Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
BANK-BANK masih belum bisa “kencing” kredit. Padahal, suku bunga kredit sudah turun, tapi net interest margin (NIM) bank justru naik. Lebih mengherankan lagi, dana masyarakat di bank juga kempis. Apakah karena hidup makin susah sehingga masyarakat sudah “Mantab” -(makan tabungan)?
Atau, pengusaha tidak ambil kredit bank, tapi lebih senang mencairkan dananya untuk bisnis? Atau, uangnya terbang mencari tempat yang basah – karena suku bunga di dalam negeri mulai tidak menggiurkan lagi?
Banyak pertanyaan. Dan, yang masih bisa membuat tenang ialah kondisi bank tampak “gagah” dan “cakep”. Hampir seluruh indikator keuangan bank hijau. Lihat saja posisi permodalan yang rasionya mencapai 24%. Likuiditas melimpah dengan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 81,54%. Sedangkan non performing loan (NPL) meningkat sedikit menjadi 3,21% dari sebelumnya 3,06% (Desember 2020).
Indikator keuangan bank yang tampak baik itu karena “doping” dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan program relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Jadi, meski tampak “gagah” dan “cakep”, harus diyakini bisa saja berbalik arah menjadi buruk muka. Karena itu, perlu memperlakukan kredit yang direstrukturisasi dengan pendekatan berbeda agar tidak menjadi malapetaka.
Problem utama bank sekarang ini ialah bank sedang sakit “prostat” – susah kencing padahal banyak minum. Sejak Juni 2021 kredit turun terus, hingga Februari 2021 ini. Guyuran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak 2020 hingga 2021 ini tak tanggung-tanggung.
Hasilnya, memang ekonomi Indonesia tak remuk seperti negara tetangga. Namun, defisit APBN yang di atas 6% baru sebatas mendorong konsumsi pemerintah dengan dosis ringan. Hanya menahan ekonomi tidak jatuh lebih dalam. Pendek kata, jika tidak ada guyuran dana PEN, pertumbuhan ekonomi tentu tak minus 2,19%, tapi bisa di atas 3%.
Momentum “Kencing” Kredit?
Data Infobank Institute yang diambil dari Bank Indonesia (BI) dan OJK menunjukkan, selama setahun ini (Februari 2020-Februari 2021), kredit terkontraksi 2,15%. Namun, jika menghitung dari akhir tahun hingga Februari 2021 (year to date/ytd), kredit hanya minus 1,14%. Sayangnya, jika memperhatikan angka-angka pertumbuhan kredit, maka sejak Juni 2021, kredit tumbuh negatif hingga Februari 2021 ini.
Pengucuran kredit tergantung penawaran dan permintaan kredit. Sisi permintaanlah yang selama ini “mandek” akibat pandemi COVID-19. Bisnis porak-poranda karena bencana pandemi yang memicu diterapkannya kebijakan pembatasan sosial. Banyak sektor bisnis/ekonomi yang rusak. Namun, ada optimisme, meski masih lebih rendah daripada tahun lalu, beberapa sektor, seperti pertanian, konstruksi, dan jasa sosial masyarakat, mengalami pertumbuhan.
Sektor korporasi masih terus konsolidasi, meski masih punya free cash untuk bertahan, jika sewaktu-waktu ada kesempatan tumbuh juga akan terus bergerak naik. Menurut Juda Agung, Kepala Departemen Makroprudensial BI, kinerja sektor korporasi terus membaik, walau masih terbatas. Kinerja korporasi eskportir terus mambaik. Menurutnya, itu memberi optimisme ke depan, apalagi pertumbuhan ekonomi global juga menuju ke arah recovery.
Sementara itu, dari sisi penawaran juga mulai membaik, dengan adanya penurunan suku bunga, yang tecermin dari SBDK. Hanya memang yang paling berat ialah lending standar dari perbankan yang masih tinggi. Adanya tekanan terhadap perkreditan membuat bank-bank tidak melonggarkan syarat kredit.
Hal ini yang sering disebut persepsi terhadap risiko masih relatif besar sehingga debitur-debitur KW2, yang banyak membutuhkan dana, sulit mendapat kucuran kredit. Di lain sisi, pencairan kredit yang sudah menjadi komitmen juga tidak dilakukan oleh debitur-debitur kelas utama. Rasio kredit baru terhadap plafon kredit baru tercatat hanya sekitar 60%. Ini artinya debitur juga masih tidak yakin, meski dikasih plafon kredit, tapi tetap tidak 100% menggunakan kreditnya.
Kendati demikian, Juda Agung optimistis bahwa saat inilah momentum untuk mengucurkan kredit, apalagi pertumbuhan ekonomi dunia juga sudah membaik, dan ekonomi dalam negeri bisa recovery dengan cepat sejalan dengan adanya program vaksinasi. Jangan sampai kehilangan momentum, demikian nasihat Juda Agung dalam kesempatan “Regulator Sharing” yang diselenggarakan Infobank Institute, pekan lalu. ”Kredit bisa tumbuh pada kisaran 5%-7%,” kata Juda Agung optimistis.
BI pun membuat banyak “doping”, salah satunya pembebasan DP nol persen atau loan to value (LTV) untuk rumah dan kendaraan bermotor agar bank-bank mengucurkan kredit, yang punya daya dorong ke perekonomian. Langkah ini dinilai baik. Hal yang sama juga dilakukan OJK.
Menurut Anung Herlianto, Direktur Eksekutif, Kepala Departemen dan Penelitian Perbankan OJK, perbankan bisa menghadapi tantangan perkreditan ini. Ada tiga skenario yang dikemukan Anung. Satu, skenario konservatif dengan pertumbuhan kredit 4%-4,5%. Skenario ini dengan asumsi vaksinasi berjalan lambat, pandemi COVID-19 berlanjut dan terjadi gelombang penurunan kredit restrukturisasi.
Dua, moderat dengan melihat Rencana Bisnis Bank (RBB) sebesar 7,13% dan prediksi OJK sendiri 7,5% plus minus satu persen. Asumsinya vaksinasi berjalan efektif dan roda ekonomi mulai bergerak ke tahap normal pada semester II 2021. ”Permintaan sektor riil terhadap kredit mulai tumbuh, maka kredit diperkirakan tumbuh pada kisaran 7%,” kata Anung.
Tiga, skenario optimistis. Pemulihan ekonomi lebih cepat mulai triwulan I 2021, diikuti dengan permintaan sektor riil dan kebijakan likuiditas tidak berubah, maka kredit akan bergerak tumbuh pada kisaran 9%-9,8%.
Sementara, bank sendiri masih memperhatikan faktor risiko. Meski angka loan at risk (LAR) relatif tinggi, tapi perbankan punya daya tahan dan cadangan yang cukup. Perkiraan perbankan, angka LAR yang akan jatuh menjadi NPL hanya sekitar 7%-12%. Jadi, dengan capital adequacy ratio (CAR) yang besarnya 23%-24%, cukuplah menahan guncangan kredit restru yang akan jatuh menjadi NPL.
Ke Mana DPK Menguap?
Bank-bank dalam kondisi dilematis. Satu sisi harus mengucurkan kredit, tapi sisi lainnya harus menjaga kualitas kredit agar tidak menjadi beban baru – tambahan NPL. Pada akhirnya bank-bank main aman dan lebih nyenyak main di Surat Berharga Negara (SBN) yang yield-nya tebal dan aman. Harga dana terus turun, tapi yield SBN tidak linear juga turunnya.
Di lain sisi – tak pernah terjadi sebelumnya, pada Februari 2021, posisi dana pihak ketiga (DPK) bank kempis. Akhir tahun (Desember 2020), DPK bisa tumbuh 11,11%, tapi begitu masuk Januari 2021, DPK melorot. Lalu, Februari 2021 melorot lagi sebesar 0,29% (ytd).
Ada beberapa dugaan kenapa DPK ini “menguap”. Satu, karena suku bunga terus turun, maka perusahaan atau individu memindahkan uangnya ke luar negeri karena treasury bill juga mulai menaikkan suku bunganya. Pindah ke lain hati. Bisa juga pindah ke saham dan instrumen keuangan lainnya, seperti SBN.
Dua, masyarakat mulai menggunakan uangnya untuk kebutuhan hidup. Hal ini bagus karena dapat menggerakkan ekonomi, kendati sisi lain mulai habis simpanannya. Ada yang lebih bagus jika nafsu berbelanja ini membaik sehingga ekonomi akan bergerak. Namun, bukan tak mungkin masyarakat juga sudah makan tabungan atawa “Mantab”.
Tiga, pengusaha dengan simpanan di atas Rp2 miliar mulai menggunakan simpanannya untuk memulai usaha dan kembali berbisnis sejalan dengan optimisme berjalannya program vaksinasi.
Dan, tampaknya bank-bank pun rela memperkecil suku bunga simpanan agar tetap mempertahankan NIM, meski dengan risiko DPK-nya menyusut. Apalagi, bank-bank juga masih selektif mengucurkan kredit akibat terus dibayangi hantu risiko yang masih tinggi.
Harusnya bank-bank sekarang ini sudah pasang “kuda-kuda” memberikan kredit, paling tidak memulai dari kredit properti dan kredit ke sektor yang mulai tumbuh. Saat inilah momentum baik dalam membuka keran kredit, karena faktor global juga mulai membaik. (*)