Jakarta – Dunia saat ini tengah terjebak dalam bom waktu utang yang mengerikan. Bagaimana tidak, total utang dunia telah mencapai USD313 triliun saat ini, seperti dikutip dari Wion, Rabu, 28 Februari 2024. Dan fenomena utang global yang besar ini memberikan dampak terburuk bagi negara-negara berkembang.
Imbas dari utang global ini antara lain tingkat defisit bakal meningkat, nilai tukar mata uang melemah, serta krisis ekonomi dunia, perlahan tapi pasti, bakal semakin parah. Setidaknya ada tiga negara berkembang yang terkena dampak tersebut dengan lebih parah, yakni Argentina, Pakistan, dan Sri Lanka.
Argentina adalah negara dengan tingkat utang tertinggi di dunia. Utang pemerintah Argentina telah mencapai USD400 miliar, yang mana inflasi di negara itu meningkat hingga 250 persen.
Baca juga: Utang Pemerintah Makin Menggunung, Kini Tembus Rp8.253,09 Triliun
Akibatnya, enam dari sepuluh warga Argentina hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah Argentina mengambil sejumlah kebijakan penting.
Presiden Argentina Javier Milei yang dikenal sebagai figur libertarian, bertekad untuk menerapkan reformasi besar-besaran melalui pemangkasan beban utang dan membangkitkan kembali perekonomian nasional Argentina. Hal ini disebut sebagai bentuk shock therapy yang dinilai akan mengguncang perekonomian nasional Argentina lebih parah lagi.
Sementara itu, Pakistan memiliki total utang sekitar USD290 miliar, sebagian besar dari utang tersebut adalah utang yang ditanggung oleh pemerintah. Perekonomian Pakistan yang rapuh dipicu oleh inflasi yang meningkat, yang mengurangi cadangan mata uang asing dan memperlebar defisit fiskal.
Pemerintah Pakistan tengah berupaya melakukan negosiasi dengan lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memberikan dana bantuan bagi ekonomi nasional Pakistan. Namun begitu, diprediksi bahwa pemulihan ekonomi Pakistan akan sulit terjadi, mengingat sebagian besar anggaran pemerintah bakal dialokasikan untuk pembayaran bunga pinjaman.
Di lain sisi, sejak merdeka pada 1948, Sri Lanka baru pertama kali ini gagal membayar utangnya. Utang eksternal yang besar itu setara dengan 70 persen lebih GDP Sri Lanka, menguras cadangan mata uang asing negara itu. Hasilnya, negara pulau tersebut jadi mempunyai sedikit dana untuk membeli komoditas esensial dari luar negeri, menciptakan inflasi yang masif di negeri itu.
Baca juga: Utang Luar Negeri RI Naik Lagi! Sekarang Segini Totalnya
Ujung-ujungnya, ekonomi nasional terkena imbasnya. Ekonomi Sri Lanka terkontraksi 3,8 persen sepanjang tahun lalu. Pemerintah pun mengumumkan kebijakan restrukturisasi utang, namun para analis menyatakan bahwa restrukturisasi utang hanya bisa membantu negara membayar bunga utang, tapi tak menyelesaikan krisis ekonomi secara menyeluruh.
Biar bagaimanapun, dibutuhkan solusi jangka panjang dalam menyelesaikan masalah krisis utang ini. (*) Steven Widjaja