Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
DISKURSUS tentang kewajiban eksportir nasional menempatkan proceed ekspor disebut dengan devisa hasil ekspor (DHE) di perbankan domestik sudah mengemuka sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu.
Spirit beleid yang dirilis pada 2011 oleh Bank Indonesia (BI) ini sangat baik, yakni menghimpun DHE untuk memperkuat cadangan devisa (cadev) sehingga mampu memenuhi kewajiban internasional (pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah) secara tepat waktu dan disiplin. Bahkan, pengelolaan cadev diharapkan selalu mampu melampaui ambang batas yang minimal tiga bulan impor.
Lebih lanjut, kecukupan cadev yang kuat dan stabil diharapkan akan mampu menjaga dan memperkuat posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang kuat dunia (hard currency), utamanya dolar Amerika Serikat (AS). Sayangnya, setelah ketentuan kewajiban penepatan DHE di perbankan domestik ini dirilis, respons kalangan eksportir dirasakan kurang menggembirakan.
Dari berbagai diskusi publik dengan perbankan dan para eksportir, menyeruak beberapa persoalan di lapangan yang menjadi alibi atau dalih terhadap minimnya respons pelaku usaha eksportir menempatkan DHE-nya di perbankan domestik. Mulai dari soal penggunaan DHE untuk mendukung kegiatan operasional, suku bunga valuta asing (valas) yang tidak menarik, kewajiban penggunaan rekening penerimaan DHE di perbankan asing di luar negeri, hingga tiadanya insentif dari regulator atau otoritas yang menarik dan langsung bisa dirasakan.
Gayung Bersambut
Ibarat gayung bersambut, beberapa tahun kemudian, persoalan dan aspirasi para eksportir itu kini memperoleh respons positif dari otoritas dan regulator. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Sejatinya, PP No. 36/2023 yang efektif berlaku mulai 1 Agustus 2023 ini mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).
Baca juga: Aturan Wajib Parkir DHE di Dalam Negeri, Seberapa Besar Efektifitasnya?
Jadi, PP No. 36/2023 ini merupakan revisi dari PP No. 1/2019. Maka, menarik mencermati pernyataan resmi Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Republik Indonesia (28/7/2023), bahwa urgensi dari pemberlakuan PP No. 36/2023 adalah untuk meningkatkan likuiditas valas dalam negeri dan menjaga ketahanan ekonomi. Suatu rasionalitas tujuan yang tepat, objektif, dan wajar.
Jelas bahwa PP No. 36/2023 ini disiapkan dan disusun dengan saksama dari berbagai sudut pandang kepentingan berbagai pemangku kepentingan sehingga potensi efektivitas penerapannya lebih bisa diharapkan.
Maklum, PP ini merupakan “buah kerja bersama” antara Kemenko Perekonomian bersama kementerian/lembaga (K/L) terkait, terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang telah menyelesaikan PP tersebut berdasarkan semangat menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu pemanfaatan SDA untuk kemakmuran rakyat dan menjaga ketahanan ekonomi nasional.
Potensi optimalisasi DHE dari hasil pengelolaan SDA sangat besar, di mana dari data tahun 2022, total DHE dari empat sektor (yaitu pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan) mencapai US$203,0 miliar setahun atau sebesar 69,5% dari total ekspor nasional. Dengan adanya ketentuan 30% DHE dari SDA wajib disimpan di sistem keuangan Indonesia (SKI), maka setidaknya terdapat potensi ketersediaan likuiditas valas dalam negeri yang merupakan hasil dari penempatan DHE tersebut sebesar US$60,9 miliar.
Secara lebih terperinci sumber potensi DHE dari SDA per sektor berdasarkan nilai ekspor tahun 2022, yang terbesar dari sektor pertambangan sebesar US$129,0 miliar (44,2% dari total ekspor) dengan ekspor batu bara menjadi yang terbesar, berkisar US$46,7 miliar (36,2% dari total ekspor pertambangan).
Potensi hasil ekspor sektor perkebunan sebesar US$55,2 miliar (18,9% dari total ekspor), sektor kehutanan US$11,9 miliar, dan sektor perikanan US$6,9 miliar. Potensi DHE dari SDA yang sangat besar ini akan mampu meningkatkan ketersediaan valas yang likuid di dalam negeri sekaligus menjaga kestabilan cadev.
Yang juga menarik, kewajiban penempatan DHE dari SDA ke SKI hanya diberlakukan atas ekspor yang nilainya minimal US$250 ribu, sehingga tidak akan berdampak negatif terhadap eksportir kecil dan menengah. Justru mereka dapat secara sukarela menempatkan DHE-nya untuk mendapatkan insentif bunga dan fasilitas perpajakan.
Dukungan Kebijakan Fiskal dan Moneter
Untuk mendukung PP No. 36/2023 tersebut, Kemenkeu telah menerbitkan dua peraturan pelaksanaan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 272 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor SDA yang wajib DHE, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 73 Tahun 2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran DHE SDA.
Dalam peraturan ini terdapat penambahan 260 Pos Tarif HS komoditas wajib DHE SDA sesuai usulan K/L pembina sektor, sehingga menjadi 1.545 Pos Tarif. Bila diperinci kenaikan jumlah pos tarif terbagi dalam empat sektor. Pertama, sektor pertambangan mengalami penambahan 29 pos tarif, sehingga jumlahnya menjadi 209 pos tarif dari 180 pos tarif. Kedua, sektor perkebunan ditambahkan 67 pos tarif menjadi 567 pos tarif, dari sebelumnya sebanyak 500 pos tarif.
Ketiga, sektor kehutanan bertambah 44 pos tarif menjadi 263 pos tarif dari sebelumnya 219 pos tarif. Keempat, pos tarif pada sektor perikanan adalah sebanyak 120, sehingga jumlahnya menjadi 506 pos tarif dari 386 pos tarif.
Di dalamnya juga diatur tentang pemberian insentif berupa tarif PPh yang lebih rendah atas bunga deposito dan instrumen penempatan DHE SDA, yang telah diatur di PP No. 123 Tahun 2015. Untuk deposito biasa (bukan deposito DHE) dikenakan PPh sebesar 20%, namun untuk deposito DHE SDA dikenakan PPh atas bunga yang bervariasi, yaitu PPh 10% untuk deposito DHE SDA tenor 1 bulan, PPh 7,5% untuk deposito DHE SDA tenor 3 bulan, dan PPh 2,5% untuk deposito DHE SDA tenor 6 bulan.
Sejalan dengan regulasi insentif yang dirilis oleh Kemenkeu, maka BI juga telah menyiapkan tujuh instrumen penempatan DHE SDA, yaitu rekening khusus (reksus) DHE SDA di Bank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Deposito Valas dari Bank, Promissory Note LPEI, Term-Deposits (TD) Valas DHE dari Deposito Valas Bank, TD Valas dari Promissory Note LPEI, Swap Valas dari Eksportir/Nasabah ke Bank, serta Swap Valas dari Bank ke BI.
Sebagai lembaga yang bertugas mengelola cadev, bank sentral tentu sangat berkepentingan dalam menghimpun DHE, baik yang berasal dari ekspor SDA maupun ekspor non-SDA (misalnya ekspor produk manufaktur dan nonmigas). Untuk diketahui, posisi cadev memang tetap berada pada level yang tinggi, saat ini.
Penghimpunan DHE non-SDA ini menjadi penting karena outlook harga komoditas SDA ke depannya diperkirakan “menurun” atau kembali ke harga normal. Lebih dari itu, secara historis harga komoditas SDA biasanya mengalami fluktuasi yang tajam oleh berbagai faktor atau risiko (utamanya risiko geopolitik, gangguan rantai pasokan global, dan naik-turunnya volume produksi yang sulit diprediksi). Maka, penting bagi pemerintah, regulator, dan otoritas terkait untuk juga memberikan perhatian kepada potensi sumber DHE non-SDA.
Dengan status Indonesia sebagai net importer bahan bakar minyak (BBM), maka kebutuhan peningkatan valas domestik menjadi penting untuk dapat memenuhi kebutuhan impor BBM. Untuk itu, penting untuk terus dikembangkan sumber energi alternatif non-BBM – yakni energi baru terbarukan – yang lebih ramah lingkungan dan bersumber dari dalam negeri.
Di samping itu, perlu dipahami pula bahwa surplus neraca perdagangan kendati masih tetap positif dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, namun nilainya cenderung menurun secara berkelanjutan seiring koreksi volume ekspor sebagai dampak melemahnya permintaan global. Alhasil, sumber pundi-pundi untuk cadev pun menjadi menipis.
Bahkan, jika diamati lebih terperinci, pemenuhan kewajiban internasional (untuk keperluan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah) dari waktu ke waktu makin pendek, dari sebelumnya di atas delapan bulan impor, sekarang hanya enam bulan impor, meskipun masih di atas ambang batas yang tiga bulan impor.
Posisi cadev per Juni 2023 tercatat sebesar US$137,5 miliar, cukup untuk memenuhi 6,1 bulan kebutuhan impor atau 6,0 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Seiring dengan meningkatnya utang luar negeri pemerintah untuk menopang anggaran tahunan (APBN), maka tepat dan penting upaya menghimpun devisa, salah satunya dari penempatan DHE SDA pada instrumen investasi di pasar keuangan dalam negeri.
Secara khusus, mengingat penempatan DHE SDA ini melibatkan sektor keuangan (utamanya perbankan), maka OJK juga merespons positif dengan menerbitkan kebijakan untuk pelaksanaan DHE SDA, melalui penerbitan Surat Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan tentang Insentif bagi Bank Umum terkait DHE SDA.
Beleid OJK ini pada intinya menegaskan kepada seluruh bank bahwa bank dapat memperlakukan dana DHE SDA sebagai agunan tunai (cash-collateral). Juga telah diterbitkan Surat Kepala Eksekutif Pengawas IKNB yang menegaskan tindak lanjut pemberlakuan PP No. 36/2023 yang meminta LPEI menyesuaikan format laporan bulanannya.
Untuk itu, pelaksanaan PP No. 36/2023 ini perlu dimonitor secara sungguh-sungguh untuk lebih mendisiplinkan para eksportir SDA dalam memenuhi kewajibannya. Tepat jika pemerintah memberikan sanksi terhadap eksportir yang tidak menempatkan DHE SDA di pasar keuangan domestik. Sanksi akan diberikan dalam bentuk penangguhan pelayanan ekspor terhadap eksportir tersebut. Hal ini sejalan dengan PMK No. 73/2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran DHE SDA.
Baca juga: Eksportir Nakal Langgar Aturan DHE, Siap-Siap Kena Sanksi Ini!
Sanksi akan diberlakukan apabila ada informasi dari pengawasan BI mengenai kewajiban pemasukan ke dalam rekening khusus DHE dan penempatan DHE itu dalam instrumen penempatan DHE yang kemudian informasi dari BI digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu untuk melaksanakan sanksi administratif.
Dalam hal ini, yang menjadi kunci adalah pengawasan dari sisi keuangan, diawali dari kepatuhan membuka rekening khusus sesuai ketentuan DHE oleh BI dan OJK, lalu diinfokan ke DJBC. Jika hasil penelitian oleh otoritas menemukan adanya pelanggaran eksportir terhadap prinsip kepatuhan atas ketentuan DHE SDA, maka DJBC bisa menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi administratif berupa penangguhan pelayanan ekspor. DJBC juga akan menyampaikan adanya sanksi adminsitratif tersebut kepada eksportir bersangkutan dan juga ke K/L terkait.
Sebaliknya, jika eksportir bisa membuktikan telah memenuhi kewajiban, maka eksportir berhak melaporkan informasi tersebut ke pejabat bea dan cukai, yang kemudian akan meneruskan informasi ini ke BI dan/atau OJK untuk dilakukan penelitian. Bila hasil penelitian BI dan/atau OJK menunjukkan eksportir telah melakukan kewajiban, maka DJBC akan mencabut sanksi terhadap eksportir. Dengan demikian, prinsip insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan PP No. 36/2023 dan aturan pelaksanaannya ini hendaknya menjadi pedoman bagi para eksportir SDA.
Catatan Penutup
Untuk mendorong efektivitas pelaksanaan PP No. 36/2023 dan peraturan pelaksanaannya, maka agenda sosialisasi dan diseminasi kepada publik, khususnya kepada para eksportir dan pelaku perbankan, menjadi penting.
Upaya meningkatkan literasi, inklusi dan kepatuhan tentang penempatan DHE (SDA dan non-SDA) ke sistem keuangan domestik harus digalakkan mengingat heterogenitas para pemangku kepentingan. Indonesia yang sangat luas – dengan ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Singapura – membutuhkan determinasi dan stamina yang kuat untuk menyukseskan pelaksanaan PP No. 36/2023 ini.
Potensi DHE SDA sungguh besar, jadi sangat disayangkan kalau proyeksi penghimpunan DHE SDA yang bisa dibidik memeleset dari yang ditargetkan. Dengan insentif suku bunga valas (term deposit valas) bersumber dari DHE SDA yang kompetitif (baik bagi eksportir penyimpan DHE maupun bagi bank penampung dana DHE) dan disertai insentif fiskal yang menarik, rasanya sudah tepat momentumnya bagi para eksportir untuk menempatkan proceed ekspornya di dalam negeri.
Alhasil, potensi pendalaman pasar keuangan domestik menjadi lebih terbuka dengan resiliensi perekonomian yang kuat ketika dihadapkan pada berbagai gejolak eksternal. Barangkali perilaku disiplin dan patuh para eksportir ini juga bisa menjadi salah satu wujud nasionalisme dan patriotisme mereka terhadap bangsa dan negaranya. (*)