Jakarta — Penerbitan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) bisa menjadi ‘senjata’ ampuh dalam memberantas pinjaman online (pinjol) illegal yang kian marak karena belum adanya sanksi pidana yang memberikan efek jera.
Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edi Setijawan mengatakan, dengan diterbitkannya UU PPSK memberikan peluang bagi otoritas untuk lebih leluasa dalam mengawasi para pelaku fintech lending di Tanah Air.
“Termasuk memberikan dasar hukum bagi penyelenggara fintech lending ilegal agar dapat dipidanakan. Meski demikian, regulasi ini baru bisa dipraktikan 3 tahun setelah UU PPSK resmi diterbitkan,” katanya pada sebuah webinar tingkat nasional online, Kamis (21/9).
Baca juga: Makin Marak, Menkominfo Bakal ‘Bersih-Bersih’ Pinjol Ilegal dari Ruang Digital
Oleh sebab itu, masyarakat diminta untuk bersabar perihal pengambilan tindakan untuk mempidanakan oknum pinjol ilegal yang saat ini tengah menjamur di masyarakat.
Hal ini dikarenakan amanat UU PPSK, tepatnya yang ada pada pasal 298 ayat (1) dan (8), baru dapat dilaksanakan di tahun 2026 mendatang.
Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Januari hingga Juni 2023 telah menerima pengaduan spesifik terkait jasa keuangan tanpa izin mencapai 4.354, terdiri dari 4.182 menyangkut pinjol ilegal, dan 172 masalah investasi ilegal.
Adapun, bentuk pengaduan pinjol, selain prilaku petugas penagihan dan penipuan, adalah permasalahan bunga atau denda, kegagalan atau keterlambatan transaksi dan penyalahgunaan data pribadi.
Di satu sisi, OJK pun berusaha sebisa mungkin untuk tetap mengacu pada instrumen Task Force dalam menjalankan tugasnya mengawasi para penyelenggara P2PL, seperti menyempurnakan juknis kewenangan pidana, penguatan sumber daya manusia (SDM), IT, dan pelaporan, serta menyempurnakan mekanisme koordinasi baik di pusat maupun di daerah.
Edi menyebutkan, salah satu poin rancangan pada roadmap yang akan mengarahkan industri fintech lending di masa depan sebagai penguatan pengaturan pasca UU PPSK, yaitu dengan mengembangkan pemeringkat platform P2PL yang di kemudian hari.
“Pemeringkatan itu sendiri bisa saja menjadi produk mandiri atau bisa jadi produk pendamping atau extention. Pemeringkatan platform ini diharap dapat memberikan pilihan yang lebih banyak untuk calon peminjam (borrower) dan kemudahan untuk calon penyedia dana (lender),” jelasnya.
Pada pemaparannya, salah satu tantangan yang dihadapi adalah rendahnya literasi digital dan keuangan masyarakat. Oleh sebab itu, pihaknya menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman mengenai risk and opportunity industri P2PL melalui edukasi literasi dan inklusi keuangan bagi masyarakat agar pelaksanaan regulasi bisa berjalan maksimal karena semua pihak turut berkontribusi.
Senada, Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya tidak bosan mengingatkan untuk melakukan kegiatan P2PL sesuai dengan kebutuhan dan untuk menggunakan pinjaman demi menyokong aktivitas ekonomi yang sifatnya lebih ke arah produktif dibanding konsumtif.
Baca juga: OJK Desak Pinjol AdaKami Investigasi Kasus Nasabah Bunuh Diri
Direktur Utama Gradana Angela Oetama menambahkan, literasi dan inklusi keuangan adalah tantangan yang harus dihadapi bersama, akan tetapi harus juga bisa melihat peluang untuk kolaborasi dan pendanaan gotong royong.
“Kami berharap ke depannya bisa terus bermitra baik dengan pemerintah, pemangku kepentingan, dan pembuat regulasi lain,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama