Selama ini pemerintah memang mengusung proyek infrastruktur dalam Program Percepatan Pembangunan (Fast Track Program/FTP). Proyek yang masuk ke FTP itu antara lain, pembangunan 40 PLT Batubara, 40 PLT Panas Bumi, proyek waduk raksasa, PLTN, ribuan kolometer jalan, dan jalan kereta api batu bara yang akan melewati hutan lindung atau hutan adat.
“Namun untuk membiayai proyek itu, yang dilakukan Pemerintah Jokowi mencari pembiayaan melalui Bank Pembangunan Multilateral, seperti WB Group, Asian Development Bank (ADB), dan AIIB, yang pusatnya di Beijing,” ucapnya.
Pembangunan mega infrastruktur ini, kata dia, tentu berdampak lingkungan dan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat miskin. “Tapi di Indonesia malah proyek pembangunan bisa dilakukan meski belum mendapat izin lingkungan. Bahkan kalau pun ada, hal itu hanya menjadi syarat formil dalam proses perizinan pelaksana proyek. Seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” papar dia.
(Baca juga : Tantangan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia)
Proyek NSUP ini akan membiayai 153 kota dan satu propinsi DKI Jakarta. Untuk tahun 2016-2017 ini, kedua bank multilateral itu akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu. Dari analisa terhadap dokumen pinjaman dan kerangka perlindungan lingkungan serta sosial, kata dia, pihaknya menemukan banyak masalah dalam proyek ini.
“Seperti tidak adanya konsultasi dengan warga terdampak, diturunkannya status risiko dari A ke B, serta potensi kuat atau terjadi pemindahan atau penggusuran paksa, walau mereka menggunakan istilah ‘pemindahan secara sukarela,” tutup Siti. (*)