Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
KONTROVERSI vaksin Gotong Royong untuk individu merebak minggu ini. Ada yang bilang, BUMN lewat Kimia Farma melakukan komersialisasi vaksin. Tidak sedikit yang mengatakan itu tidak etis di tengah pandemi COVID-19. Padahal, menurut Erick Thohir, Menteri Negara BUMN, tidaklah demikian. Prinsipnya, pemerintah membuka opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin Gotong Royong ini, baik melalui perusahaan maupun individu.
Program Vaksinasi Gotong Royong – jauh sebelum kontroversi vaksinasi individu berbayar – sejatinya sudah dilakukan. Sudah jalan. Tidak ada kontroversi dan sepi perdebatan dalam pelaksanaannya. Lewat Kamar Dagang dan Industri (KADIN) sudah dilakukan. Perusahaan-perusahaan besar mendaftar ke KADIN untuk mendapatkan jatah vaksin.
Harganya juga sudah dipatok. Tidak boleh melebihi harga batas atas. Dan, vaksinnya pun berbeda dari vaksin program pemerintah. Juga, tempat vaksin, yang tidak boleh pakai tempat vaksin yang ditujukan untuk vaksin program. Syaratnya ketat. Pemerintah benar-benar menjaga komitmen itu, dan memang demikian.
Bahkan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 10 Tahun 2021 juga diatur hal-hal yang menyangkut fasilitas tempat vaksin. Prinsipnya, vaksin Gotong Royong tidak menghilangkan hak masyarakat untuk mendapatkan vaksin program. Jumlah vaksin pun dibatasi, tak sampai 2,5 dosis (tahap awal), dan faktanya setelah tiga bulan berjalan baru terealisasi 1,5 juta dosis.
Mengapa? Perusahaan bukan tidak berminat, karena dalam masa tunggu datangnya vaksin Gotong Royong ternyata karyawan sudah mendapatkan jatah vaksin program. Jadi, karyawan yang sudah didaftarkan perusahaan ternyata sudah mendapat vaksin program di lingkungannya. Jangan dibalik, perusahaan tidak berminat sehingga kuotanya tidak habis.
Vaksin Gotong Royong ini sebenarnya adalah kontribusi dunia usaha dalam ikut menangani pandemi COVID-19. Program vaksinasi ini dipercaya dapat memulihkan ekonomi yang tentu juga akan kembali ke dunia usaha. Namun, Vaksinasi Gotong Royong ini perlu diperluas ke individu yang tidak terakomodasi dalam daftar tunggu KADIN. Perorangan pun diberi kesempatan, seperti asing, pengusaha swasta, dan perorangan – yang belum termasuk dalam program Vaksinasi Gotong Royong ini.
Bisa jadi, Permenkes No. 19 Tahun 2021 – perubahan atas Permenkes No. 10 Tahun 2021 – merupakan langkah untuk mempercepat program vaksinasi terhadap seluruh masyarakat. Ada vaksinasi program yang terus berjalan, ada Vaksinasi Gotong Royong lewat KADIN, dan ada Vaksinasi Gotong Royong Individu yang sering disebut publik “berbayar”.
Nah, ketika vaksin lewat KADIN tidak banyak orang ribut, tapi ketika itu diperluas menjadi individu disebut mengkhianati hati nurani rakyat yang sedang membutuhkan vaksin. Padahal, ini hanya perluasan. Toh sama-sama bayar. Tidak ribut, tidak mengkritik, atau lebih tepatnya “mencaci” BUMN.
Kontroversi seputar Vaksinasi Gotong Royong ini muncul dengan berbagai argumen. Diperdebatkan. Mencari pembenaran dengan ukuran masing-masing. Talkshow tak ada habis-habisnya, membahas seolah-olah negara “dagang” vaksin kepada masyarakatnya. Medsos berseliweran tentang vaksin Gotong Royong yang berbayar ini. Padahal, sebenarnya vaksin Gotong Royong (KADIN) sudah disepakati – termasuk oleh kalangan DPR.
Sementara, di layar TV yang sama, masyarakat disodori pemandangan antrean ambulans membawa jenazah untuk dikuburkan, pasien yang kekurangan oksigen, dan sulitnya mendapatkan perawatan rumah sakit, terutama ICU. Juga, tentang lenyapnya obat-obatan. Kalau toh ada, harganya selangit. Ketakutan demi ketakutan menjadi teror bagi masyarakat yang sedang berada di rumah mengikuti PPKM Darurat.
Itu tidak salah. Namun, sisi yang lebih optimistis setidaknya juga harus ditampilkan, seperti mengabarkan pasien-pasien yang sembuh. Juga, keterlibatan masyarakat untuk saling membantu warga yang isolasi mandiri (isoman). Saling menguatkan. Bukan justru saling menghujat – seperti masih ada sisa-sisa persaingan Pemilu 2019 lalu. Mari membangun optimisme di antara kita. Lupakan sejenak perbedaan politik.
Kabar tentang bantuan pengusaha Indonesia di Singapura atas inisiatif Kedutaan Besar Singapura berupa tabung oksigen patut dihargai. Para pengusaha Indonesia, seperti Gajah Tunggal Group – Yayasan UID dan 15 perusahaan Indonesia dan Singapura. Ini yang harus didorong. Keterlibatan dunia usaha ikut berperan serta dalam mengatasi pandemi COVID-19. Sebelumnya, sejumlah BUMN, seperti Pertamina, PGAS, dan Krakatau Steel, juga sudah membantu penyediaan oksigen.
Di lain sisi, ada sebagian masyarakat yang seolah mendapat “peluru” baru ketika mendapat berita jumlah pasien COVID-19 terus mendaki. Kritik memang diperlukan, tapi jika kritik hanya didasari atas kebencian tentu itu bukanlah kritik yang membangun, melainkan saling menghancurkan. Justru, harusnya kita bahu-membahu menghadapi pandemi COVID-19 ini. Dan, tujuannya – mempercepat program vaksinasi dan mencapai herd immunity.
Menurut data terakhir, kasus orang yang terpapar atau positif COVID-19 di Indonesia sudah menembus 2.726.803 dan kasus sembuh 2.176.412 (kasus aktif 480.199), atau tingkat kesembuhan 79,8%. Sedangkan kasus meninggal dunia 70.912 dengan tingkat kematian 2,65%. Sepekan terakhir, kasus positif COVID-19 meningkat.
Grup-grup WhatsApp (WA) selalu saja ada kabar duka tentang kematian teman, sahabat, saudara, juga kolega. Hampir tiap hari ada saja berita duka karena COVID-19. Tidakkah ini membuka mata hati kita untuk saling menguatkan. Solidaritas masyarakat yang harus dibangun, sebagai bangsa yang toleran sekaligus tolong-menolong. Jangan sampai penuh kecurigaan yang tak mendasar. Ini krisis kesehatan yang dapat memicu ketidakstabilan ekonomi.
Rencana pulangnya warga Jepang untuk mendapatkan vaksin di negaranya adalah cerminan sulitnya mendapatan vaksin bagi warga negara asing. Rencana pulangnya warga Jepang dan warga negara lain merupakan reklame buruk bagi Negara Indonesia. Dan, Vaksinasi Gotong Royong individu ini adalah bentuk multichannel yang sebenarnya dibangun – termasuk untuk warga negara asing dan individu.
Kembali ke vaksin Gotong Royong individu, karena tidak menggunakan uang APBN, jadi bukanlah berdagang vaksin. Tapi, itu untuk mempercepat program vaksinasi. Ada program vaksinasi pemerintah yang gratis. Tapi, juga ada kontribusi BUMN, dunia usaha, dan individu – jangan ketika dunia usaha membantu, mengapa kita ribut. Vaksinasi Gotong Royong bukan komersialisasi BUMN yang tahun lalu sudah punya kontribusi terhadap pemasukan negara baik lewat pajak maupun dividen sebesar Rp3.200 triliun.
Memang pemerintah ada kekurangan, seperti terlihat tidak yakin dalam mengambil keputusan, tapi tampak jelas ada niat baik pemerintah ingin menekan laju pandemi COVID-19. Banyak vaksin didatangkan dengan segala merek. Tidak terkecuali, dan tentu ini juga bukan perkara mudah. Pemerintah, dalam hal ini BUMN, punya usaha untuk mempercepat program vaksinasi dengan berbagai channel – dengan tujuan – agar vaksinasi bisa dilakukan dengan cepat. Ini patut dihargai.
Juga, harus diakui, prinsipnya pemerintah membuka opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin Gotong Royong, baik melalui perusahaan maupun melalui individu. Hal ini dilakukan karena problem utama mempercepat vaksinasi dengan banyak cara, dan vaksin Gotong Royong merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam mencegah virus COVID-19.
Itu artinya vaksin Gotong Royong individu ini tak lain untuk mempercepat vaksinasi di masyarakat. Faktanya, banyak masyarakat yang mau disuntik vaksin Gotong Royong individu. Bisa dipastikan hal ini tidak mengurangi jatah vaksin program yang gratis. Vaksin gratis terus berjalan tanpa satu vaksin pun berkurang.
Jadi, lanjutkan dan jangan ragu sepanjang untuk mempercepat vaksinasi kepada masyarakat. Jangan ragu, Bro! Lanjutkan saja. (*)