oleh Agung Galih Satwiko
BLOOMBERG kemarin memberitakan mengenai upaya otoritas di Indonesia dalam rangka meningkatkan kredit berpotensi backfire seiring dengan menurunnya kinerja perbankan. Kinerja perbankan yang menurun dapat dilihat baik dari kinerja di bursa saham, maupun kinerja secara fundamental. Sejak akhir Februari saat OJK mengindikasikan akan membatasi tingkat bunga deposito perbankan dan menyoroti tingginya NIM (Net Interest Margin) perbankan serta mendorong bank untuk menurunkan tingkat bunga kredit, indeks harga saham perbankan turun.
Salah satu indeks perbankan di Indonesia ialah Infobank 15 yang mengukur kinerja 15 saham unggulan bank-bank yang tercatat di BEI. Dalam periode tersebut (akhir Februari s.d. kemarin) indeks Infobank 15 turun 6,8%. Sementara IHSG sendiri relatif tetap (point to point), bahkan sedikit naik yaitu naik 0,04%. Dari sisi individu perbankan, harga saham bank Mandiri dalam periode tersebut turun hampir 5%, harga saham bank BRI turun lebih dari 10%, BNI turun lebih dari 11%, dan BCA turun 3,5%.
Dari sisi fundamental, rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga, meningkatnya rasio NPL akibat perlambatan ekonomi, dan turunnya NIM, menyumbang buruknya kinerja perbankan. Perbankan juga menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman dan meningkatkan persyaratan kredit yang diperlukan agar tidak semakin meningkatkan NPL. Apabila hal ini berlanjut terus maka justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
NPL (gross) Bank Mandiri naik ke level 2,89% pada Q1 2016 (Q1 2015 sebesar 1,81%). Bank Mandiri telah membentuk unit khusus untuk mengantisipasi meningkatnya kredit bermasalah (Antara News). Sementara NPL gross BCA Q1 2016 naik ke level 1,1% pada Q1 2016 dibandingkan 0,7% pada Q1 2015. Loan to Deposit ratio perbankan pada bulan Maret sebesar 89,6%, dan pertumbuhan kredit pada bulan Maret tercatat sebesar 8,4% yoy.
Direktur Ciptadana Securities John Teja berpendapat bahwa dengan meningkatnya NPL dan rendahnya pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin bank akan mengucurkan kredit secara agresif. Bank akan semakin berhati-hati, sehingga diperkirakan tekanan jual saham perbankan akan terus terjadi dan fundamental perbankan akan tetap lemah.
OJK menerapkan cap deposit rate 75 dan 100 bps di atas BI rate untuk bank BUKU 4 dan 3. Saat ini BI rate adalah sebesar 6,75%. Sementara calon benchmark baru yaitu 7-day reverse repo rate di level 5,5%. Sejalan dengan itu OJK juga mendorong bank untuk menurunkan tingkat bunga kredit dan akan memanggil bank yang tidak menurunkan NIM.
Fitch dalam laporan di bulan Maret melaporkan NIM sektor perbankan Indonesia sebesar 5,4% merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun Fitch menegaskan bahwa meskipun tingkat bunga kredit yang lebih rendah akan menaikkan tingkat kompetitif perbankan Indonesia, namun angka NIM yang di bawah ekuilibrium justru akan membawah ke tidak efisiennya sistem perbankan Indonesia.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo minggu lalu menyebutkan bahwa deposit rate telah turun 57 bps dan lending rate telah turun 22 bps di bulan April. Bank Indonesia tengah mempertimbangkan untuk melakukan deregulasi/ memberi kemudahan terkait kredit di sector property. Salah satunya ialah membolehkan KPR untuk rumah kedua. BI sebelumnya telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 dari 5,2% – 5,6% menjadi 5% – 5,4%.
Meskipun dipahami bahwa naiknya NPL dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akan membatasi pertumbuhan kredit tahun ini, namun perbankan di Indonesia diperkirakan akan memperoleh stimulus dalam bentuk likuiditas jika UU Tax Amnesti telah selesai dibahas dan diundangkan. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK. Artikel disarikan dari Bloomberg dan sumber lainnya.