Jakarta – Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai ada sejumlah opsi terkait dengan utang jatuh tempo pemerintah yang mencapai Rp800,33 triliun pada 2025.
Pertama, Josua menjelaskan pemerintah dapat melakukan debt switch, yakni pembelian kembali Surat Utang Negara (SUN) yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan penyerahan Surat Utang Negara seri lain oleh pemerintah.
“Dan apabila terdapat selisih nilai penyelesaian transaksinya, dapat dibayar tunai,” kata Josua dalam keterangannya, Jumat 7 Juni 2024.
Baca juga: Makin Menggunung, Segini Utang Warisan Rezim Jokowi ke Prabowo
Alternatif kedua, tambah Josua, mempertimbangkan utang yang jatuh tempo terutama dalam rangka penangangan pandemi akan mencapai puncaknya tahun 2026, maka pemerintah juga perlu mempertimbangkan belanja pemerintah yang dalam skala prioritas rendah untuk ditunda pembiayaannya.
“Sehingga akan dapat mendukung terjaganya defisit fiskal dalam level yang sehat yang juga berdampak pada cost of borrowing pemerintah yang kompetitif,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan besaran utang jatuh tempo pada 2025 tak menjadi masalah jika selama persepsi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun perekonomian dapat dikelola dengan baik.
“Kalau negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil. Karena market beranggapan negara ini akan tetap sama, sehingga jatuh temponya seperti 2025, 2026, 2027 yang kelihatannya tinggi itu tidak jadi masalah,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis, 6 Juni 2024.
Bendahara negara ini menjelaskan bahwa tingginya pembayaran utang jatuh tempo tersebut dikarenakan pandemi Covid-19 yang membutuhkan tambahan belanja sebesar Rp1.000 triliun dan pada saat yang sama penerimaan negara menurun 19 persen.
Baca juga: Utang Jatuh Tempo di Tahun Pertama Prabowo Tembus Rp800 Triliun, Begini Kata Sri Mulyani
“Jadi kalau tahun 2020 maksimal jatuh tempo dari pandemi kita di 7 tahun dan sekarang di konsentrasi, di 3 tahun terakhir 2025, 2026 dan 2027, sebagian di 8 tahun. Ini yang kemudian menimbulkan persepsi kok banyak yang numpuk,” ungkapnya.
Selain itu, penarikan utang yang tinggi juga berasal dari skema burden sharing yang disepakati bersama dengan Bank Indonesia pada saat pandemi. (*)
Editor: Galih Pratama