Poin Penting
- UU Cipta Kerja dianggap menurunkan kesejahteraan pekerja di industri tekstil, garmen, dan alas kaki karena melemahkan perlindungan tenaga kerja dan mendorong sistem kontrak jangka pendek.
- Tren pekerja tanpa kontrak dan jaminan sosial meningkat signifikan sejak 2020, termasuk jaminan hari tua, pensiun, kecelakaan kerja, dan kematian.
- Kebebasan berserikat dan hak mogok kerja melemah, menunjukkan adanya masalah sistemik dalam hubungan industrial yang dinilai perlu direvisi melalui regulasi ketenagakerjaan baru.
Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis hasil studi terbaru mengenai kelayakan kerja pada industri tekstil, garmen, dan alas kaki di Indonesia. Studi kelayakan kerja ini menyasar kenyamanan dan kelayakan kerja yang diterima para pekerja di industri tekstil, garmen, dan alas kaki.
Dari hasil studi terhadap para pekerja industri tekstil, garmen, dan alas kaki pada 488 lokasi di seluruh Indonesia itu ditemukan tiga jenis masalah utama yang dihadapi para pekerja. Pertama, rentan karena status kontrak dan usia muda.
Di mana, pekerja muda yang meskipun energik dan produktif, dibatasi oleh sistem kerja jangka pendek dan minim perlindungan. Kedua adalah rentan karena beban keluarga dan stagnasi karier. Dalam hal ini, pekerja senior yang meskipun berpengalaman, tetap terjebak pada hubungan kerja tak pasti, tanpa kemajuan karier.
Ketiga, rentan karena minim perlindungan. Yang mana, kelompok paling terpinggirkan secara struktural, sering kali bekerja di area informal perusahaan dan nyaris tak terjangkau regulasi ketenagakerjaan.
Baca juga: Buruh Desak UMP 2026 Naik 10 Persen, Pemerintah Siap Umumkan Sebentar Lagi
Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi menyatakan bahwa temuan studi tersebut utamanya diakibatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Menurut Media, UU Cipta Kerja menarik mundur progress peningkatan kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Ia menjelaskan, UU Cipta Kerja melemahkan prinsip dasar perlindungan ketenagakerjaan demi alasan fleksibilitas pasar, yang lalu membuka peluang eksploitasi hak pekerja.
Walaupun UU Cipta Kerja ini telah dicabut pada 2022, dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang, serta masih terus mengalami proses revisi, Media katakan jika dampak negatif dari adanya UU Cipta Kerja ini masih terasa hingga sekarang.
“Undang-Undang Cipta Kerja didiskusikan tahun 2020 saat Covid-19. Diketok (disahkan) oleh Presiden sebelumnya, dan Presiden hari ini atau Kabinet hari ini, termasuk beberapa Kabinet ke depan menanggung risiko yang sangat signifikan akibat Undang-Undang Cipta Kerja tersebut,” ujar Media saat acara penyampaian hasil studi kelayakan kerja di Jakarta, Kamis, 6 November 2025.
Ia menjelaskan lebih lanjut, salah satu dampak dari rilisnya UU Cipta Kerja adalah meningkatnya tren pekerja yang tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Dari survei yang dilakukan terhadap 20.968 pekerja di industri tekstil, garmen, dan alas kaki selama total periode 2017-2024, terlihat persentase pekerja yang tidak memiliki perjanjian kerja tertulis terus mengalami kenaikan sejak 2020.
Di 2017, persentase pekerja yang tidak memiliki perjanjian kerja tertulis hanya 3 persen. Angka itu lalu sempat naik ke 13 persen di 2018, sebelum turun ke 7 persen pada 2019. Kemudian, kembali naik di 2021 ke 13 persen, dan terus mengalami tren kenaikan hingga menyentuh 15 persen di 2024.
Sedangkan mereka yang terikat atau memiliki perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terlihat konstan berada di kisaran 5 sampai 6 persen.
“Jadi, ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kerentanan. Meskipun dari segi jumlah kita bisa saja melihat spektrum yang lain, tetapi ini jumlah yang sebetulnya cukup mengkhawatirkan kalau terus terjadi dalam beberapa tahun ke depan,” ucap Media.
Baca juga: Daftar 10 Pekerjaan dengan Gaji Tertinggi di Indonesia
Di samping itu, persentase perusahaan yang merekrut pekerja kontrak untuk mengerjakan tugas pekerja tetap turut mengalami peningkatan. Sistem kontrak dikatakan, kerap disalahgunakan sebagai cara untuk menghindari kewajiban jangka panjang terhadap pekerja, seperti penyediaan jaminan sosial, pesangon, dan hak pensiun.
Dari total 20.968 pekerja di industri yang sama, didapati total 60 persen pekerja kontrak menyatakan “Ya” mereka adalah pekerja kontrak yang mengerjakan tugas pekerja tetap. Sementara sisanya atau 40 persen menyatakan tidak mengerjakan tugas pekerja tetap.
Dari tiga sektor yang ada (tekstil, garmen, alas kaki/sepatu), didapati tekstil menjadi sektor industri yang paling banyak merekrut pekerja kontrak untuk mengerjakan tugas pekerja tetap, yakni 68 persen. Di posisi berikutnya ada garmen 61 persen, dan sepatu/alas kaki 43 persen.
“Saya sebelumnya kerja di perusahaan dan sebelum Undang-Undang Ciptaker semua pekerjaan utama itu tidak boleh kontrak. Tapi, setelah Undang-Undang Ciptaker itu berubah, dan kalau pekerjaan utama itu dikontrakkan, kerentanannya akan semakin signifikan,” tegas Media.
Tak cukup sampai di sana, tren persentase pekerja tanpa jaminan sosial juga menunjukkan peningkatan di hampir semua jenis perlindungan sosial. Sebut saja jaminan hari tua yang pada 2017 terdapat 9 persen pekerja tanpa jaminan hari tua, namun meningkat cukup drastis ke 19 persen pada 2024.
Kemudian, tidak adanya jaminan pensiun yang meningkat dari 16 persen di 2017 ke 29 persen pada 2024, jaminan kecelakaan kerja dari 5 persen di 2017 ke 15 persen di 2024, serta jaminan kematian dari 9 persen di 2017 ke 19 persen pada 2024.
Pelemahan regulasi, penurunan kapasitas pengawasan negara, dan meningkatnya praktik fleksibilitas tenaga kerja seperti outsourcing dan kontrak jangka pendek yang mempersulit implementasi jaminan sosial, menjadi sejumlah faktor yang disinyalir memperparah kondisi tersebut.
“Bahwa, hari ini hanya sekian persen yang tidak memiliki perlindungan sosial, mungkin narasinya begitu ya. Namun, kalau kita lihat time series-nya, ini mengkhawatirkan sekali,” imbuh Media.
Selain beberapa hal di atas, studi ini turut melakukan survei terhadap beberapa indikator lainnya, salah satunya yakni pengakuan hak mogok kerja dan kebebasan berserikat di tempat kerja. Kedua indikator ini sama-sama mengalami pelemahan.
Persentase kebebasan berserikat atau izin untuk bergabung ke dalam serikat kerja mengalami penurunan, dari yang sebelumnya berada di rata-rata 97 persen pada 2017 sampai 2022, turun ke 77 persen di 2024.
Begitu pula dengan pengakuan terhadap mogok kerja yang sebelumnya naik dari 20 persen di 2017 ke 91 persen di 2021 dan 2022, sebelum akhirnya turun drastis ke 43 persen di 2024.
“Fakta bahwa hak mogok dan berserikat sama-sama melemah mengindikasikan pola sistemik, bukan kebetulan sektoral,” tekan Media.
Media pun menyarankan pemerintah untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan, dengan menegakkan kembali prinsip kerja layak (decent work) sesuai standar International Labour Organization (ILO), selain memperkuat lembaga pengawasan ketenagakerjaan, kebijakan perlindungan industri dalam negeri dari barang impor, dan lainnya. (*) Steven Widjaja









