Jakarta – Adanya tudingan segelintir orang yang menyebutkan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mempengaruhi langsung kesehatan manusia, seperti penyakit kanker, adalah tidak benar. Tudingan tersebut tak mendasar dan sulit dibuktikan.
Pendeteksian kanker memerlukan upaya medis komprehensif, tak bisa dilakukan dengan klaim. Tudingan tersebut lebih mengesankan sebagai upaya menggiring opini untuk menjegal investasi, yang justru dibutuhkan untuk memastikan kebutuhan tenaga listrik buat masyarakat dan industri.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Haryono mengatakan, agak sulit membuktikan bahwa polusi udara dari cerobong asap pada PLTU bisa menjadi penyebab kanker otak, seperti yang sempat dituduhkan baru-baru ini terhadap pembangunan PLTU Suralaya, Banten.
Tanpa ada PLTU sekalipun, di sekitar lingkungan tersebut masih banyak benda yang berpotensi menjadi penyebab kanker, seperti asap rokok. “Kalau ada penduduk yang menderita kanker, sulit membedakan apakah penderita tersebut mengidap kanker karena asap rokok atau asap cerobong,” ujar Agus dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Agus menjelaskan, banyak yang bisa menjadi sumber penyebab kanker. Termasuk diantaranya penggunaan handphone, televisi dan gawai lain yang berlebihan. “Tidak ada indikator bagi orang awam untuk menentukan aman atau tidak. Yang penting, buangan asap cerobong selalu dilakukan monitoring,” ucapnya.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan, secara umum kehadiran PLTU memang berpotensi memberikan dampak lingkungan utamanya pada kualitas udara. Namun, dugaan munculnya berbagai gangguan kesehatan, termasuk kanker, yang dikeluhkan oleh masyarakat seputar Suralaya perlu dibuktikan secara ilmiah.
“Perlu dikukuhkan dengan kajian-kajian ilmiah yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau pun semacam kajian independen,” katanya.
Seperti diketahui, dalam pemberitaan beberapa media asing, disebutkan ada tiga warga Banten mengirimkan petisi kepada Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dan Pimpinan Dewan Nasional Iklim dan Udara Bersih Korsel Ban Ki Moon.
Mereka meminta pemerintah Korsel menghentikan pendanaan terhadap pemerintah Indonesia yang rencananya membangun proyek PLTU Jawa 9 dan 10 tersebut. Salah satu alasan yang menjadi dasar petisi adalah penyakit kanker keluarga pengaju yang disebut disebabkan PLTU.
Sementara itu direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, sebelumnya sempat mengungkapkan, PLTU berbahan bakar batubara yang kini beroperasi telah dilengkapi dengan continuous emission monitoring system (CEMS) yang berfungsi untuk memonitor emisi secara berkelanjutan.
Warhan menambahkan, PLN juga menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi atau High Efficiency and Low Emmission (HELE), seperti Clean Coal Technology (Super Critical dan Ultra Super Critical). Sedang PLTU Jawa 9 dan 10 yang tengah mulai dibangun adalah PLTU dengan teknologi terkini, lebih modern.
Teknologi serupa kini lazim dipakai di banyak belahan dunia, menggantikan teknologi pembangkit yang sudah lama beroperasi.
Dengan teknologi terbaru Ultra Super Critical layaknya pembangkit yang biasa digunakan negara-negara maju (OECD), PLTU USC ini menggunakan konsumsi batubara yang lebih efisien dan handal, sekaligus lebih ramah lingkungan sesuai standar internasional terkini, dan lebih baik dibanding yang terdahulu.
Teknologi ini juga menerapkan electrostatic precipitator yang menghilangkan partikel polutan baik kondisi kering maupun basah, dan menggunakan sea water flue gasdesulfurization yang menurunkan unsur sulfur.
Pembangunan PLTU USC 2 X 1000 MW sendiri merupakan langkah strategis sebagai bagian dari pembangunan kebutuhan listrik nasional. Pembangkit ini ditujukan memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa dan Bali, sebagai salah satu dari program 35.000 MW dari pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Wapres Jusuf Kalla di suatu kesempatan juga menjelaskan bahwa energi listrik yang bersumber dari fosil seperti batu bara masih yang paling efisien dan terbaik dari sisi pemenuhan energi dan keekonomian. Saat ini biaya produksi kilowatt hour (KwH) listrik berbasis batu bara hanya berkisar 5,5 sen. Sementara untuk pembangkit jenis lain seperti energi baru terbarukan berkisar 6-10 sen per kWh.
Di sisi lain data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi kanker di provinsi Banten berada di bawah rata-rata nasional. Secara nasional, prevalensi kanker nasional mencapai 1,8%. Banten ada pada urutan 14 di bawah rata-rata nasional tersebut. Masih dari data yang sama, terdapat 12 provinsi dengan prevalensi kanker lebih tinggi dari rata-rata nasional. Daerah Istimewa Yogyakarta berada di urutan pertama, dengan prevalensi kanker mencapai 4,9%. (*)