Jakarta – PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk resmi berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) sekaligus mengubah kegiatan usaha utamanya dari emiten pengangkutan udara niaga dan jasa angkutan udara, menjadi bidang investasi dan perusahaan induk, khususnya di sektor pertambangan batu bara.
IATA pun langsung membuat gebrakan dengan menargetkan produksi batu bara sekitar 8 juta metric ton (MT) dengan pendapatan Rp3 triliun.
“Sekarang (perusahaan tambang yang diakusisi IATA) sudah produksi 2,5 juta metric ton, nilainya hampir Rp 1,1 triiliun,” kata Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo dalam paparan publik usai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) IATA di Jakarta secara virtual Kamis, 10 Febuari 2022.
Hary mengatakan IATA telah mendapat restu dari pemegang sahamnya untuk mengambilalih 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari PT MNC Investama Tbk (BHIT). Adapun BCR merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sembilan perusahaan itu adalah PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC), keduanya sudah beroperasi dan aktif menghasilkan batu bara dengan kisaran GAR 2.800 – 3.600 kkal per kg. Dengan total area seluas 9.813 ha, BSPC memiliki perkiraan total sumber daya 130,7 juta MT, sementara PMC memiliki 76,9 juta MT, dengan perkiraan total cadangan masing-masing 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT.
Berikutnya PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE), keduanya ditargetkan memulai produksi batu bara dalam tahun ini. Ditambah lagi, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) yang sedang disiapkan untuk beroperasi dalam 1atau 2 tahun dari sekarang. Tujuh IUP dengan luas 64.191 ha ini memiliki estimasi total sumber daya sebesar lebih dari 1,4 miliar MT.
Produksi BSPC dan PMC pada tahun 2021 mencapai 2,5 juta metrik ton, menghasilkan pendapatan sekitar USD 74,8 juta dengan EBITDA USD 33 juta.
Pada periode sembilan bulan hingga September 2021, BCR berhasil mencatatkan pendapatan sebesar USD 44,1 juta dengan EBITDA senilai USD 20,4 juta.
Dengan asumsi akuisisi BCR oleh IATA terlaksana pada Januari 2021, laporan IATA untuk September 2021 akan menghasilkan pendapatan USD 51,4 juta dengan EBITDA sebesar USD 20,4 juta, daripada pendapatan sebesar USD 7,2 juta dengan kerugian EBITDA USD 54,8 ribu.
“Laporan asumsi laba rugi tersebut akan jauh lebih baik lagi untuk periode tahunan 2021 dan pastinya akuisisi BCR dinilai sangat bermanfaat bagi IATA. Akuisisi BCR menjadi lebih menarik karena sembilan IUP milik BCR yang telah disebutkan sebelumnya akan diakuisisi dengan nilai USD 140 juta, 23% lebih rendah dari valuasi BSPC dan PMC,” terangnya.
Pada 2022, BCR telah memperoleh ijin untuk meningkatkan produksi hingga 8 juta metrik ton. Dengan estimasi harga batubara terus menguat dan target produksi tersebut tercapai, kinerja keuangan IATA tahun 2022 diperkirakan akan sangat baik, dengan ekspektasi peningkatan pendapatan hingga 3x lipat dari tahun 2021, setelah mengalami kerugian sejak tahun 2008. (*)