Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
GEGER unit link belum berakhir. Korban-korban unit link terus berteriak. Bahkan, kemarin (11/1/2022), mereka yang tergabung dalam korban unit link sempat “geruduk” ke kantor Otorits Jasa Keuangan (OJK) di Wisma Mulia, Jakarta. Hari ini (12/1/2022), kantor OJK Gedung Sumitro, Jakarta juga disambangi para korban unit link. Mereka minta dimediasi dengan perusahaan asuransi sesuai arahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya nihil. Apakah besok juga akan “geruduk” kantor OJK di komplek BI?
Menurut data yang dikumpulkan oleh Infobank Institute, jujur saja, pemegang polis yang unit nya kempis tak sedikit dibandingkan dengan korban-korban yang tergabung dalam “ratapan” asuransi yang kehilangan duitnya. Bahkan, ada seorang yang datang ke Infobank, mengatakan punya 8 polis yang semuanya “amsyong”. ”Saya malu ketahuan goblok saya, lha saya percaya saja sama agen yang datang. Apalagi, saudara sendiri yang jual,” katanya.
Kini, sang korban yang diam itu menyebut, pelajaran penting; “bahwa asuransi itu jual janji dapat uang, kalau bank jual uang dapat janji.”. Kata-kata “bijak” ini sebenarnya bukan alasan. Pemegang polis membayar premi baru dikasih janji dalam jangka panjang. Masih syukur ada hasilnya, lha ini kempis.
Sementara bank, kasih uang ke debitur. Dan, bank hanya dikasih janji akan dibayar pinjamannya. Nasabah bisa membayar dan bisa tidak membayar, yang penting janji mampu membayar di kemudian hari.
Tulisan ini bukan mau mendegradasi industri asuransi, hanya sekadar mengingatkan bahwa produk unit link ini ada masalah. Meski demikian, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) pun masih sombong dengan mengatakan, apa pun kata orang di luar toh faktanya produk unit link masih tumbuh.
Pernyataan itu sepertinya tidak peduli, dan arogan. “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Jujur saja, meski kenyataan demikian, setidaknya ada rasa prihatin atas korban-korban – yang menurut Ketua OJK lebih banyak karena mis-selling.
Meski jumlah pengaduan prosentasenya kecil dibandingkan jumlah pemegang polis. Menurut data OJK jumlah pengaduan hanya 4.611 (Agustus 2022), sementara pemegang polis sekitar 17 juta. Prosentasenya kecil. Namun demikian, perusahaan asuransi tidak boleh tutup mata dan sesumbar, “meski apa kata orang di luaran ngomong apa tentang unit link,” tentu tidak bijak. Sekarang tanya tetangga atau teman kantor yang beli unit link, sebagian besar menjawab kempes unit-nya.
Ada banyak dosa-dosa unit link. Menurut Infobank Institute, semua pihak punya kontribusi kesalahan. Dan, yang paling nyaring terdengar adalah mis-selling, dan OJK mengakui itu. Jualan unit link kayak sopir tembak. Habis jualan, ditinggal begitu saja. Urusan belakangan. Bahkan, tidak sedikit agennya yang sudah “tobat” jadi agen.
Isi “kepala” agen dan sales dengan model multilevel marketing (MLM) adalah komisi dan komisi. Closing-closing prospek. Isi pelatihannya motivasi dengan iming-iming hadiah jalan-jalan ke luar negeri. Sering kali yang jualan saudara dan teman sendiri. Para agen terlepas dari kantor perusahaan asuransi. Hal yang berbeda dengan sektor perbankan.
Pokoknya jualan, closing dan dapat komisi tebal. Titik. Padahal, ada kesalahan target pemasaran. Juga, kesalahan cara pemasaran. Lebih parah lagi, ada malpraktik dalam perekrutan agen asuransi. Plus diperparah dengan kesalahan pelatihan. Tenaga-tenaga pemasar lebih banyak dari mereka yang kalah bersaing di pasar tenaga kerja.
Bahkan, yang bikin geleng-geleng kepala adalah ketidaktepatan dalam struktur biaya. Pemberian komisi yang sangat besar dengan durasi yang pendek, sementara usia polis dalam jangka waktu yang lebih panjang. Jadi, tidak heran kalau sales kayak sopir tembak.
Beberapa bank yang juga menjual produk asuransi (bancassurance) tidak sedikit yang “memeras” perusahaan asuransi dengan menetapkan fee yang tidak kecil. Bank memasukkan fee asuransi ini sebagai fee based income dan tentu pada akhirnya dibebankan ke tertanggung.
Perusahaan asuransi juga termasuk pihak yang perlu disalahkan. Sering kali perusahaan asuransi melepas agen tanpa pendidikan yang memadai. Rekrutmen sales sepertinya menjadi tanggung jawab agen sendiri. Jarang ada pendidikan yang memadai, kecuali motivasi yang berhalanya komisi.
Lebih parah lagi, pihak perusahaan asuransi pilih kasih dalam menyelesaikan masalah. Kasus Wanda Hamidah merupakan salah satu yang dikecualikan. Juga para kepala daerah yang keras menuntut, yang akhirnya “diselesaikan” masalahnya. Pun dengan seorang karyawan di Karawang yang melakukan hal sama. Terus “berteriak” lebih keras, lalu dibayar. Selesai.
Pilih kasih inilah yang membuat nasabah yang dirugikan terus berteriak dan tentu ini memperburuk risiko reputasi yang seharusnya dijaga oleh perusahaan asuransi. Reputasi bagi perusahaan jasa dan terutama asuransi menjadi penting dan utama, karena kalau tidak dijaga akan memperburuk masa depan perusahaan asuransi sendiri.
Mengapa OJK Harus Turun Tangan?
Produk unit link adalah produk asuransi yang dibalut investasi (whole life). Singkatnya, beli asuransi dapat investasi. Di Indonesia mulai diperkenalkan sejak 25 tahun lalu. Produk ini melesat lebih dari 10 ribu persen. Sementara produk asuransi tradisional tidak sampai tumbuh 500 persen dalam kurun yang sama.
Salah satu alasan masyarakat membeli unit link karena masyarakat belum “melek” asuransi. Ruang kosong inilah dimanfaatkan betul perusahaan asuransi asing sebagai pelopor. Kini, janji-janji ketika berjualan tidak terbukti. Para korban yang berteriak perlu di dengar, dan bahkan saran DPR untuk melakukan moratorium atau penghentian, meski berlebihan tapi setidaknya perlu dikaji juga.
Produk unit link kini bisa disebut “Tuyul”. Agak berlebihan memang sebutan itu, namun faktanya demikian. Premi yang dibayar tiap bulan, atau tiga bulan atau tahunan, faktanya , seperti kata korban, tidak berkembang seperti “janji-janji” penjualnya, baik lewat bancassurance maupun agen-agen yang “berhalanya” komisi.
Secara tak sadar, pemegang polis selain turun karena kondisi pasar. Namun biaya-biaya yang muncul dalam membeli unit link itu ternyata sudah seperti “tuyul”. Jika dibandingkan, jika membeli asuransi sendiri dan investasi sendiri. Biaya-biaya unit link itu keterlaluan. Dan, masih juga harus menanggung risiko.”Beli kucing dalam karung”, karena pemegang polis tidak tahu mau diinvestasikan kemana. Beda kalau investasi sendiri, tahu duitnya kemana di tanam.
Biaya-biaya yang muncul seperti biaya akuisisi, biaya asuransi, biaya rider, biaya adiministrasi, biaya pengelolaan investasi, biaya switching. Itu biaya-biaya yang dikenakan ke pemegang unit link. Plus risiko investasi. Jadi, ya bisa jeblok. Bahkan, ndak turun unitnya aja masih kena beban biaya yang macam-macam itu.
Gonjang-ganjing unit link ini tidak bisa dibiarkan. Jika korban-korban ini terus berteriak makan akan menurunkan reputasi perusahaan asuransi. Meski AAJI mengklaim pembelian unit link masih meningkat, namun dalam jangka panjang reputasi ini akan sedikit banyak mengganggu penjualan produk unit link.
Saat ini para korban unit link yang dua hari datang ke kantor OJK, baik di Wisma Mulia dan Gedung Sumitro, setidaknya menggambarkan mereka menganggap OJK bisa mencari jalan ke luar. Minta perlindungan dan keadilan, meski juga para korban ini tampak berlebihan.
Untuk itu, seperti kata seorang anggota DPR Komisi XI, OJK harus dapat menjadi jembatan dalam masalah geger unit link ini. Sudah waktunya, OJK membuat aturan tentang produk unit link ini. Atau, semacam Surat Edaran (SE) sehingga tidak lagi “gaduh” sehingga meruntuhkan industri.
Jangan sampai OJK tidak melakukan apa apa. Atau, istilahnya pembiaran. Do nothing dan do something juga sama-sama berisiko. Lebih baik melakukan sesuatu, dan itu pun sudah dijanjikan sendiri oleh OJK tentang akan mengeluarkan SE tentang unit link ini di akhir tahun 2021. Harapanya, SE ini dapat menjawab dinamika produk unit link. Satu sisi dapat melindungi pemegang unit link dan satu sisi dapat menjaga kesinambungan industri asuransi.
Ada empat are yang harus dibenahi. Satu kelembagaan, termasuk tata kelola SDM, IT dan kemampuan minimal modal. Dua, design produk menyangkul klausul pilihan pemegang polis, seperti waiting periode dan cuti premi. Juga, investasi dana, menyangkut pembatasan ke pihak terkait dan transparansi underlying investasi.
Tiga, delivery produk. Misalnya, agen yang terkait pada sertifikasi khusus agen unit link, bukti lulus pelatihan produk knowledge dan tak kalah penting welcoming call 100%. Empat, pemantauan kinerja, satu laporan ke OJK dan satu laporan ke pemegang polis, seperti NAB yang lebih transparan dan lengkap.
Dan, yang lebih penting dari itu perlu di atur cara berjualan unit link, baik lewat agen maupun bancassurance. Misalnya, di samping memenuhi kriteria kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikasi, setidaknya pemasar menjelaskan manfaat investasi dan risiko yang ditanggung.
Juga, kewajiban dan biaya-biaya yang muncul dan hak pemegang polis untuk menambah dan menarik nilai tunai selama periode asuransi. Dan, proses penjelasan tersebut harus direkam dan dilakukan tatap muka secara langsung. Para penjual tidak hanya menawarkan janji-janji keuntungan semata. Atau, seperti yang banyak terjadi para penjual menjelaskan setelah polis terbit.
Surat Edaran itu harus menegaskan – efektifitas penanganan pengaduan nasabah merupakan salah satu faktor yang dinilai untuk menentukan risiko perusahaan asuransi dan manajemenya. Jadi, tak aka nada lagi yang bilang “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Sebab, penanganan pengaduan ini bisa segera diselesaikan, dan tidak perlu “menginap” di kantor OJK.
Itulah mengapa OJK harus segera mengeluarkan aturan soal unit link ini, please! Semua itu agar unit link tidak lagi jadi “tuyul” yang disesali pemegang polis. Dan, dalam jangka panjang akan meruntuhkan reputasi industri asuransi. Jika tidak, sebaiknya sementara tidak membeli produk unit link. Cukup, beli asuransi untuk proteksi, dan lakukan investasi sendiri pula secara terpisah, dari pada “beli kucing dalam karung” investasinya. Penyesalan tidak perlu menunggu 5 atau 7 tahun mendatang, Bro!