saham, terutama pj gubernur sebagai pemegang saham pengendali (PSP) BPD. Karena, OJK yakin bahwa problem di BPD adalah soal shareholder yang sering kali tidak memperhatikan kelangsungan kinerja bank. Pendek kata, kalau PSP mau ganti ya ganti saja sembarang waktu, tanpa memperdulikan kelangsungan bank.
Kembali pada masalah ganti kepala daerah, ganti direksi BPD. Jangan sampai pj gubernur yang hanya berkuasa dalam hitungan bulan ini ke depan melakukan “praktik-praktik” yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), dengan main ganti para direksi yang dianggap tidak sesuai dengan “pembisiknya”.
Nah, di BPD itu “pembisik” banyak. Bisa jadi dalam satu tim direksi dan lebih banyak dari karyawan di bawahnya menjadi pembisik – apalagi yang merasa dekat dengan pj gubernur. Bahkan, lebih ngeri lagi, pembisiknya “debitur” yang dekat dengan kepala daerah. Atau, sang pembisik ini mengincar kursi direksi.
Kasus Bank BJB yang akan melakukan RUPSLB di saat injury time menimbulkan banyak spekulasi. Pertanyaan berikutnya, kenapa tidak dilakukan saja penggantian pengurus di RUPST jika itu akan terjadi pergantian pengurus, karena pj gubernur akan berakhir masa jabatannya pada 7 Februari 2025 dengan dilantiknya gubernur terpilih? Pertanyaan ini relevan, karena gubernur terpilih juga akan melakukan evaluasi lagi. Harusnya pj gubernur yang tidak mendapatkan mandat dari rakyat sadar diri dan tidak melakukan langkah di saat injury time. Sebab, langkah penting yang dilakukan pj gubernur saat mendekati akhir masa jabatannya akan menjadi abuse of power bagi pemerintahan mendatang di bawah gubernur terpilih.
Sejauh ini, untuk kasus Bank BJB yang akan melakukan RUPSLB sejatinya tidak ada masalah yang krusial, atau serius. Bahkan, dari sisi kinerja, menurut data-data Biro Riset Infobank, senantiasa menunjukkan perkembangan yang positif. Mampu menembus jajaran elite perbankan nasional, bahkan mampu menyalip UOB, Maybank, dan DBS. Apalagi, masa tugas direksi juga belum habis.
Pertanyaan investor kepada Infobank ketika membaca pengumuman bahwa akan dilakukan RUPSLB untuk Bank BJB, kenapa harus ada RUPSLB kalau dalam satu atau dua bulan kemudian ada RUPST? Adakah motif tertentu di balik kesuksesan Bank BJB yang melaksanakan KUB dari OJK?
Semua bankir berharap. Hanya OJK yang independen yang bisa melakukan evaluasi hasil RUPSLB yang tergesa-gesa ini. Hanya kepada OJK-lah para bankir ini bersandar dari kesewenang-wenangan. Dan, kepada gubernur terpilih – yang dipilih rakyat – setidaknya aspirasi mereka perlu didengar. Wajar investor curiga. Mengapa masih saja terjadi politisasi dan kesewenang-wenangan shareholder – yang selama ini menjadi problem berat di BPD. Harusnya BPD itu mementingkan stakeholder, bukan shareholder yang masa tugasnya memasuki injury time.
Jangan ada dusta di antara kita. Jangan pula banyak cawe-cawe di bank jika ingin melihat bank terus kinclong kinerjanya. Dan, untuk OJK, tetaplah independen dan gagah berani dengan menjalankan apa yang ada di POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang tata kelola yang pasal-pasalnya melegakan direksi BPD. Semoga tidak jadi angin surga saja. Indah sebagai pasal-pasal, tapi secara politik secara perlahan mengikuti jalan para kepala daerah dengan kepentingan politiknya.
Akhirnya, wahai OJK, stop abuse of power oleh pj gubernur di saat injury time dengan “bongkar pasang” direksi BPD, khususnya Bank BJB – bank terbesar di antara BPD se-Indonesia ini. Jangan biarkan masuk dalam “kubangan” kepentingan yang akan mengorbankan duit masyarakat. Hal ini tidak berlaku pada Bank BJB semata, tapi juga bagi seluruh BPD se-Indonesia. (*)